POST DATE | 28 Mei 2018
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
karena seorang buta datang kepadanya,
Tahukah kamu,
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran,
lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman).
Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran),
sedangkan ia takut kepada (Allah),
maka kamu mengabaikannya.
Sekali-kali jangan (begitu)!
Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan.
Maka siapa yang menghendaki tentulah ia memperhatikannya.
(Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
yang ditinggikan lagi disucikan,
di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.”
(QS. ‘Abasa, 80: 1-16).
Dikisahkan pada masa permulaan dakwah Islam di Mekkah, Nabi Muhammad Saw sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy, dengan harapan agar mereka mau menerima Islam. Suatu kali beliau bertatap muka dengan Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayahnya Khalid bin Walid.
Nabi Muhammad Saw berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.
Saat Rasulullah berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran.
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat yang mulia. Dia menjadi salah satu sebab turunnya surah 'Abasa. Abdullah bin Ummi Maktum penyandang disabilitas, yakni matanya yang buta (tuna netra)
Abdullah mengatakan, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda.”
Nabi Muhammad Saw yang mulia tidak mempedulikan permintaan Abdullah bin Ummi Maktum tersebut. Beliau agak acuh kepada perkataan Abdullah itu. Lalu, beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah berharap, mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.
Selesai berbicara dengan mereka, Nabi Muhammad Saw bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba-tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya dalam QS. Abasa kepada Nabi Muhammad Saw, sekaligus sebagai peringatan atas sikap acuhnya kepada Abdullah bin Ummi Maktum.
Misi utama yang terkandung dalam QS. Abasa, pedulikan semua orang tanpa memandang status sosial dan ekonominya! QS. Abasa, sebuah surat yang berisi teguran Allah Swt kepada Rasulullah Saw yang lebih mengutamakan petinggi Quraisy ketimbang seorang biasa dan tunanetra pula.
Setiap manusia mempunyai harkat dan martabat (dignity) yang melekat pada kemanusiaannya. Dengan keyakinan akan kuasa Tuhan sebagai Pencipta, kondisi disabilitas yang dialami sebagian anak manusia adalah fakta ilahi. Kondisi ini tidak boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat penyandang disabilitas, atau menjadi alasan untuk tidak menyetarakan mereka dengan warga lain dalam segala bidang kehidupan, baik politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya.
Seiring dengan itu spirit ilahiah tentang harkat dan martabat manusia sama di hadapan Sang Khalik digambarkan lewat pantulan firman-Nya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu...” (QS. Al Hujurat, 49: 13)
Nabi Muhammad Saw: “Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan adalah takwanya.” (HR. Ahmad).
Pesan hadits ini secara tegas menerangkan pada dasarnya semua manusia itu sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apa pun, kecuali takwanya kepada Allah Swt. Pesan lain dalam nuansa yang sama disampaikan Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk atau rupa kamu, juga tidak kepada harta benda kamu. Akan tetapi, Allah Swt memandang kepada hati dan amal perbuatanmu semata.” (HR. Ibnu Majah).
Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam aktifitas keseharian maupun partisipasinya dalam masyarakat karena desain sarana prasarana publik yang tidak universal dan lingkungan sosial yang masih hidup dengan ideologi kenormalan.
Senada dengan definisi itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebut penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Lalu, mengapa penyandang disabilitas terpojok oleh hukum dan terlanggar hak asasi manusianya? Karena menurut Anisa Kusuma Wardani (2014) hambatan sosial dan sarana-prasarana publik belum terfasilitasi dan terpenuhi. Perlu diketahui bahwa disabilitas bervarian hambatannya. Disabilitas secara umum ada lima katagori, yaitu: (1) disabilitas intelektual (retardasi mental dan slow learner), (2) disabilitas mobilitas (gangguan tubuh/kaki, paraphlegia, autis, dan lain-lain), (3) disabilitas komunikasi (gangguan wicara, gangguan pendengaran, dan lain-lain), (4) disabilitas sensori (gangguan penglihatan, kusta, dan lain-lain), dan (5) disabilitas psikososial.
Persoalan akses kesetaraan bagi kaum disabilitas ternyata tak hanya menyangkut infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga minimnya akses keadilan (access to justice). Jika berkaitan dengan infrastruktur peradilan, hambatan-hambatan yang dialami difabel, baik itu aksesibilitas fisik (ramp, guiding block, informasi braile, video dan audio, lift, dan lain-lain), aksesibilitas nonfisik (penterjemah, etika berinteraksi, dan lain-lain) serta prosedur beracara difabel berhadapan dengan hukum, belum terfasilitasi dan terpenuhi sama sekali.
Akibatnya, disabilitas berhadapan dengan hukum baik itu sebagai korban, tersangka/terdakwa dan atau sebagai saksi, sudah biasa berujung pada diskriminasi dan pelanggaran atas hak peradilan yang fair
Soalnya, prosedur hukum yang ada dalam beberapa kasus masih ditafsirkan secara tekstual, sehingga menghalangi hak-hak penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum baik berstatus sebagai saksi/korban maupun pelaku.
Suparman Marzuki dalam Hukumonline (2015) mengatakan selama ini penyandang disabilitas sangat sulit mendapatkan akses keadilan ketika berproses di pengadilan baik jaminan sarana fisik maupun prosedur hukum yang ‘ramah’.
Adalah fakta sarana dan prasana fisik di sejumlah lembaga hukum termasuk pengadilan masih didesain untuk masyarakat umum, belum mengakomodir aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, prosedur hukum acara yang melibatkan penyandang disabilitas masih ditafsirkan secara kaku oleh aparat penegak hukum yang mengakibatkan hak-haknya terabaikan.
Prinsip hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu prinsip dari 26 prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Konvensi Hak-Hak Penyandang. Selanjutnya, Indonesia telah berhasil mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Urgensi melindungi kaum disabilitas menurut Hartwell dalam Dio Ashar Wicaksana (2016) karena penyandang disabilitas memiliki potensi menjadi korban kejahatan sebanyak 4-10 lebih banyak dibandingkan orang yang dianggap “normal”. Pada sistem peradilan pidana, seringkali penyandang disabilitas menemukan diskriminasi oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Apalagi menurut catatan Pusham UII (2015) mencatat ada beberapa kasus yang melibatkan penyandang difabel mental tidak diselesaikan oleh penyidik. Alasan utamanya karena sulitnya komunikasi antara penyidik dengan penyandang disabilitas.
Contoh lainnya menurut Dio Ashar, seringkali keterangan korban difabel yang buta dan tuli tidak dianggap sebagai keterangan alat bukti yang sah, karena terdapat interpretasi di dalam peraturan hukum pidana Indonesia (KUHP). Pada KUHP dikatakan keterangan saksi yang sah adalah pihak yang melihat, mendengar, atau mengalami secara langsung suatu peristiwa pidana. Dengan begitu, sangat sulit bagi korban yang buta dan tuli untuk melaporkan peristiwa yang menimpa mereka.
Tidak hanya pada tahap pelaporan saja, pada tahap pemeriksaan di ruang sidang pelaku, saksi, atau korban disabilitas juga mengalami masalah. Tercatat masih terdapat 82% perkara kekerasan seksual pada disabilitas, yang tidak menghadirkan keterangan ahli selama proses persidangan berlangsung (MaPPI-FHUI, 2015).
Keterangan ahli sangatlah penting terutama untuk memastikan kondisi fisik dan mental penyandang disabilitas, sehingga hakim selama memimpin persidangan dapat menyediakan aksesibilitas sesuai dengan kondisi pelaku, saksi dan korban.
Equality before the law atau persamaan di hadapan hukum adalah salah satu asas terpenting di dalam sistem hukum modern. Asas persamaan dihadapan hukum di Indonesia termaktub dengan jelas di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke dua, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Henry Arianto (2016) memandang jika menilik dari Pasal 28 ayat (1) D UUD 1945 Amandemen ke dua ini berarti menempatkan setiap orang untuk mendapatkan hak yang sama di hadapan hukum dengan tanpa mencederai rasa keadilan baik di dalam maupun di luar proses peradilan.
Sudah barang tentu hal tersebut juga berlaku bagi disabilitas di hadapan hukum. Karena bagaimanapun juga disabilitas merupakan entitas hukum. Setiap disabilitas berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Hal ini juga diperkuat di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Person with Disabilities/CRPD) yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2011.
Pasal 12 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas diatur tentang Kesetaraan Pengakuan di Hadapan Hukum. Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas diatur tentang Akses Terhadap Keadilan.
Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menimbulkan kewajiban terhadap negara untuk memenuhi substansi hukum yang sudah diatur di dalamya termasuk ketentuan yang ada di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Kewajiban yang harus dilakukan negara di dalam pemenuhan ketentuan itu adalah membuat kebijakan di dalam proses peradilan yang mengakomodasi kebutuhan disabilitas dalam konteks akses menuju keadilan sebagai konsekuensi logis dari diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan adalah membenahi sistem peradilan dengan melihat disabilitas sebagai subyek hukum. Jika sudah menjadi subyek hukum maka kebutuhannya sebagai subyek hukum haruslah dipenuhi oleh negara dalam sistem dan proses peradilan tanpa diskriminasi. Hal yang kedua adalah membangun sistem dan proses peradilan yang berperspektif disabilitas.
Pasal 9 UU No. 8 Tahun 2016 telah mengatur bahwa terhadap penyandang disabilitas, setidak-tidaknya memiliki hak sebagai berikut:
Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
Banyak signifikansi kehadiran norma hukum yang mengatur hak para penyandang disabilitas dan kewajiban penyelenggaran negara untuk memfasilitasi para penyandang disabilitas. Aturan hukum sudah ada, tinggal menurunkannya ke dalam kehidupan hukum berpihak kepada para penyandang disabilitas.
Memudahkan akses keadilan kepada para penyandang disabilitas adalah tugas konsitusional. Proses meraih keadilan itu dimulai dari mendekatkan para pencarinya di pengadilan. Masalah sederhana dapat dinilai, apakah telah ada peradilan yang fair bagi disabilitas, bagaimana pemenuhan kebutuhan penterjemah, apakah ada pendamping disabilitas.
Berlanjut pada eksistensi ahli, pendamping hukum, fasilitas lingkungan peradilan yang aksesibel, pemeriksaan yang fleksibel, proses hukum yang memperhatikan daya fokus disabilitas dan kebutuhan adanya aparat penegak hukum yang memahami disabilitas.
Hukum harus mampu menjahit mozaik keadilan dan kemanusiaan bagi setiap warga negara. Hukum harus dapat melindungi martabat penyandang disabilitas dan menjauhkannya dari sikap diskriminasi. Hukum tidak boleh terhenti sebagai sarana pembebasan dan pencipta keadilan pada setiap sisi termasuk bagi penyandang disabilitas.
Bangunan hukum harus mampu menjadi rumah besar yang mengakui, menghargai dan memuliakan manusia tanpa terkecuali. Hukum harus berjalan terus melakukan akselarasi sesuai harapan otentiknya. Tanpa keniscayaan itu sesungguhnya kita telah bertindak akodrati dari martabat etis kemanusiaannya.