post.png
disabilitas.jpg

Aksesibel Hukum Penyandang Disabilitas

POST DATE | 03 Juli 2017


Tidak sia-sia perjuangan Ridwan Sumantri bertarung selama lima tahun di pengadilan. Jalan panjang melelahkan, berbuah manis. Ridwan Sumantri adalah penumpang PT Lion Mentari Airlines, seorang tuna daksa, dan pengguna kursi roda, merasa diperlakukan diskriminatif. Diskriminasi yang dia dapatkan tepatnya terjadi pada 11 April 2011. Ridwan Sumantri merasa dirinya berkali-kali diacuhkan mengenai kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika itu Ridwan Sumantri hendak melakukan perjalanan ke Bali dari Jakarta.
Awalnya Ridwan datang lebih awal untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah. Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang pesawat yang awalnya diminta menunggu di pintu A-1 dipindahkan ke pintu keberangkatan pintu A-5.
Saat itu petugas sibuk mengurusi penumpang yang buru-buru menuju pintu A-5. Saat itu, tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain. Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift. Suasana saat itu, hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya menuruni tangga.
Masalah belum selesai. Setibanya di kursi penumpang dengan cara digendong oleh petugas dan disaksikan banyak mata, Ridwan kembali mendapat sorotan. Tersebab Ridwan berdebat dengan pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama penerbangan pada orang sakit.
Ridwan awalnya tidak bersedia menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit. Ridwan terpaksa menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi pusat perhatian penumpang lain. Padahal, Ridwan Sumantri sesuai ketentuan Pasal 134 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus.
Tidak puas atas perlakuan diskriminasi, Ridwan menggugat PT Lion Mentari Airlines, pengelola Bandara PT Angkasa Pura II, dan pemerintah dalam hal ini, Kementerian Perhubungan. Substansi gugatan adalah terkait tidak adanya perlakuan khusus untuk penyandang disabilitas, dalam sistem operasi penerbangan, transpotasi umum.
Setelah melewati proses hukum selama rentang waktu lima tahun, Mahkamah Agung (MA) membuat putusan, dengan; "Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan Tergugat I (Lion Air), Tergugat II (Angkasa Pura), dan Tergugat III (Kementerian Perhubungan), telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat (Ridwan Sumantri).”
Selain itu, putusan Mahkamah Agung menghukum ketiga tergugat secara tanggung renteng, membayar ganti kerugian sebesar Rp50 juta kepada Ridwan, sebagai pengganti biaya kerugian materil dan moril karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan mereka
Ketiga tergugat juga diharuskan menuliskan permintaan maaf secara terbuka di berbagai media, dengan menggunakan format atau redaksi tulisan sebagai berikut: “Kami Departemen Perhubungan, PT Lion Mentari Airlines, dan PT Angkasa Pura II Mohon Maaf Kepada Penggugat, Ridwan Sumantri, Penyandang Cacat Atas Kelalaian Petugas Kami Yang Tidak Memberikan Layanan Yang Semestinya”.

 

Perspektif Baru

Kasus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum seperti yang dialami Ridwan Sumantri tentu bukan kasus pertama. Misalnya, ada seorang anak perempuan, tuli dan disabilitas intelektual, korban pencabulan dan pemerkosaan, dipaksa untuk menjawab: mengapa tidak berteriak?
Atau kasus seorang penyandang disabilitas netra kerap tidak diproses laporan pidananya oleh penegak hukum. Korban pemerkosaan diabaikan, karena korban dianggap tidak mampu melihat pelaku.
Ketika kasus seorang tuli diproses diperadilan, penyidik seringkali tidak terlibat dalam proses tanya jawab, dan menyerahkan sepenuhnya kepada penerjemah. Dengan kata lain, dalam banyak kasus penegak hukum kerap merendahkan martabat penyandang disabilitas. Masalahnya, kemampuan dan kecakapan hukum para penyandang disabilitas seringkali dipermasalahkan (Hari Kurniawan, dkk, 2015).
Karena itu, penyandang disabilitas kerap mengalami ketidakadilan, bukan hanya dalam memperoleh dan mengakses hak dasarnya, namun juga menjadi subyek yang menjadi korban (Muhammad Joni Yulianto, 2015).
Kasus Ridwan Sumantri adalah perspektif baru pengadilan terhadap aksesibel keadilan hukum bagi penyandang disabilitas. Putusan pengadilan seperti angin segar keberpihakan hukum bagi penyandang disabilitas. Ada perspektif baru aparat penegak hukum kepada kaum disabilitas.
Penyandang disabilitas memerlukan beberapa kekhususan berkaitan dengan proses peradilan berupa kebutuhan ketersediaan layanan peradilan yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ketersediaan layanan ini tidak hanya berkenaan dengan dua hal, yaitu aksesibilitas fisik dan prosedural.
Putusan pengadilan gugatan Ridwan Sumantri mestinya menjadi pintu masuk untuk memperluas pemaknaan aksesibel bagi penyandang disabilitas. Asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) pada putusan MA telah tertanam kuat. Substansi Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Usaha pemerintah untuk ratifikasi lewat UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with Disabilitas (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) tertuang dalam putusan Ridwan Sumantri. Konvensi Hak Penyandang Disabilitas menegaskan penyandang disabilitas bukan kelompok orang yang tidak normal dan tidak mampu. Kaum disabilitas juga manusia yang sama dan setara dengan manusia lainnya. Dengan begitu, sudah semestinya penyandang disabilitas diberi penghormatan yang utuh atas martabatnya secara wajar.
Pengakuan sedemikian menunjukkan hakim memastikan kaum disabilitas adalah entitas hukum bermartabat. Dengan demikian, kaum disabilitas berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Eddy Armi, 2015).
Kasus Ridwan Sumantri dapat digunakan sebagai yurisprudensi di pengadilan. Norma hukum itu dapat menjadi referensi hukum yang pasti bagi penegak hukum. Putusan ini mestinya mendorong dan membuka ruang lebih banyak bagi para penegak hukum, bagaimana berinvestasi terhadap penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Bagi publik, termasuk lembaga peradilan sendiri putusan Ridwan Sumantri memastikan urgensi aksesibilitas dan akomodasi hak penyandang disabilitas terpenuhi dengan baik pada semua level pelayanan. Perlu ada perspektif baru menerjemahkan aksesibilitas fisik dan prosedural. Memanusiakan pelayanan publik, lebih lagi kepada penyandang disabilitas adalah sebuah keniscayaan.
Usaha meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas semata tidak cukup. Eksistensi substansi konvensi dan pemenuhan hak penyandang disabilitas harus terus diperkuat. Visi dan substansi hukum putusan Ridwan patut dicontoh oleh hakim dan jadi pembuka bagi preseden baik yang lainnya.
Mengabaikan substansi konvensi, dipastikan penyandang disabilitas tetap menjadi kelompok yang termarginalkan. Tanpa ada terobosan dan bantuan hukum yang sungguh-sungguh, agak sulit memastikan hak penyandang disabilitas mendapat perlakuan yang adil dalam pelayanan publik dan proses hukum.

 

====================

Sumber: Waspada, 24 Februari 2016



Tag: Disabilitas, Aksesibel, Hukum

Post Terkait

Komentar