POST DATE | 03 April 2017
Terbitnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) merupakan peluang bagi pelaksanaan sistem perlindungan bagi waarga negara. Setiap peluang tentunya memerlukan sikap yang responsif untuk pemanfaatannya. Sikap tersebut adalah suatu keniscayaan agar peluang menjadi tak sia-sia.
Peluang dalam UU JPH ini secara sederhana dapat digambarkan memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah peluang bagi pemerintah atau badan publik untuk lebih bertanggungjawab terhadap setiap produknya. Sisi kedua adalah peluang bagi warga negara untuk lebih leluasa mengakses setiap produk halal yang dikonsumsinya.
Menurut sifatnya, hal yang diatur dalam UU JPH sebagian besar termasuk dalam ranah hukum publik. Itu berarti substansi dari UU JPH ini lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan umum. Salah satu dasar dari masuknya UU JPH dalam ranah hukum publik dapat dilihat dari bagian menimbang dalam UU tersebut.
Pada bagian menimbang disebutkan bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.
Dalam hukum publik, setiap peraturan yang dibuat pada hakikatnya tidak hanya mengatur norma (sesuatu yang boleh dan yang dilarang), tetapi juga mengatur sanksi terhadap pelanggaran norma yang ada. Pengaturan terhadap sanksi inilah yang merupakan aspek pidana (delik) dari setiap norma yang berlaku.
Dalam sistem hukum rujukan utama sanksi pidana di Indonesia, adalah seperti diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jenis pidana terbagi terbagi dalam 2 kategori, yaitu: pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi; pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.
Pidana tambahan meliputi; pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Terkait dengan hal ini, dalam UU JPH jenis sanksi pidana yang diatur hanya meliputi pidana penjara, dan pidana denda serta denda administratif.
Tindak Pidana atas jaminan produk halal, adalah serangkaian perbuatan terlarang dan tercela oleh undang undang, dalam kaitan dengan kegiatan untuk menjamin kehahalan suatu produk, yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian produk berupa barang atau jasa yang terkait makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Selanjutnya bahwa kehalalan suatu produk adalah ditentukan berdasarkan syariat Islam dan sertifikat halal.
Lebih lanjut bahwa Proses Produk Halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kahalalan produk. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Aspek pidana dalam UU JPH diatur dalam formulasi sanksi. Ketentuan tentang larangan sebagai tindak pidana dalam menjamin kepastian hukum kehalalan suatu produk, terdapat dalam Pasal 56 dan Pasal 57 UU JPH.
Pasal 56, Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud Pasal 25 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar-(dua miliar rupiah). Pasal 25 huruf b, pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal.
Selanjutnya Pasal 57 UU JPH, setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produk halal yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.2 miliar,- (dua miliar rupiah).
Pasal 43 menyatakan setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produk halal wajib merahasiakan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha.
Sasaran pokok ketentuan larangan tersebut, adalah semata terhadap pelaku orang perseorangan. Namun demikian, dalam sistem peradilan pidana kini telah membedakan antara pelaku tindak pidana perseorangan dengan badan (koorporasi), dalam kedudukannya sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak maupun kewajiban dihadapan hukum.
Oleh itu, ketentuan atau norma pidana atas Jaminan Produk Halal, adalah peraturan perundang undangan tentang penghukuman akibat pelanggaran kewajiban moral hazard dari seorang atau beberapa orang pelaku.
Hal utama yang perlu dikritisi adalah UU JPH baru mengatur sanksi bagi pemegang sertifikat halal yang melanggar kewajiban. Tetapi sama sekali, tak tercantum sanksi untuk pelaku usaha yang tidak mengajukan sertifikasi?
Sanksi menjadi bagian tak terpisahkan dalam sebuah kebijakan. Tanpa sanksi tegas, hukum hanyalah sebatas norma yang bisa dilanggar. Dapat mengaum, tetapi tak bertaring?
Perlu dicatat bahwa, upaya sadar terhadap proses penegakan hukum menjadi kunci bagi kemanfaatan sebuah aturan perundang-undangan. Tinggi atau rendahnya ancaman pidana dari sebuah aturan, untuk konteks Indonesia, sepertinya bukanlah hal yang paling menentukan bagi terwujudnya perlindungan terhadap kepentingan umum.
Sudah sedemikian banyak UU yang memiliki ketentuan pidana dengan ancaman sanksi yang berat. Namun demikian, tetap saja belum mampu mengubah keadaan negeri ini menjadi lebih baik. Untuk itu, diperlukan usaha bersama dari seluruh komponen negara untuk mendorong terwujudnya aparat penegak hukum yang berkualitas dan berintegritas. Hukum pidana adalah senjata pamungkas (ultimum remedium).
Dengan demikian, hukum pidana adalah upaya hukum yang terakhir dilakukan kalau upaya lainnya sudah tidak lagi dapat dilakukan. Tanpa adanya aparat penegak hukum yang memiliki kualitas dan integritas, semua aturan hukum yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum akan menjadi sia-sia.
==============================
Waspada. Rabu, 27 Mei 2015