POST DATE | 14 Juli 2017
Publik sempat dikejutkan dengan adanya tindakan pemblokiran terhadap situs-situs internet. Situs yang diblokir selama ini ditengarai gencar melakukan propaganda radikalisme, separatisme, intoleransi, kekerasan dengan latar agama (dianggap situs berbahaya).
Sebelumnya pemerintah memang telah lama aktif melakukan pemblokiran situs internet dengan alasan pornografi dan kesusilaan. Tetapi kasus blokir internet yang teranyar muatannya diperluas pada isu intoleransi, ekstrimisme-kekerasan, dan lain sebagainya. Ada 22 situs internet yang diblokir.
Kementerian Komunikasi dan Informatika berdalih upaya blokir internet itu adalah mencegah penyebaran paham radikal, separatisme, dan kekerasan atas adanya permintaan dari Badan Nasional Penanggulan Terorisme (melalui surat Nomor: 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs/website radikal).
Namun demikian, dalam pandangan Ade Armando, pakar teknologi dan informasi, pemblokiran ini mengingatkan masyarakat akan pembredelan Majalah Tempo pada 1994 oleh pemerintahan Orde Baru. Ade Armando mengatakan yang jadi masalah, pemblokiran dilakukan tanpa menunjukkan secara eksplisit konten-konten mana yang dianggap melanggar hukum (Metrotvnews.com, Selasa, 31/3/2015). Dari prosesi itu, terasa ada nuansa rezim blokir sedang menguat di kalangan pemerintahan yang berkuasa.
Kalau merujuk Wahyudi Djafar, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM), bangkitnya rezim blokir ini diakibatkan karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan yang jelas mengenai pengawasan terhadap konten internet beserta mekanisme pembatasannya. Memang secara normatif ada Undang-Undang yang secara eksplisit memberikan wewenang pemblokiran terhadap konten internet (Gresnews.com, Selasa (31/3).
Pertama, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khusus untuk konten yang mengandung muatan pornografi. Kedua, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khusus untuk konten yang dinilai melanggar hak cipta (Hak Kekayaan Intelektual).
Masalahnya jika mengikuti UU Pornografi sama sekali tidak mengatur mengenai prosedur pemblokiran, sementara UU Hak Cipta mensyaratkan prosesnya harus seizin pengadilan. Demikian juga dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE memang ada mengatur perihal konten-konten yang dilarang, namun materinya justru tidak sedikit pun mengatur mengenai prosedur pemblokiran konten, kecuali yang terkait dengan penyitaan dalam rangka penyidikan proses pidana.
Dalam praktiknya, semenjak beberapa tahun lalu, tanpa suatu landasan hukum yang jelas, pemerintah melalui Kemenkominfo telah mengembangkan program database Trust+ Positif, yang berisi daftar hitam situs layak blokir.
Program ini kemudian dilegalisasi dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif. Ketiadaan aturan yang jelas mengenai prosedur dan akuntabilitas dalam prosesnya, berakibat pada kerapnya terjadi tindakan salah blokir (over blocking), seperti yang dialami situs Our Voice (ourvoice.or.id), Vimeo, Youtube, MySpace, Multiply, Rapidshare, dan Metacafe.
Melanggar hukum
Pemblokirlan sejumlah situs Islam tersebut dalam pengertian luas jelas melanggar kebebasan pers, sebagaimana diatur Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers khususnya ketentuan yang terdapat pada Pasal 4 berbunyi: (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Lebih jauh lagi pemblokiran dimaksud juga mengabaikan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 28E ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Sejatinya, dalam konteks kehidupan bernegara, pemblokiran terhadap konten internet memang boleh dilakukan oleh negara. Pemblokiran dilakukan sebagai bentuk pembatasan terhadap hak atas kemerdekaan berekspresi yang memang boleh dibatasi. Namun demikian, dalam pembatasannya harus tunduk pada kaidah dan prinsip pembatasan sebagaimana diatur oleh konstitusi maupun hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pelanggaran terhadap norma hukum yang mengatur soal kebebasan berekspresi dan pemblokiran terhadap media adalah pelanggaran konstitusi dan pemasungan hak asasi manusia. Penghargaan kepada kebebasan berpendapat dipandu oleh ketentuan norma hukum. Sebagai negara hukum, segala perbuatan negara mesti tunduk kepada norma hukum. Jalan terbaik dari awal adalah pemerintah berdiskusi dengan organisasi masyarakatkan (ormas) Islam untuk meminta petunjuk, sebelum memblokir 22 situs yang diduga menyebarkan paham radikal. Langkah lain yang terlupakan yakni pemerintah harus lebih dahulu memberikan teguran ke situs tersebut, ataupun ke pemiliknya sebelum memblokir.
Hukum dibuat adalah untuk terlaksananya pemerintahan yang baik (good governance). Hukum ada bukan untuk menindas/menghukum warga, tetapi untuk melindungi (the law is there to protect, not to punish). Adanya kebebasan berpendapat memungkinkan adanya kontrol terhadap kekuasaan dan terbukanya ruang dialog horizontal antar-warga Negara.
Belajar dari kasus pemblokiran itu Wahyudi Djafar (dalam Gresnews.com, Selasa (31/3) menawarkan jalan keluar. Menurutnya kalau ada media yang dianggap bermasalah langkah yang dapat ditempuh adalah melalui;
Pertama, sepanjang belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur mengenai pembatasan konten internet, pemerintah tidak boleh memberikan perintah pemblokiran pada penyedia layanan internet (ISP).
Kedua, pastikan tercapainya tujuan perlindungan hak asasi manusia, dengan memperhatikan: (a) tindakan pemblokiran konten harus diatur oleh hukum yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip prediktabilitas dan transparansi). (b) tindakan tersebut harus memenuhi salah satu tujuan, yaitu untuk melindungi hak-hak dan reputasi orang lain; keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral publik (prinsip legitimasi). (c) tindakan itu harus dapat dibuktikan urgensianya dan seminimal mungkin dilakukan (mekanisme terakhir, rem darurat) untuk mencapai tujuan utama (prinsip kepentingan dan proporsionalitas).
Ketiga, pentingnya penggunaan standard hak asasi manusia dalam menyusun kebijakan sebagai respons atas berbagai persoalan yang terkait dengan tata kelola internet.
Tanpa proses itu, setiap pembredelan tanpa klarifikasi-verifikasi adalah tindakan gegabah. Pemerintah jadi terkesan memiliki sikap otoriterianisme dan takut berlebihan terhadap gerakan berbasis Islam. Mestinya, setiap pemblokiran situs harus dilakukan secara cermat, kajian secara komprehensif dengan melibatkan para ahli (hukum, ulama dan tokoh masyarakat).
Upaya pemblokiran tanpa prosedur, dapat membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi Undang-Undang. Pemblokiran tanpa seleksi cenderung sebagai upaya memasung kebebasan berpendapat. Kalau itu yang terjadi, Indonesia kembali memasuki masa kegelapan.
Tidak boleh ada pemblokiran yang dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa melalui proses hukum yang adil. Konon pula, pemblokiran situs internet dilakukan tanpa adanya perintah dari Pengadilan. Begitupun, bagi para pengelola situs ada catatan penting yakni perlu mengoreksi tingkat ketaatan pada kode etik jurnalistik (KEJ) dan ketaatan kepada kepentingan publik. ***
========
Sumber: http://harian.analisadaily.com