post.png
umar-bin-abdul-azis-menjadi-teladan-yang-disegani-pada-_141029153340-202.jpg

Belajar Dari Prototipe Antikorupsi Umar Bin Abdul Aziz

POST DATE | 11 Juli 2017

Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau. Tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa.

Sindiran Iwan Fals dalam bait ‘Manusia Setengah Dewa’ sangat tepat untuk menggambarkan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. Betapa susah mencari pejabat Negara seperti sosok Umar bin Abdul Aziz.

Begitu banyak pejabat Negara yang bermasalah. Di bidang yudikatif, ada hakim yang dipecat, yang tersangkut dalam tindak pelecehan seksual, berzina, maupun meminta bonus wanita. Setelah bosan makan uang, lalu makan di restoran. Berikutnya, giliran makan orang. Ada hakim Mahkamah Syariah Tapak Tuan, Aceh, D, berbuat cabul dengan perempuan yang sedang berperkara dalam kasus perceraian yang ditanganinya.

Di saat bersamaan pula, sejumlah hakim juga terbukti menerima suap saat menangani perkara. Selain soal suap, perilaku penegak hukum yang melanggar kode etik dan norma hukum juga makin marak.

Hakim PN Jakarta Pusat, S tertangkap tangan oleh KPK saat menerima sejumlah uang dari kurator, Puguh Wirawan dengan nilai ribuan dollar AS. Hakim S ditangkap KPK di rumahnya dan kasus ini masih berlangsung di Pengadilan Tipikor. Daftar hitam hakim bermasalah lain. Ada lagi hakim PN Serui, ER, memeras Dewi Parasita sebanyak 66 kali dengan total nilai Rp80 jutaan.

Hakim adhoc PHI PN Bandung, ID, tertangkap tangan oleh KPK pada 30 Juni 2011, karena menerima sejumlah uang dari pihak berperkara sebanyak Rp200 juta. Kemudian ada, kasus Hakim PN Tangerang, Muhtadi Asnun, divonis 2 tahun penjara pada 9 Desember 2010 lalu. Asnun terbukti menyalahi jabatannya sebagai pegawai negeri sipil saat menjabat hakim di Pengadilan Tinggi Tangerang dalam memproses kasus Gayus Tambunan. Asnun terbukti menerima sejumlah uang dari Gayus.

Tak berhenti sampai di situ, masalah berlanjut pada kasus hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, Ibrahim, dihukum 3 tahun penjara penjara. Mental pemulung ditunjukkan Hakim PN Bitung, Sulawesi Utara, Ardiansyah Famiahgus Djafar. Beliau dipecat karena menjadi calo calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Pejabat hukum banyak yang bermasalah benar-benar sempurna. Terakhir adalah penangkapan Jaksa S dari Kejaksaan Negeri Cibinong dalam kasus suap, mengikuti senoirnya jaksa Urip Tri Gunawan. Tahun 2011, tindak pidana kerah putih itu dibintangi pejabat yudikatif. Tahun sebelumnya dilakoni para wakil rakyat. Di antaranya adalah Hamka Yandhu, Saleh Djasit, Al-Amin Nur Nasution, Sarjan Taher, Bulyan Royan, Yusuf Amir Faeshal.

Belum selesai kejutan dari para koruptor itu, masyarakat masih harus terhenyak dengan adegan porno yang lagi-lagi diperankan oleh pejabat publik. Di gedung DPR saja bisa dilihat terbongkarnya adegan syur berdurasi 41 detik antara Yahya Zaini dengan Maria Eva, serta gambar pelecehan seksual yang dilakukan oleh Max Moein terhadap sekretaris pribadinya.

Ada pula episode permintaan "bonus wanita" Al-Amin Nur Nasution kepada Sekda Bintan atas jasa-jasanya dalam memuluskan peralihan hutan lindung menjadi "hutan beton" di Bintan. Kasus serupa diulangi Hakim DD di Yogyakarta, yang meminta bonus perempuan dalam bentuk tari telanjang.

Ternyata lahirnya reformasi sebagai penanda perlawanan terhadap korupsi belum mampu membasmi tindak pidana yang berdampingan mesra dengan kolusi dan nepotisme itu. Yang tidak kalah mengerikan, tidak sedikit pula di antara mereka yang terlibat dalam tindakan asusila semacam perzinaan dan pelecehan seksual.

Korupsi Sudah Sistemik

Korupsi di Indonesia sudah sistemik, yang harus dilakukan dengan perbaikan sistem. Siapa pun orangnya di Indonesia, kalau sudah bisa masuk ke sistem, dia akan terjebak di sistem itu, kata Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Dedie A Rahim di Universitas Al Azhar Indonesia (detik.com, 26/11/2011). Dia menjelaskan ada 3 cara guna mengatasi korupsi yang sudah sistemik itu. Pertama dengan perbaikan UU. Kedua, perbaikan kelembagaannya, dan ketiga memberikan penyuluhan kepada anak-anak muda sejak dini tentang antikorupsi.

Secara moral agama telah ada Fatwa MUI tentang korupsi ini secara jelas tercantum dalam keputusan Musyawarah Nasional (Munas) VI Yogyakarta 2000. Melalui surat bernomor 06/Munas VI/MUI/2000, konfederasi organisasi keagamaan Islam se-Indonesia itu memberikan fatwa tentang suap (risywah), korupsi (ghulul), dan hadiah. Suap dan korupsi oleh MUI dinyatakan jelas-jelas haram, dan tidak ada nash yang menoleransinya.

Di Indonesia soal korupsi ini memang aneh. Ada pejabat Negara naik haji bersama keluarganya, sampai 21 orang. Sudah tentu tidak berangkat dengan biaya sendiri, tetapi diambilkan dari uang negara yang diatur sedemikian rupa. Tetapi mereka tidak merasa korupsi. Tentu ini, karena sudah biasa?

Hijrah dari Korupsi

Siapa yang tak kenal Umar bin Abdul Aziz. Sosok pemimpin adil, arif, lagi berilmu. Banyak kisah teladan yang beliau tinggalkan untuk para peniti kebenaran. Inilah kisah ringkasnya. Penggalan sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah, sebagai prototipe Muslim antikorupsi.

Umar bin Abdul Aziz adalah figur extra-ordernary, suatu figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas pejabat negara. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan (changeble).

Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa anakku malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya.

Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” jawab Khalifah. Sang anak pun mengiyakannya (Marzuki Wahid melalui www.fahmina.or.id)

Peristiwa hijrah sesungguhnya mengajarkan pada umat manusia, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW, bahwa membangun sebuah negara harus disertai akhlak mulia. Bangsa Indonesia, baik secara individu dan kolektif, harus mampu mengubah ke arah yang lebih baik. Lari dari perbuatan buruk, hina  dan tercela.

Korupsi merupakan tindakan nista secara moral dan spiritual. Tidak ada agama manapun yang memberi toleransi terhadap tindakan ini, karena korupsi adalah bentuk penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Sesungguhnya hijrah tidak akan sukses dilaksanakan tanpa jihad, perpaduan dan kecintaan terhadap Allah swt. Momentum hijrah bagi pejabat Negara adalah membuat Umar bin Abdul Aziz sebagai ikon teladan sikap antikorupsi. Belajar mengelola Negara yang mampu memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga?

 

=========

Sumber: Analisa, Kamis, 12 Januari 2012



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar