POST DATE | 27 April 2017
Finalisasi rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mendekati hampir pasti. Niatan pemerintah itu terlihat dari ‘kasak-kusuk’ pejabat negara untuk menjelaskan soal kenaikan harga BBM. Diperkuat pula melalui putusan dalam rapat kabinet terbatas bidang ekonomi yang digelar Senin (5/5). Pemerintah berdalih, harga minyak dunia sudah mencapai US$120, dan itu tidak mampu lagi ditanggung APBN. Bila harga BBM tak dinaikkan, jelas biaya subsidi membengkak.
Kalau akhirnya BBM naik, hampir pasti pula yang paling terpukul telak adalah masyarakat miskin. Menurut Herdi Sahrasad (Media Indonesia, 13 Mei 2008, hal. 18) soal rencana naiknya harga BBM itu, pemerintah mungkin lupa dan alpa atas dampak yang yang telah ditimbulkan dari kebijakannya menaikkan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005.
Kebijakan itu amat memukul lebih dari 110 juta jiwa warga golongan sedang atau menengah di Indonesia. Kebijakan yang sama mengakibatkan peningkatan jumlah angka kemiskinan absolut dari 15.79 persen pada Februari 2005 menjadi 17.75 persen pada Maret 2006. Itu berdasarkan angka yang dirilis BPS. Itu pulalah ongkos yang harus dibayar atas kebijakan menaikkan harga BBM.
Selain itu, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan per Maret 2007 adalah 37.17 juta jiwa, atau 16.58 persen dari total penduduk Indonesia. Betapa tidak, karena menurut catatan UNICEF tahun ini, 69 juta orang Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan 55 juta tak punya akses ke sumber air yang aman. Dengan kenaikan harga BBM, kelompok miskin makin terperosok, sedangkan bantuan langsung tunai dan subsidi senantiasa bocor dan tidak tepat sasaran.
Atas ekses yang begitu parah, dengan rencana kenaikan harga BBM itu, pemerintah dianggap tidak kreatif dan cuma menempuh ‘jalan gampangan’, yakni menaikkan harga BBM dalam negeri. Pemerintah beraninya cuma kepada kelompok miskin. Tetapi tidak punya nyali menagih obligor BLBI atau meminta hitung ulang utang luar negeri. Atau, kalau mau lebih berani lagi, meminta penghapusan utang luar negeri?
Obat Mujarab atau Obat Bius?
Memang rencana menaikkan harga BBM itu bakal diikuti dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tetapi manakala ditilik lebih dalam lagi, sesungguhnya tidak akan memberi dampak siginfikan bagi upaya menopang daya tahan sosial masyarakat miskin.
Tjahjo Kumolo (Media Indonesia, 13 Mei 2008, hal. 8) berpendapat memang rencana pemerintah membantu kelompok miskin melalui bantuan langsung tunai itu. Celakanya, pemerintah bermaksud menolong kelompok miskin, tetapi fakta yang ada orang miskin terus bertambah.
Sampai kini, meski pemerintah telah siap meniupkan terompet kenaikan harga BBM, masih banyak hal yang belum jelas. Misalnya, data calon penerima BLT. Data yang bakal digunakan adalah data tahun 2005 lalu. Ini berarti, kelompok masyarakat jatuh miskin, pascanaiknya harga BBM 2005, tidak masuk dalam daftar calon penerima BLT. Kondisi itu menunjukkan sinyal, pemerintah sama sekali tidak sensitif terhadap potensi konflik horizontal pada saat BLT digulirkan.
Persoalan melaksanakan kebijakan BLT begitu kompleks mulai dari kecerobohan petugas dalam mendata orang miskin, bantuan salah sasaran, sampai pada eksistensi BLT seperti obat bius. Yakni ketergantungan kelompok miskin pada ‘belas kasihan’ dan ‘kebaikan hati’ pemerintah. Siapa yang tidak senang ketika ‘kue BLT’ tetapi ongkos sosial ekonomi yang mereka tanggung jauh dari sekadar BLT yang didapatkan itu.
Di sisi lain, data dan penyaluran BLT 2005 belum dievaluasi akurasi dan efektivitasnya. Karena itu ketiadaan data baru dan evaluasi atas efektif atau tidaknya, BLT dipastikan bukan obat mujarab untuk masyarakat miskin. BLT tak lebih dari sekadar ‘obat bius’ untuk menghilangkan ‘rasa sakit’, sementara sendi ekonomi sosialnya tidak tersentuh. Posisi bawah masyarakat miskin tidak bakal beranjak dari tekanan himpitan ekonomi pascanaiknya BBM.
Jadi, kalau begitu BLT bukan obat mujarab untuk menanggung ekses naiknya harga BBM. Sebab kelompok miskin harus mengeluarkan ongkos lebih besar dari sekadar ‘kue’ BLT. Khususnya saat mereka harus membayar biaya transportasi, sekolah, beras, minyak goreng, minyak tanah, atau komoditas publik lainnya.
Masyarakat miskin bakal tetap menanggung beban hidup yang begitu berat, akibat terjangan harga-harga yang terus meroket. Anggaran rumah tangga masyarakat miskin, bakal makin terpuruk dan terperosok ke dalam belitan krisis berkepanjangan. Apalagi ekses naiknya harga BBM 2005 sampai kini masih sangat terasa dan belum kering dari ingatan masyarakat.
Lebih jauh lagi, skema penyaluran BLT rawan manipulasi, baik calon penerima maupun proses penyalurannya. Konsekuensi kerawanan itu, yakni penyaluran bakal salah sasaran dan kemanfaatannya tidak tepat guna. Intinya, selain BLT bukan alternatif cerdas untuk membantu masyarakat miskin, ternyata pemerintah belum siap. Mestinya pemerintah tidak memaksakan diri untuk menaikkan harga BBM. Karena kebijakan itu belum dibarengi dengan dukungan infrastruktur guna menopang eksesnya. BLT bagi pemerintah daerah justru seperti memindahkan ‘bola panas’ dari pusat ke daerah. Pilihan kebijakan BLT sebagai model kompensasi tidak dapat dipertahankan. BLT bukan solusi, karena tidak ada stimulus bagi kreatifitas masyarakat miskin.
Secara prinsip BLT 2005, apabila dilihat dari perspektif memperkuat daya tahan ekonomi masyarakat miskin mengalami kegagalan. Nah, agar kegagalan serupa tidak terulang, sebaiknya pemerintah melakukan kajian lebih dalam lagi skema kompensasi yang lebih berkeadilan, tepat sasaran dan bermanfaat bagi penguatan ekonomi masyarakat miskin.
Terakhir, kalau pemerintah belum siapkan jaringan infrastruktur, data terpercaya dan akurat. Sebaiknya pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Ditambah lagi, fakta tidak ada progres dan evaluasi keberhasilan BLT 2005. Atau, apakah pemerintah tega membiarkan masyarakat tetap atau bakal bertambah miskin dengan kembali mengerek harga BBM itu? Terserahlah...!!!
================================
Sumber : Analisa, 22 Mei 2008