POST DATE | 23 Oktober 2022
Secara empiris, budaya mundur bila gagal menjalankan tugasnya, biasanya merujuk pada yang dilakukan seorang samurai di Jepang. Karena itu, di Negeri Matahari Terbit suatu hal yang lumrah jika pejabat yang gagal menjalankan tugas mengundurkan diri. Tidak hanya di Jepang, di negara yang menjunjung tinggi integritas kerja, pejabat mundur juga merupakan kelaziman.
Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat memilih mundur sebelum kasusnya meluap sehingga kesalahan mereka tidak terekspos terlalu banyak. Di Jerman, perdana menteri mundur karena tersangkut skandal kredit rumah berbunga ringan yang didapat dari keluarga pengusaha, yang mendapat diskon khusus ketika membeli rumah.
Pada waktu terakhir ini, di Inggris Menteri Dalam Negerinya, Suella Braverman mundur dari jabatannya seusai insiden salah kirim e-mail. Pemicunya hanya gara-gara salah mengirim surat elektronik penting tersebut. Bagi Braverman hal itu kesalahan yang mengharuskan dirinya mundur. Tindakan ini, menurutnya, menandai pelanggaran teknis aturan, sehingga dia menilai keputusan menanggalkan jabatan menteri dalam negeri sudah tepat.
Langkahnya itu disusul Perdana Menteri Inggris Liz Truss, yang mundur setelah keputusannya membatalkan kebijakan pemotongan pajak yang menyebabkan kehancuran pasar selama krisis biaya hidup yang sudah parah. Truss menyampaikan alasannya mundur lantaran tidak dapat menunaikan mandat merealisasikan pemotongan pajak itu. Intinya sebagai Perdana Menteri Inggris, Liz Truss merasa tidak mampu lagi menunaikan mandat itu.
Di Indonesia tahun 2017 silam, akibat kasus pilotnya mabok, Direktur Utama dan Direktur Operasional Citilink akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Terlepas dari bentuk kesalahan yang dilakukan bawahannya tersebut, sikap mundur dari kepemimpinan organisasi perusahaan patut diacungi jempol. Bagaimana pun, keberanian direksi Citilink bersikap seperti itu di tengah maraknya pejabat haus kekuasaan saat ini, patut dinilai mereka sebagai pemimpin yang memiliki jiwa ksatria.
Mundurnya petinggi perusahaan sebenarnya bukan hal baru dalam dinamika budaya di negeri ini. Sebelumnya Djoko Sasono dan Sigit Pribadi juga mundur dari jabatannya sebagai Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub dan dari Dirjen Pajak Kemenkeu (https://www.neraca.co.id/article/79278/budaya-mundur-sikap-ksatria). Rhenald Khasali (2017) mengatakan mundur patut menjadi budaya karena saat ini masih banyak pejabat yang atas kegagalannya justru melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan jabatannya.
Pantang Mundur!
Salah satu sebab sang Dirjen mundur bukan karena bersalah atau terlibat masalah, tapi merasa telah gagal mencapai target pengumpulan pajak. Meski secara nominal apa yang dicapainya cukup memuaskan, tetapi tidak sesuai target yang ditetapkan. Padahal, jika ini menjadi tradisi atau tuntutan -sekalipun bukan kewajiban- setiap pejabat bakal berlomba-lomba bekerja secara optimal untuk mencapai target atau memenuhi janjinya pada publik (Asma Nadia, 2015).
Sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong (2015) menilai budaya mundur sebagai pejabat belum ada di Indonesia. Sebab kalau kehilangan jabatan itu, dia akan merasa kehilangan bagian dari dirinya. Seorang pejabat merasa tidak akan lengkap tanpa jabatan yang melekat dalam dirinya. Bahkan secara historis tidak ada raja di Indonesia yang mengundurkan diri.
Rusmin Sopian (2019) mengatakan tradisi kepemimpinan di Indonesia adalah tradisi mencari seribu dalih dan kambing hitam padahal dirinya bersalah. Para pemimpin memegang erat prinsip pameo “king can do no wrong”. Sepatutnya jika bersalah ya, mau mundur. Padahal mundur dari jabatan bukanlah sikap lari tanggung jawab. Mundur dari jabatan adalah sikap patriotik ketika amanah dirasakan tak memiliki manfaat bagi publik dan rakyat.
Jika mau belajar, lihat saja laku tanggung jawab penerima mandat publik dijagat global. Di bidang olahraga yang mengandalkan sportifitas, Ketua Federasi Sepak Bola di beberapa negara tak sungkan mundur dari jabatannya usai mendapatkan kritik dan desakan publik atas kinerjanya.
Ada beberapa bos federasi yang dianggap bersikap kesatria karena mundur usai didesak masyarakat. Berbagai alasan mendasari keputusan mundur para petinggi Federasi Sepak Bola tempat mereka bekerja. Sepak bola Italia sedikitnya dua kali merasakan ditinggal bos federasi mereka dengan alasan berbeda. Franco Carraro (Terlibat Calciopoli 2006), dan Carlo Tavecchio (Gagal Lolos ke Piala Dunia 2018).
Ketua Umum Asosiasi Sepak Bola Liberia, Musa Bility mundur pada Maret 2018 karena ia ingin memberi contoh bahwa kepemimpinan dua periode sudah cukup bagi seorang ketua umum. Wolfgang Niersbach (tersandung kasus suap FIFA) memutuskan mundur dari jabatannya karena dianggap terlibat dalam skandal Piala Dunia 2006.
Malaysia, juga pernah merasakan pergantian pucuk pimpinan sepak bola mereka mundur. Tunku Ismail Sultan Ibrahim (karena peringkat tim nasoinal Malaysia Merosot di tabel FIFA) -timnas Malaysia menempati peringkat ke-178 dalam daftar peringkat FIFA.
Greg Clarke mengundurkan diri dari jabatan Ketua Asosiasi Sepak Bola Inggris, Football Association/Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA). Langkah itu dilakukan setelah ia menuai badai karena memakai kata "pemain kulit berwarna", yang dianggap rasis, dalam pertemuan dengan komite parlemen. Selanjutnya adalah Carlos Cordeiro (tersandung kasus seksisme). Presiden Federasi Sepak Bola Amerika Serikat (AS) itu mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kalimat diskriminatif dalam berkas pengadilan.
Berbeda dengan Indonesia, meski tata kelola sepak bola dinilai compang-camping, petinggi PSSI seperti tak kenal kata mundur. Teranyar soal Tragedi Kanjuruhan. Kematian 134 orang usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10/2022) itu seolah tak mengusik nurani pengurus PSSI untuk mundur (https://sports.sindonews.com/read/911013/11/daftar-7-ketum-sepak-bola-mundur-dari-jabatan-nomor-2-paham-budaya-malu-1665594639).
Pengurus PSSI dengan tegas menolak desakan mundur yang dilontarkan oleh netizen dan suporter sepak bola di media sosial. Dalihnya adalah kejadian di Kanjuruhan tidak ada kaitannya dengan dirinya. Malah menantang publik, siapa suruh mundur?
Pengurus PSSI mengatakan orang-orang yang mendesak dirinya untuk mundur, berarti mereka belum membaca regulasi. Karena jika berdasarkan regulasi, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya adalah panitia pelaksana pertandingan (https://context.id/read/667/iwan-bule-ogah-mundur-sebut-netizen-tak-tahu-regulasi).
Tradisi Indonesia memang memiliki banyak keunikan, termasuk integritas pejabat publiknya. Di negara yang menjunjung tinggi integritas, banyak pejabat yang menjadikan mundur sebagai pilihan pertama jika gagal menjalankan tugas.
Mereka memilih mundur sebelum kasusnya meluap sehingga kesalahan mereka tidak terekspos terlalu banyak. Sepertinya di negeri ini lebih banyak pejabat bertelinga tebal yang kebal. Sanggup tetap berdiri kokoh di posisinya sekali pun hujatan serta caci maki terus ditujukan kepadanya.
Mengapa budaya mengundurkan diri penting disuarakan? Meminjam Rusmin Sopian (2019) adalah untuk menegaskan hakikat dari jabatan adalah untuk mengemban amanat rakyat dan untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya. Jika amanat dan tugas itu tak dapat atau gagal dijalankan, mundur merupakan keniscayaan!
Apalagi pada saat sang pejabat terbelit kasus hukum, dengan mengundurkan diri artinya melepaskan kekuasaan agar proses peradilan dapat berjalan dengan fair. Jika tidak mau mundur dari jabatannya, besar kemungkinan ia mempergunakan kekuasaannya untuk memengaruhi jalannya proses hukum.
Mengundurkan diri dari jabatan karena gagal mengemban amanah dan karena masalah merupakan refleksi keteladanan dan cermin dari adanya rasa malu dan menjunjung tinggi tanggung jawab. Tanggungj awab pejabat negara adalah memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ketika ia gagal memenuhi kebutuhan itu lantaran korupsi atau kasus lainnya, seyogyanya dengan kesatria meminta maaf dan mengundurkan diri.
Berdoa dan berharap, semoga di masa depan lahir sosok-sosok pejabat Indonesia yang berintegritas tinggi. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan karena ingin berbuat lebih banyak untuk rakyat.
Mereka yang ingin menepati janji dan tahu diri jika tidak mampu dengan segera memberi kesempatan kepada orang lain. Pejabat yang punya budaya malu. Memiliki karakter budaya mundur. Bukan budaya korupsi, apalagi budaya pantang mundur!
=============
Sumber: Analisa, Jumat, 11 November 2022, hlm. 12