post.png
Kebebasan-Berpendapat-UU-ITE-Ilustrasi.jpg

Dilema UU ITE

POST DATE | 07 Juli 2017

Bermula dari kasus yang menimpa Prita Mulyasari di tahun 2009. Ibu dengan dua balita dan satu bayi ini ditahan berdasarkan ketentuan Pasal 27 (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Prita sempat ditahan di penjara khusus wanita Tangerang selama 3 minggu. Kasus itu terjadi karena email Prita yang mengeluhkan layanan buruk dari dokter dan Rumah Sakit swasta Omni International Tangerang.

Kasus berikutnya menimpa Benny Handoko pemilik akun twitter @benhan. Lewat akun tersebut Benhan menyatakan bahwa politisi M. Misbakhun adalah “perampok” Bank Century. Hal ini mengacu pada referensi Benhan atas kasus Bank Century yang sempat memosisikan Misbakhun sebagai tersangka.
Benhan lantas diadukan ke polisi pada 10 Desember 2012. Alasan pengaduan adalah twit Benhan yang dianggap pengadu sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik. Pada Mei 2013, Benhan resmi dinyatakan sebagai tersangka. Benhan mulai ditahan pada 5 September 2013 di LP Cipinang. Memang panahanan tersebut akhirnya ditangguhkan pada 7 September 2013, menyusul adanya protes publik.
Paling anyar adalah kasus Florence Sihombing (Flo, 26). Flo tanggal 27 Agustus 2014 lalu menulis status di Sosial Media Path yang berisi hinaan terhadap warga Yogyakarta. Flo sedang merasa kesal terkait ditolaknya mengisi BBM di sebuah SPBU. Dalam waktu singkat status Path Flo tersebar di media sosial lain.
Flo mulai menerima kecaman dari para pengguna media sosial lainnya bahkan ada unjuk rasa oleh sebagian warga Yogyakarta terkait status Flo ini. Flo diadukan ke Polda DIY. Flo dilaporkan terkait dugaan tindak pidana pencemaran nama baik sesuai ketentuan Pasal 27 (3), 28 (2) UU ITE No. 11 Tahun 2008 jo Pasal 310 dan 311 KUHP. Tanggal 30 Agustus 2014, Polda DIY pun menanggapi laporan ini dengan melakukan penggilan dan penyidikan dan hasilnya Flo sempat ditahan di Polda DIY.
Ketiga kasus itu hanya sekadar contoh, betapa UU ITE begitu ampuh untuk meredam kebebasan berpendapat dan memenjarakan yang berekspresi atau berbeda pendapat di Internet. Bahkan sejak diundangkan UU ITE telah menjerat lebih dari 32 kasus pencemaran nama baik (http://www.elsam.or.id/).
Selain UU ITE, KUHP juga mengkriminalkan tindakan penghinaan atau pencemaran nama melalui di internet termasuk status sosial media.
 
Simalakama
Pasal 27 (3) UU ITE dianggap pasal paling kontroversial. Perumusannya tidak jelas, multitafsir, longgar dan terbukti mengkriminalisasi perbuatan seseorang secara berlebihan (overcriminalization). Telah banyak menerkam korban. Sebab yang terjadi di lapangan, justru Pasal 27 (3), telah berulangkali digunakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk menekan pihak lain yang tak sepaham dan dalam posisi yang lebih lemah (Andreas Ab, 2014).
Banyak pihak merasa terbebani dengan Pasal 27 (3) UU ITE. Pasal ini memiliki ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Pasal 27 (3) UU ITE dianggap membatasi ruang kebebasan berpendapat melalui internet. apalagi kepolisian dan kejaksaan berhak menahan tersangka yang diancam hukuman 5 tahun atau lebih selama pemeriksaan (penyidikan/interogasi). Alasan polisi dan jaksa bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Isi dari UU ITE Pasal 27 (3) dimaksud: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik“.
Selalu mengiringi Pasal 27 ITE adalah Pasal 310, ayat 1 KUHP:Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.
Biasanya polisi dan kejaksaan melengkapi pula dengan menu Pasal 311 (1) KUHP: “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya 4 tahun.”
Dari norma itu menurunkan 3 bentuk ancaman yang berpotensi menjerat pemilik twitter, facebook, BBM, path, instagram, atau media sosial apapun. Jika tidak hati-hati maka masuk dalam jeratan pelanggaran kesusilaan (Pasal 27 (1), penghinaan/pencemaran nama baik (Pasal 27 (3), dan penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama dan ras (SARA) seperti diatur oleh (Pasal 28 (2).
Secara filosofis UU ITE ini mengajarkan agar para pengguna dunia maya tidak semena-mena dalam berekspresi. Ada hak orang lain atau publik yang mesti dihormati. Tidak semua yang dipikirkan, dirasakan atau dilihat dapat diekspresikan dalam bentuk tulisan di dunia maya.
Secara historis fungsi UU ITE bermaksud untuk melindungi masyarakat dari perdagangan gelap, penipuan, pemalsuan, dan penyalahgunaan lainnya di dunia digital. UU ITE bermula dari kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia, karena banyak transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia maya. Selain itu juga diatur mengenai penyebaran video-video porno melalui alat komunikasi serta pencemaran nama baik melalu media televisi atau radio. Atau menulis sesuatu yang melanggar privasi atau hak orang lain dalam sebuah blog yang dapat diakses oleh para pengguna dunia maya.
UU ITE itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan masyarakat. UU ITE memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dagang. UU ITE juga bisa mengungkapkan kejahatan yang dilakukan seseorang di luar Indonesia untuk dapat diadili dan dapat meminimalisir penyalahgunaan internet. Jadi, dengan adanya UU ITE ini, ada payung hukum dalam beraktivitas di dunia maya.
Pasal 27 (3) UU ITE tersebut pernah diuji (judical review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK berpendapat bahwa pasal penghinaan yang diatur dalam KUHP adalah khusus untuk aktifitas offline, tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di internet. Jadi, norma Pasal 27 (3) adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. (http://www.hukumonline.com).
Eksistensi UU ITE memang jadi dilema. Sisi positif UU ITE memberi proteksi kepada para pihak yang bertransaksi dengan itikad baik. Sisi lainnya, UU ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat. Banyak penegak hukum menggunakan UU ITE justru seperti palu godam. Begitu mudah menjerat pelaku pelanggaran dengan cara menahan para tersangkanya.
Nampaknya masih perlu sosialisasi UU ITE. Selama upaya membumikan UU ITE terasa kurang maksimal. Tentu saja membuat banyak pihak terjerat pasal-pasal pidana dan berujung penjara.
Jerat pidana UU ITE begitu tajam, karena banyak melibatkan orang ternama, atau pemilik modal. Kalau ditelusuuri secara sederhana para pelaku umumnya tidak mengetahui ada sanksi pidana ketika mentransfer data digital ke berbagai sarana digital lain.
 
=========
Sumber: Waspada, 23 September 2014


Tag: , ,

Post Terkait

Komentar