POST DATE | 20 Agustus 2017
Pemerintah memastikan, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) rata-rata 10-18 persen per 1 Juli tahun ini. Padahal sebelumnya, pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan TDL pada tahun 2010. Alasan sebelumnya pemerintah memang membatalkan kenaikan TDL pada 2010 atas pertimbangan terkait penyediaan listrik PLN yang masih byar-pet.
Kenaikan TDL untuk pelanggan bisnis tertinggi menimpa golongan berdaya 1.300-5.500 VA dengan kenaikan 16 persen. Industri berdaya 2.200-200 ribu VA mengalami kenaikan TDL 12 persen.
Kini, PLN masih menerapkan tarif listrik tegangan rendah Rp670 per kWh bagi para pelanggannya. Padahal, dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2010, Biaya Pokok Penyediaan listrik tegangan rendah Rp1.214 per kWh.
Bila asumsi untuk margin, depresiasi, dan biaya lain mencapai 12%, tarif keekonomian listrik adalah sekitar Rp1.360 per kWh. Ini masih jauh terpaut dengan harga jual listrik PLN. Selisih ini yang disubsidi oleh pemerintah.
Patut pula dipertimbangkan posisi sekitar 80 persen pelanggan PLN adalah kelompok rumah tangga. Kalaupun rencana kenaikan tarif listrik ini harus dilakukan maka itu harusnya juga tak boleh lebih besar dari rata-rata 15 persen itu. Sebaliknya bagi kepentingan konsumen rencana kenaikan TDL itu terasa bagai simalakama dan memberatkan.
Masalahnya kenaikan TDL itu masih diwarnai maraknya pemadaman listrik. Apakah ada garansi pascakenaikan TDL itu, listrik tidak bakal byarpet lagi. Kemudian, terkait mahalnya ongkos produksi dan carut marutnya kondisi ketenagalistrikan di Indonesia lebih dikarenakan faktor salah urus (mismanagement) yang dilakukan oleh pemerintah dan pengelola PT. PLN.
Bukan lagi soal tinggi atau rendahnya TDL. Sebab itu, sungguh tidak adil jika akibat salah urus itu masyarakat konsumen dibuat sebagai ”kuda tunggangan” untuk memikulnya.
Selain itu dalam proses pentarifan, indeks kepuasan konsumen listrik terhadap kualitas layanan PT. PLN, plus data tentang kemampuan bayar (abality to pay) konsumen listrik, menjadi basis bagi pemerintah untuk menaikkan atau tidak menaikkan TDL. Demikian pula, apakah tarif rendah identik dengan kualitas pelayanan rendah.
Mengapa ‘ngotot’ TDL harus naik sementara kualitas masih jeblok. Pemadaman listrik terjadi di mana-mana. Apakah masalah ini tidak memerlukan solusi terbaik sebelum TDL dinaikkan? Tidak eloklah kalau masalah krisis listrik justru diatasi dengan menaikan tarif. Tetapi harusnya mencari energi alternatif.
Dampak besar rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 18 persen pada Juli 2010 akan mememberatkan sektor usaha mikro kecil dan menengah UMKM yang sedang menghadapi era pasar bebas. Kenaikan TDL akan semakin memberatkan masyarakat miskin tidak terkecuali pelaku UMKM yang saat ini tengah bersaing dengan produk China dan asing lainnya.
Kenaikan TDL pada Juli ini akan berdampak besar ke depan. Agustus 2010 sudah memasuki bulan Ramadan yang meski dampak kenaikan TDL terhadap peningkatan harga barang kecil, namun tetap berdampak khususnya rakyat kecil. Belum lagi, dampak psikologis dan politis akibat kenaikan TDL itu.
Kenaikan TDL harus dikaji mendalam karena selama ini pelayanan listrik dari PLN belum optimal dan masih sering terjadi pemadaman bergilir dan masalah lainnya. Kenaikan ini harus mempertimbangkan dampak terhadap kenaikan biaya produksi dan biaya barang, yang akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Apakah pemerintah dapat mencarikan jalan keluar antara lain dengan memberikan kompensasi terhadap sub-sektor industri yang paling terkena dampak langsung dari kenaikan TDL tersebut. Itu diperlukan agar daya saing industri tidak berkurang, terutama menghadapi pasar bebas dunia.
Efek Kenaikan TDL
Menjelang kenaikan tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli 2010 mendatang, dapat terbaca efek 'ikutan'' kenaikan TDL. Efek ini perlu dijaga karena akan berpotensi memicu inflasi. Menurut Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, pemerintah sudah menghitung bahwa dari sisi biaya produksi, naiknya TDL untuk industri bebannya tidak terlalu tinggi.
Namun demikian, sumbangan kenaikan harga yang menyebabkan harga-harga ikut naik akibat faktor psikologis. Pemerintah tidak ingin efek ikutan ini membesar, karena akibatnya daya beli masyarakat akan tergerus.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman, mengatakan, jika kenaikan TDL hanya terjadi secara individual, pengusaha makanan dan minuman masih bisa menahan untuk tak menaikkan harga jual ke konsumen dengan mengurangi margin laba. Kontribusi energi (listrik) sekitar 10 persen dari struktur biaya. Jadi, kenaikan TDL hanya berpengaruh 1-1,5 persen.
Masalahnya, bisa saja produsen bahan baku menaikkan harga sehingga terjadi efek domino. Jika itu terjadi, penjual pun terpaksa menaikkan harga jual produk. Padahal, daya beli masyarakat sudah terbatas karena TDL rumah tangga juga naik 18 persen.
Akibatnya, terjadi penurunan penjualan sehingga pengusaha terpaksa menurunkan kapasitas produksi. “Pemerintah harus mengimbau semua pihak agar tidak ikut-ikutan menaikkan harga,” ujar Adhi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan, juga mengkhawatirkan efek domino kenaikan TDL yang di luar kendali. Misalnya, produsen menaikkan harga jual barang di luar batas kewajaran.
Kenaikan TDL industri juga bisa memberikan dampak ganda, seperti kenaikan harga berkali-kali lipat jika dihitung sampai sepanjang tahun mendatang. Rusman mencontohkan, kenaikan TDL membuat ongkos produksi naik sehingga harga barang ikut naik. Kemudian, industri lain yang membeli barang itu juga pada akhirnya menaikkan harga jual produk.
Kemudian, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta, berjanji anggotanya tak akan menaikkan harga barang ritel karena kontribusi energi pada struktur biaya ritel hanya 2-3 persen.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, mengingatkan pengusaha UKM akan menjadi kelompok yang paling merasakan dampak kenaikan TDL karena mayoritas mendapat beban kenaikan TDL paling tinggi.
=========
Sumber: Medan Bisnis, 03 Agustus 2010