POST DATE | 19 Juni 2017
Juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, berkeras pihaknya telah melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim. Dia mencontohkan bahwa sepanjang 2015 ada 116 kasus menyangkut etika hakim yang direkomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk diberikan sanksi ringan, sedang, dan berat. Akan tetapi, menurutnya, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk membuat pengawasan menjadi lebih efektif.
“Pertama, rekomendasinya harus mengikat. Selanjutnya, sikap terbuka, transparan, dan keinginan yang kuat dari Mahkamah Agung. Karena sampai sekarang Mahkamah Agung sangat konsisten untuk tidak menjalankan rekomendasi Komisi Yudisial dengan alasan bahwa itu masuk teknis yudisial,” kata Farid.
Tudingan Farid didasari oleh fakta bahwa selama ini hasil pengawasan Komisi Yudisial diserahkan ke Mahkamah Agung dalam bentuk rekomendasi. MA kemudian yang berhak menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Lebih jauh tentang hal tersebut, berikut wawancara Sofyan Hadi dari FORUM dengan Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi, Kamis 26 Mei 2016 di Jakarta. Nukilannya.
Apa tanggapan Anda tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang penegak hukum di institusi peradilan?
Merespon perkembangan terkini mengenai penangkapan Hakim (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, maka Komisi Yudisial RI sebagai lembaga berpandangan sebagai berikut. Pertama , Komisi Yudisial kembali menyatakan keprihatinan yang mendalam atas peristiwa tersebut, persepsi dan kepercayaan publik diperkirakan akan terus menurun dengan berulangnya kejadian serupa. Dalam catatan Komisi Yudisial sejak bulan Januari sampai dengan hari ini, sudah sekitar 11 aparat pengadilan yang terdiri dari 3 pejabat pengadilan dan 8 hakim yang kasusnya muncul ke publik atau media, belum lagi yang tidak terjangkau publikasi.
Kedua, menindaklanjuti hal ini, desakan kepada Mahkamah Agung (MA) agar lebih terbuka dalam proses pembenahan internal demi mencegah terulangnya kejadian serupa menjadi semakin relevan. Perlu ditegaskan bahwa pengawasan tidak ditujukan untuk tujuan merusak, tetapi justru untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah semakin terpuruk. Harus ada langkah progresif dari aspek internal MA untuk melakukan evaluasi dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat peradilan.
Ketiga, Komisi Yudisial secepatnya akan mengambil langkah konstruktif dengan melakukan koordinasi dengan KPK dan MA untuk kemudian dilanjuntukan dengan langkah-langkah yang bisa diambli sesuai dengan kewenangan konstitusional yang dimiliki, termasuk di dalamnya lebih memperketat pengawasan dan internalisasi kode etik kepada para hakim serta perbaikan sistem promosi dan mutasi.
Keempat, sekali lagi peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga bagi para hakim lainnya untuk lebih profesional dan menjaga integritas tanpa kecuali dalam menjalankan tugas. Terutama bagi para oknum Hakim, berhenti merusak citra peradilan, pilihlah satu dari dua, berhenti melakukan pelanggaran atau mengundurkan diri sebagai Hakim. Hakim adalah wakil tuhan, profesi yang mulia, dan orang-orang pilihan, sehingga harus mampu menunjukkan sikap keteladanan dalam semua aspek kehidupannya.
Bagaimana dengan rekam jejak hakim JP yang dimiliki KY?
Data yang ada di KY Hakim Janner Purba sudah pernah dilaporkan sebanyak 6 kali ke KY. Dua diantaranya sampai dengan usul penjatuhan sanksi ringan berupa teguran, sedangkan 4 lainnya tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sedangkan hakim Toton belum pernah dilaporkan ke KY. Sekadar catatan KY belum punya data untuk duet JP-Toton. Tapi khusus JP, yangbersangkutan sebenarnya masuk radar KY secara khusus sejak November 2015. Cuma KY punya keterbasan untuk tindak lanjut informasi atas yang bersangkutan. Masalahnya sebagai lembaga etika, bukan penegak hokum. KY alami kendala soal sadap atau rekam proses pertemuan itu. Di dua sanksi tersebut adalah pada saat JP bertugas di PN Pematang Siantar. Tapi jenis laporan pada pelanggaran kode etiknya belum terlacak dengan baik.
Apakah KY pernah merekomendasikan terhadap delapan hakim karena diduga terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sedangkan delapan hakim diambil dari 58 laporan yang diproses sidang pleno?
Dari 58 laporan, hanya 8 laporan terbukti ada pelanggaran etik oleh hakim terlapor. Sisanya, 49 laporan dinyatakan tidak terbukti melanggar KEPPH. Rinciannya, 5 hakim dijatuhi sanksi teguran lisan dan tertulis; 2 hakim dijatuhi sanksi nonpalu paling lama 3 bulan dan penundaan kenaikan pangkat; dan 1 hakim diberhentikan dengan hormat. KY menerima 1.060 laporan pengaduan masyarakat, separuhnya laporan dugaan pelanggaran KEPPH. Dari sisi jenis perkara, hakim peradilan umum terkait perkara pidana dan perdata mendominasi jumlah laporan pengaduan terutama di Pengadilan Negeri Klas IA khusus lantaran tingkat kompleksitas perkara yang tinggi dan sensitif. Tidak heran dari segi kuantitas jumlah hakim peradilan umum lebih banyak daripada hakim lingkungan peradilan lain.
Bagaimana sikap Komisi Yudisial terhadap MA?
Kasus menjadi pintu masuk bagi Komisi Yudisial untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi yang lebih intensif. Dengan KPK dalam rangka upaya percepatan reformasi birokrasi di Mahkamah Agung. Dalam pemahaman kita bahwa yang dimaksud dengan reformasi birokrasi itu sangat dekat hubungannya dengan minimal tiga hal. Yang pertama adalah perbaikan sistem mutasi dan promosi. Karena kalau berangkat dari kasus yang terakhir hakim JP, menjadi miris kita membaca peristiwa itu. Tatkala bahwa oknum hakim yang ditangkap tangan oleh KPK itu justru dalam proses promosi menjadi salah seorang ketua pengadilan di salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Itu menunjukan dari segi proses promosi dan mutasi ada sesuatu yang salah.
Apa yang salah itu?
Pertama, meninggalkan sisi prinsip objektifitas dan didominasi oleh kepentingan subjekifitas. Idealnya yang dipahami Mahkamah Agung selalu mewacanakan kepada publik bahwa disana terlah berlangsung sebuah proses yang transparan dan akuntabel. Dengan pendekatan objektifitas yang tinggi melalui pendekatan fit and proper tes bagi para calon ketua, wakil ketua untuk pengadilan tingkat pertama dan untuk menjadi hakim tinggi. Misalnya dengan sedikit mengadopsi pola seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap para hakim calon hakim agung. Jadi ada model adopsi seleksi. Tetapi ternyata yang muncul adalah contoh diantaranya hakim yang ditangkap oleh KPK dan dalam proses promosi itu. Menunjukan dalam konteks ini ada sesuatu yang salah, ada yang musti dibenahi dalam promosi mutasi itu. Ini saya pikir hanya tampilan kecil dari kasus besar yang musti kita telisik lagi terkait dengan promosi mutasi tidak menjadi hal yang prioritas. Untuk dijadikan sebagain dari proses reformasi birokrasi. Dalam konteks reformasi.
Kedua, manajemen alur perkar. Ini juga mustinya ada perbaikan dan pembenahan. Tidak cukup hanya sebatas mengklaim bahwa ada peningkatan-peningkatan yang signifikan terhadap misalnya one day publish. Atau kemudian perbaikan-perbaikan alur adminitrasi perkara yang ternyata itu sebenaranya dalam pandangan Komisi Yudisial masih sulit membedakan mana yang adminitrasi umum dan mana adminitrasi yudisial misalnya. Karena di badan peradilan dengan contoh Mahkamah Agung itu ada pemisahan antara panitera dan sekretaris.
ang ternyata ketika ada perkara yang masuk, contohnya ke Mahkamah Agung. Itu tidak seluruhnya diurus oleh panitera tetapi juga melibatkan sekretaris. Sehingga kesekretariatan jika ada perkara masuk dari tingkat pertama ke banding, banding ke kasasi. Maka kemudian di bagian kesekretariatan masih terlibat, masih harus melawati meja sekretariat. Yang sebenarnya dari sisi perbaikan ini belum sempurna, karena kalau berangkat dari contoh-contoh yang ada. Proses penanganan perkara dan melibatkan sekretariat lalu kemudian masuk ke bagaian kepaniteraan. Disitulah kemudian celah yang dimungkinkan jika ada aparatur yang bermental buruk. Contohnya yang adalah dalam kasus operasi tangkap tangan di Mahkamah Agung. Ketika ada putusan tetapi dalam proses mitumutasi kemudian justru masih banyak salah.
Disamping program one day publish yang didengungkan oleh Mahkamah Agung itu benar bahwa putusan satu hari setelah diucapkan itu terpublikasi lewat web atau online. Tetapi faktanya berdasarkan penelitian dari beberapa NGO menyatakan untuk tahun 2015 saja misalnya hanya sekitar 30 persen dari perkara yang diputus sampai ke pihak pengaju asal. Katakan dari 10 ribu putusan hanya 3000 yang putusan itu disampaikan pada tahun yang sama. Jadi one day publish itu secara kualitas cepat ada putusan. Tetapi untuk mendapatkan akses putusan itu memerlukan waktu 1 sampai 2 tahun. Jadi sebenarnya formalitasnya sudah bagus tetapi substansialnya tidak diikuti dengan langkah-langkah untuk mempercepat akses masyarakat mendapatkan putusan dalam kaitan kepastian hukum. Ini sebenarnya peluang lagi dalam kaitan proses adminitrasi manajemen alur perkara.
Yang ketiga, dan ini menjadi bagian penting dalam rangka pembaharuan di Mahkamah Agung yaitu penguatan internalisasi kode etik dikalangan para hakim dan para pejabat pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan peradilan yang ada dibawah. Saya ingin mengatakan sebaik apa pun yang dibangun, sebagus apapun kemudian pola mutasi dan promosi, perbaikan manajemen yang dilakukan. Tetapi kalau kemudian diisi oleh orang-orang yang memiliki metal yang buruk. Maka jika manusia diisi oleh manusia bermental buruk maka sesungguhnya sebaik apapun konsep perbaikan atau reformasi yan dilakukan maka sesungguhnya perkerjaan itu menjadi cita-cita yang hanya ada di alam mimpi.
Diimplementasikan atau dieksekusi dengan baik meskipun tujuannya baik, tetapi kalau diisi dengan orang-orang bermental yang buruk, maka sesungguhnya niatan perbaikan menjadi sebuah keniscayaan saja.
Bagaimana dengan SDM di lingkungan lembaga peradilan?
Kalau berbicara SDM dikaitan dengan misalnya fasilitas seorang hakim atau gaji seorang hakim atau remunerasi bagi seorang hakim. Itu sudah di atas rata-rata pendapatan para pegawai negeri di Indonesia. Jadi kalau kemudian masih ada alasan bahwa saya korup karena pendapatan rendah. Saya korupsi karena gaji tidak cukup, itu sudah tidak menjadi alasan lagi. Karena dari sisi sistem penggajian mereka sudah diatas rata-rata.
Oleh karena itu menjadi sangat penting kalau kemudian diperlukan perbaikan sistem itu dibarengi dengan interenisasi kode etik yang tidak hanya sebatas dipelajari dan diajarkan di meja belajar. Tetapi lebih jauh dari itu yang paling penting bagaimana kemudian kode etik menjadi bagian kehidupan professional. Yang diwarnai dengan penghayatan etika, itu yang menjadi sesuatu yang benar-benar kebutuhan. Atau dengan kata lain saya katakan, kalau ingin ada perbaikan yang lebih serius maka etika dijadikan menjadi gaya hidup bagai seorang hakim dalam konteks perbaikan ini. Disamping juga pejabat pengadilan di luar hakim.
Kami berharap dengan pimpinan MA yang baru bisa membangun pola hubungan seperti itu, gaya hidup hakim dalam konteks perbaikan ini. Disamping juga tentunya pengadilan di luar hakim. Sebab tanpa etika dan didasari pada prinsip bekerja itu adalah untuk melayani manusia dan kemanusiaan. Dalam konteks ritual, pekerjaan itu sebagai bagian dari proses pengabdian kepada Sang Khalik. Dan itu tidak dijadikan sebagai bagian gaya hidup. Maka sesungguhnya yang muncul adalah sikap hedonistik menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu. Maka kemudian yang ada adalah hakim-hakim yang tidak bermaksud untuk menjadikan pengadilan sebagai benteng terakhir pengadilan. Tidak bermaksud untuk menjadikan Mahkamah Agung sebagai keadilan yang agung, tidak bermaksud untuk menjadikan pengadilan sebagai peradilan yang bersih. Maka yang muncul adalah hakim-hakim yang justru tidak hanya sebatas mencederai tetapi juga meruntuhkan kewibawaan dan martabat hakim dan pengadilan
Dengan kasus ini apa yang perlu dibenahi oleh MA?
Menindaklanjuti hal ini, desakan kepada MA agar lebih terbuka dalam proses pembenahan internal demi mencegah terulangnya kejadian serupa menjadi semakin relevan. Pengawasan tidak bertujuan untuk merusak, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan publik yang semakin terpuruk. Harus ada langkah progresif dari internal MA untuk melakukan evaluasi demi menjaga kehormatan dan martabat peradilan. Untuk itu, KY secepatnya akan mengambil langkah konstruktif dengan melakukan koordinasi dengan KPK dan MA. Koordinasi itu kemudian dilanjuntukan dengan langkah-langkah yang bisa diambil sesuai dengan kewenangan konstitusional yang dimiliki masing-masing lembaga. Tertangkapnya JP, harus menjadi pelajaran berharga bagi para hakim lainnya untuk lebih profesional dan menjaga integritas tanpa kecuali. Jika masih berani nakal, pilihannya cuma dua. Yakni berhenti melakukan pelanggaran atau mengundurkan diri sebagai hakim. Karena hakim adalah wakil Tuhan, profesi yang mulia, dan orang-orang pilihan, sehingga harus mampu menunjukkan sikap keteladanan dalam semua aspek kehidupannya.
Apakah data laporan masyarakat itu akan dipergunakan untuk masukan bagi MA?
Data lengkap pengaduan masyarakat ini akan kita sampaikan ke MA agar menjadi bahan perbaikan lembaga peradilan ke depannya. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh MA untuk bisa memperbaiki kinerja dan mutu peradilan. Pertama, ada perbaikan pola mutasi dan promosi di internal MA terutama bagai hakim. Kedua, ada perbaikan pola manajemen alur penanganan perkara di lembaga peradilan. Ketiga, harus ada peningkatan mental dan penerapan etik dalam bekerja. Sebagus apapun pola mutasi-promisi kalau tidak diisi dengan SDM yang bermental melayani, semuanya akan sia-sia. Komisi Yudisial telah menyusun tabel berdasarkan asal kota terjadinya dugaan pelanggaran KEPPH. Berdasarkan lokasi surat pengaduan yang diterima ada 5 provinsi yang terbanyak melaporkan terjadinya dugaan pelanggaran KEPPH: DKI Jakarta (91 laporan), Sumatera Utara (54 laporan), disusul Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Bagaimana dengan cetak biru MA yang memerlukan keberadaan KY?
Saya ingin katakana bahwa dalam prespektif hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung jujur saja memang ada. Yang publik menyebutnya hubungan KY dengan MA ‘panas dingin’. Kita akui itu dan saya pikir bagian yang terpenting dari itu adalah dalam rangka perbaikan diperlukan komunikasi intensif, produktif, kreatif, positif. Sehingga hubungan MA dengan KY mustinya lebih baik. Itu yang pertama.
Yang kedua memang belajar dari sejarah memang benar Mahkamah Agung dalam buku printnya membutuhkan lembaga eksternal, Itu adalah Komisi Yudisial. Tetapi dalam perspektif sejarah itu kemudian muncul anggapan bahwa komisi Yudisial ini seperti anak nakal, yang sering mengganggu orang tuanya. Malah ekstrimnya anak durhaka yang melebihi tidak bertindak sebagai anak yang baik. Sehingga kalau belajar dari sejarah IKAHI dan tentu atas restu para petinggi MA. Itu telah dua kali mencoba mempereteli kewenangan KY. Yang pertama tahun 2006 ketika IKAHI melakukan judicial review terkait dengan kewenangan pengawasan KY. Dan kemudian 2015 terkait dengan kewengan KY bersama MA untuk melakukan seleksi bersama. Dalam kaitan ini saya pikir dari semua yang disebuntukan tadi itu adalah kebesaran hati dan sikap kenegarawan petinggi di MA. Untuk menerima KY dalam proporsi sewajarnya, tidak juga menyerahkan sepenuhnya pengawasan itu terimalah apa adanya.
=================================
sumber : forumkeadilan.com