POST DATE | 07 September 2024
Kotak kosong adalah fenomena munculnya pasangan calon yang tidak memiliki lawan atau pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Istilah kotak kosong itu muncul karena posisi lawan pasangan calon tunggal dalam surat suara dinyatakan dalam bentuk kolom kosong tanpa foto (Kompas.com, 03/09/2024). Frasa ”kotak kosong” seakan mendapat konotasi baru dalam dunia politik Indonesia: dinasti atau penguasa yang kuat di daerah.
Masalahnya, jumlah Pilkada dengan kotak kosong kian meningkat. Dari hanya di tiga daerah pada Pilkada (2015), meningkat menjadi sembilan daerah pada Pilkada (2017), lalu 16 daerah pada Pilkada (2018), 25 daerah pada Pilkada (2020) (Kompas, 6/5/2024) dan terakhir Pilkada (2024) terdapat 41 daerah itu terdiri dari 1 provinsi, 35 kabupaten, dan 5 kota.
(Kompas, 06/09/2024). Biasanya, pemenang pilkada dengan kotak kosong adalah kotak berisi calon tunggal. Satu-satunya kemenangan fenomenal kotak kosong tercatat pada Pemilihan Wali Kota Makassar 2018. Pilkada tersebut diikuti calon tunggal, yakni pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu). (Kompas.com, 27/06/2018). Jika merujuk data Pilkada 2024 tampaknya, publik akan disuguhkan lagi lebih banyak kotak kosong pada Pilkada 2024 ini.
Adanya kotak kosong dilakukan untuk memfasilitasi hak dari para pemilih, sehingga Pilkada dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku. KPU menjelaskan bahwa istilah kotak kosong sebenarnya tak ada dalam UU Pilkada, meskipun itu populer di ruang publik. Secara yuridis yang ada surat suara tak berfoto, atau yang disebut dengan calon tunggal. Undang-Undang pun pada prinsipnya tidak melarang pemilih memilih kotak kosong, tetapi KPU tidak memfasilitasi kampanye untuk kotak kosong.
Perlu diketahui, meskipun calon tunggal menjadi satu-satunya pasangan calon yang berkompetisi di Pilkada melawan kotak kosong, undian akan tetap dilakukan. Karena itu, KPU tetap melakukan pengundian apakah calon tunggal ini mendapatkan nomor urut 1, atau nomor urut 2. Jika calon tunggal mendapatkan nomor urut 2, foto pasangan calon tersebut diletakkan di sebelah kanan, sementara di sebelah kiri hanya terdapat nomor dan kotak tanpa foto (Kompas.com, 03/09/24).
Kotak kosong tersebut dihadirkan untuk menentukan kemenangan dari calon tunggal. Apabila berhasil meraih suara di atas 50%, pasangan calon dinyatakan menang dan berhak menduduki kursi jabatannya. Sebaliknya, jika suara tidak sampai 50%, paslon tunggal harus bersedia ikut pemilihan di tahun depan atau periode tertentu yang telah ditetapkan pelaksana. Secara demokratis sebenarnya, fenomena kotak kosong di Pilkada bukanlah hal yang baru di era demokrasi. Namun, kondisi ini dianggap sebagai paradoks, mengingat jumlah pemilih aktif di Indonesia sangat banyak. Jadi, sudah sepatutnya pencalonan tunggal Pilkada dapat diminimalisasi (Kumparan.com, 16/08/24).
Mengapa Kotak Kosong?
Ahmad Syarifudin (2022) menelisik beberapa kondisi yang memungkinkan pemilihan calon kepala daerah hanya diikuti oleh satu Paslon saja karena: Pertama, hanya ada satu calon saja yang mendaftar meski telah dilakukan perpanjangan masa pendaftaran. Kedua, terdapat beberapa calon yang mendaftar namun hanya ada satu calon yang memenuhi syarat. Ketiga, sejak penetapan pasangan calon sampai dimulai masa kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, parpol tidak mengusulkan atau mengusulkan namun calon tidak memenuhi syarat sehingga hanya menyisakan satu pasangan calon. Keempat, sejak dimulai masa Kampanye sampai hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, parpol tidak mengusulkan calon/calon pengganti tidak memenuhi syarat. Kelima, terdapat pasangan calon yang mendapatkan sanksi pembatalan sebagai peserta yang mengakibatkan hanya terdapat satu paslon.
Faktor lain yang disebut menjadi penyebab munculnya kotak kosong adalah sulitnya memenuhi persyaratan untuk maju dalam kontestasi Pilkada terutama bagi calon independen. Selanjutnya adalah sistem koalisi yang pragmatis, yaitu koalisi yang tidak bersifat ideologis, namun terbentuk dengan tujuan memenangkan pasangan calon atau mendukung pemerintahan yang menang. Faktor lain adalah gagalnya kaderisasi di level partai, sehingga partai tidak mampu mengajukan kadernya untuk bersaing atau terkendala karena gagal mendapatkan pasangan (Kompas.com, 03/09/24).
Apabila dilacak sampai pada akar masalahnya, tentu mesti menyoal pula peran partai politik. Ada tiga penyebab utama munculnya pola kotak kosong ini, yang pada akhirnya akan menuntun publik untuk membongkar peran partai politik. Pertama, aturan main yang dibuat untuk mempersempit pintu masuk kompetisi (barrier to entry). Dalam Undang-Undang yang dibuat pada 2016, syarat dukungan calon independen atau nonpartai dinaikkan dari 3 persen sampai 6,5 persen menjadi 6,5 persen sampai 10 persen.
Begitu pula calon dari partai politik persyaratan koalisi pencalonannya dibuat menjadi 20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil pemilu DPRD terakhir. Ambang batas pencalonan ini membuat nyaris tak mungkin ada partai politik yang dapat sendirian mengusung pasangan calon. Norma terakhir, MK lewat putusan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 memutuskan untuk mengubah persyaratan ambang batas (threshold) pengusungan pasangan calon oleh partai politik. Jika semula memerlukan perolehan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah, menjadi lebih rendah, yakni 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap
Kedua, yang kerap dipersalahkan adalah biaya politik yang tinggi karena warga harus diberikan hadiah untuk memilih calon tertentu. Padahal, justru partai politik yang paling bertanggung jawab membangun biaya politik yang tinggi. Uang yang dibagi-bagikan kepada pemilih seakan menjadi komponen biaya standar bagi politikus karena dianggap sebagai cara instan ketimbang membuat dan mendiskusikan program kerja. Selain itu, ada pula transaksi antarpartai dan ”uang perahu” bagi orang-orang yang ingin dicalonkan.
Ketiga, fenomena calon tunggal meningkat karena petahana dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk memobilisasi dukungan. Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, 80 persen dari 53 calon tunggal sejak 2015 sampai 2020 itu adalah petahana. Kalaupun petahana tak dapat lagi mencalonkan, ia akan mencalonkan keluarga atau kerabatnya. Praktik lancung ini kerap terjadi di daerah sehingga coba dibawa ke pemilihan presiden, Februari 2024 silam, dan dianggap baik-baik saja, bahkan oleh Mahkamah Konstitusi (Warga Bukan Kotak Kosong, https://www.jentera.ac.id/publikasi/warga-bukan-kotak-kosong). Sesungguhnya yang dirugikan dari fenomena kotak kosong adalah warga. Bagi politikus, jabatan adalah sumber kekuasaan dan peluang memupuk kapital. Padahal, bagi warga, pemimpin yang dipilih karena kualitas dan integritasnya mutlak diperlukan karena mereka yang akan mengelola sumber daya untuk memenuhi hak-hak warga.
Otak Kosong?
Bagi Firmansyah Demma (2024) sebenarnya isu kotak kosong tidak muncul dari ruang hampa, tidak ujug-ujug langsung datang begitu saja seperti barang jatuh dari langit. Ini dimunculkan dari orang yang otaknya kosong. Perspektif otak kosong yang ingin dipakai bukan karena tidak punya pikiran sama sekali. Tapi karena saking menumpuknya pikirannya sehingga tidak mampu mengoperasikannya. Jadi, seolah ada yang tidak mau lagi berpikir panjang untuk berkontestasi!
Lantas, apakah isu kotak kosong adalah sebuah style (genre) berpolitik mutakhir untuk menandai ‘raib’-nya tanggungjawab publik dari para elite politik? Di zaman Yunani yang distigma sebagai demokrasi awal, dapat bercerita banyak: polis yang berisi warga negara sebenarnya hanya ‘penonton’ dengan hiruk-pikuk kebisingannya. Tak ada hak penuh bersuara di sana. Karena yang menetukan adalah Kaisar dan senator -di abad 21 ini disebut birokrasi, elite politik serta para oligarki.
Fenomena kotak kosong di Pilkada aromanya tercium dari sana. Dia adalah permainan politik yang mencoba meletakkan oposisi biner antara kotak kosong atau otak kosong. Lalu permainan politik mencoba menguji di manakah rakyat berada? Di kotak kosong atau otak kosong. Yang keduanya sama-sama menistakan hak rakyat! (Editorial: Kotak Kosong Atau Otak Kosong, https://dailymakassar.id/2024/07/22/editorial-kotak-kosong-atau-otak-kosong/).
Begitu pun, semuanya terpulang kembali kepada pangkuan para pemilih, sepatutnya harus cerdas dalam memilih pemimpin yang baik. Istilah kotak kosong, jangan membuat otak menjadi kosong. Pastinya memilih kotak kosong adalah bagian dari proses demokrasi dan hasilnya mencerminkan pilihan rakyat. Penting diingat ungkapan Mariam Budiardjo (2007) yang berpesan agar parpol harus kembali kepada fitrahnya yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat, dan semestinya menjadi wahana untuk berpartisipasi mengelola negara.
Kisah kotak kosong harus menyalakan kembali lampu moral dalam berpolitik, untuk menemukan esensi dan keadaban dalam berpolitik. Sebab benang merahnya Parpol adalah gerbang bagi kekuasan yang programatik atau sarat intrik? Hazmi (2024) mengatakan apabila kotak kosong dianggap berisi, jangan-jangan otak manusia yang kosong, atau manusia sedang mengalami kekosongan jiwa.
Bagi pengamat politik Universitas Airlangga, Siti Aminah (Tempo.co, 6/9/2024) Pilkada dengan pasangan calon tunggal tidak layak disebut demokrasi. Pasalnya pemilih dipaksa untuk menerima pilihan parpol. Beliau pun menyarankan agar masyarakat dengan daerah yang memiliki pasangan calon tunggal bisa memilih kotak kosong. Pilihan ini bisa jadi pilihan agar demokrasi lokal tetap hidup. Kalau misalnya, kota kosong memenangi Pilkada, itu bermakna demokrasi lokal sudah matang. Daerah yang menang kotak kosong juga berarti memiliki literasi politik yang baik?
Ada tawaran retoris bahwa skenario melawan Kotak Kosong tidak dapat dilawan oleh Otak Kosong atau Dompet Kosong apalagi cuma Omong Kosong? Melawan skenario Kotak Kosong harus melibatkan kekuatan pikiran, kesadaran publik, tapi masalahnya menggerakkan publik juga butuh modal sosial dan finansial. Sebab ada tiga hal yang tidak disukai orang: otak kosong, omong kosong dan dompet kosong. Apa hukumnya memilih Kotak Kosong? Pemilih boleh memilih "kotak kosong" sebagai bentuk ketidaksetujuan atau ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia?
============
Sumber: Waspada, Rabu 11 September 2024, hlm. B3