POST DATE | 03 November 2024
Politik berasal dari kata politiek (Belanda) dan politics (Inggris), dan keduanya bersumber dari kata politika (Yunani) –yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Karena itu politik dapat dipahami sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara (KBBI, 2008).
Buyung Syukron (2022) mengatakan banyak persepsi jika frase politik itu “jorok”, Politik itu “kotor”, Politik itu “Jahat”, Politik itu “kejam”, dan masih banyak frase-frase lainnya yang menggambarkan betapa politik dengan segala fenomena yang ada di dalamnya, masih diasumsikan sebagai sebuah aktifitas, gerakan ataupun kontestasi yang berkonotasi negatif.
Sedemikian buruk persepsi politik dimata publik, sehingga ketika ada kontestasi atau suksesi kepemimpinan ada ungkapan siapapun presiden, gubernur, wali kota/bupatinya, sebagai warga kita tetap cari uang sendiri, tetap cari makan sendiri, tetap cari kehidupan sendiri. Jadi, buat apa datang ke tempat pemungutan suara (TPS) ikutan coblosan?
Kalau itu bingkainya, kata Boy Candra (2024) “Ya, memang. Fungsi presiden, gubernur, wali kota/bupati, memang bukan buat ngasih makan semua warga. Presiden itu berfungsi memastikan kebijakan-kebijakan yang ia buat berpihak pada rasa aman dan nyaman warga dalam mencari uang, makan dan kehidupan masing-masing.” Cukup miris melihat orang-orang yang sudah terlanjur skeptis melihat politik dan menganggapnya tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari (Deni Kurniawan, 2024).
Bagi Faisal Reza (2019) publik sudah telanjur berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Tak salah jika anggapan seperti itu membuat publik sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena secara faktual perilaku politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk.
Orang-orang yang terlibat didalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, korupsi dan bertindak semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, sehingga semakin dalam kebencian orang-orang terhadap politik.
Ali Arredho (2022) menguatkan stigma wajah politik yang tak ramah dalam pergaulan sosial. Perilaku yang buruk dari para politisi menyebabkan banyaknya stigma dari publik, politik itu kejam dan kotor. Perilaku buruk yang seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme pastinya berdampak terhadap beberapa aspek publik mulai dari ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain.
Stigma politik kotor akibat perilaku para politisi tersebut pastinya memengaruhi publik yang masih polos secara pengetahuan. Banyak orang pastinya tidak memilih terjun atau peduli dalam dunia politik, sehingga ekses apriori itu justru para politisi berperilaku lebih kotor lagi.
Citra buruk wajah politik membuat mujaddid Islam, Muhammad Abduh pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu ia melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan. Muhammad Abduh mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik, ”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik.”
Mispersepsi Makna Politik
Apakah salah persepsi yang seperti itu? Tidak salah dan tak keliru, sebab praktik modern dari politik pragmatis ini dapat ditemukan di hampir setiap negara. Di banyak tempat, politik yang bersih-ideal sering kali menjadi korban intrik, korupsi, dan manipulasi.
Pemilu yang seharusnya menjadi wujud demokrasi murni sering kali dipenuhi dengan kecurangan, kampanye hitam, dan uang politik. Di sisi lain, pemimpin yang mampu bermain dalam ‘politik kotor’ sering kali lebih berhasil dalam mempertahankan kekuasaan dan menjalankan agendanya (Sahrul Saleh, 2024).
Sahrul (2024) melanjutkan salah satu alasan utama mengapa politik yang kotor dan pragmatis tampaknya lebih efektif adalah karena sifat dasar kekuasaan itu. Kekuasaan, oleh banyak pakar dianggap sebagai sesuatu yang cenderung korup dan membutuhkan kontrol yang ketat. Pemimpin yang terlalu idealis dan tidak pragmatis sering kali gagal mengantisipasi tantangan praktis di lapangan, yang akhirnya membuat mereka kehilangan kendali atau dikalahkan oleh lawan-lawannya yang lebih licik dan tidak terikat moralitas.
Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh publik secara benar. Karena persepsi yang keliru terhadap politik tentu melahirkan sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak dapat dihindari. Secara praktis, politik adalah aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan pengorganisasian urusan publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya (kemaslahatan publik).
Apalagi seperti kata Faisal Reza (2019) tak ada orang yang dapat menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. Politik adalah bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari politik. Begitu lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin memengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik.
Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat disebut politik itu sebagai fitrah atau sesuatu yang tak dapat dihindari.
Secara filosofis Imam Al-Ghazali mengatakan berpolitik itu bagian dari kewajiban syariat, karena tugas-tugas syariat hanya dapat direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara).
Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater, dan marxis mengatakan: “Buta yang terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik.
Dia membanggakan sikap anti-politiknya, membusungkan dada dan berkoar 'Aku benci Politik!'. Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia yang tak mau tahu politik, akibatnya adalah anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri".
Sebut saja misalnya, keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak dapat menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, termasuk harga makanan, rumah, dan obat. Keputusan pemerintah untuk membuka impor barang-barang tertentu dapat menyebabkan persaingan yang lebih ketat di pasar, dan dapat menyebabkan penurunan harga barang-barang tersebut.
Karena itu, bagi Itsmik (2019) dari segi sosial, sikap golongan putih (golput) dapat saja terjadi sebagai fenomena. Namun begitu, bagaimanapun kecewanya publik terhadap realitas politik yang ada, golput bukanlah pilihan yang bijak dan solutif. Apalagi jika alasannya hanya karena tidak suka dan tidak merasa perlu dengan kegiatan politik. Persoalannya, banyak orang yang sudah terlanjur skeptis melihat politik identik dengan materi yang rumit dan menganggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Politik itu bagi Nyoto-tokoh politik, penting sekali. Beliau mengungkapkan: “Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Oleh sebab itu, dalam hal apapun dan kapan saja pun politik harus menuntun segala kegiatan kita.”
Nilai Kebaikan
Selama ini secara faktual politik seolah-olah adalah suatu materi yang dibatasi untuk kalangan tertentu, seperti halnya tanda ‘18+’ sebagai ungkapan eksklusif untuk kalangan 18 tahun ke atas. Padahal, politik bukan hanya milik birokrat atau politisi. Bukan pula milik Presiden atau kepala daerah saja. Politik adalah milik semua orang, siapa pun yang berada dalam suatu negara. Mau tidak mau, kita menjadi praktisi di dalamnya baik sebagai pengamat maupun sebagai pelaku.
Aktivis kebangsaan, Aliza Gunado dalam Istmik (2019) pernah menyatakan ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik. Politik memengaruhi keseharian kita melalui kebijakan yang menyentuh tiga ranah sekaligus, yakni personal, rumah tangga, dan ruang publik.
Dalam ranah personal, kebijakan politik datang mengatur hak-hak sebagai warga negara, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Di ranah rumah tangga, politik hadir dalam kebijakan yang menentukan harga sembako, tarif listrik, harga gas elpiji, sewa rumah, biaya pendidikan, hingga besaran upah atau gaji yang diterima para pekerja. Lalu, di ruang publik, kebijakan politik hadir dalam aturan mengenai parkir, aturan berkumpul di ruang publik, dan penggunaan fasilitas publik.
Bahkan, berpartisipasi dalam memperbaiki kehidupan warga di lingkungan kita juga sebetulnya sudah dikatakan berpolitik. Jadi, nyaris semua aspek dan ruang hidup kita telah dipengaruhi politik, entah disadari atau tidak. Pericles, -negarawan terkenal Yunani, mengingatkan: “Kendati Anda tidak mengambil minat dalam politik, bukan berarti politik tidak akan menaruh minat pada Anda.”
Ada banyak sekali pihak yang ingin diuntungkan dengan proses pemilihan ini, sebab ada banyak kepentingan di dalamnya. Namun masalahnya, dengan sistem demokrasi seluruh suara akan sama nilainya, sehingga bagaimana pun seseorang pasti diminati oleh politik, seacuh apapun ia terhadap politik itu. Karena itu, penting bagi setiap orang untuk memiliki kesadaran politik.
Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya dapat menjadi wajib. Imam Al-Ghazali mengatakan dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik.
Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan). Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia.
============
Sumber: Waspada, Kamis 7 November 2024, hlm. B3