post.png
gaya_konsumen.jpg

Gaya Hidup dan Konsumerisme

POST DATE | 04 April 2017

Kotler (2002) menyebut gaya hidup (lifestyle) sebagai pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Lebih dari itu gaya hidup yang dikenali pula dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitarnya (opini).

Minor dan Mowen (2002) memahami gaya hidup dari perspektif perilaku yaitu menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Dengan kata lain, gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan (Suratno dan Rismiati, 2001)

Dalam perspektif sosiologi, gaya hidup adalah cara seseorang hidup. Suatu gaya hidup adalah karakteristik perilaku yang masuk akal untuk kedua orang lain dan diri sendiri dalam suatu waktu dan tempat, termasuk hubungan sosial, konsumsi, hiburan, dan berpakaian.

Perilaku dan praktek dalam "gaya hidup" adalah campuran kebiasaan, cara-cara konvensional dalam melakukan sesuatu, dan beralasan tindakan (video: http://belajartanpabuku.blogspot.com/2014/01)

Dari beberapa pendapat di atas gaya hidup dapat dirumuskan sebagai pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu dan tempat.

Dalam hal ini, termasuk ketika melakukan hubungan sosial, konsumsi, hiburan, dan berpakaian. Perilaku dan praktek dalam "gaya hidup" adalah campuran kebiasaan, cara-cara konvensional dalam melakukan sesuatu, dan beralasan tindakan.

Suatu gaya hidup biasanya juga mencerminkan sikap individu, nilai-nilai atau pandangan dunia. Oleh itu, gaya hidup adalah sarana untuk menempa suatu kesadaran diri untuk menciptakan budaya dan simbol-simbol yang beresonansi dengan identitas pribadi.

Garis antara identitas pribadi dan perbuatan sehari-hari adalah pantulan gaya hidup tertentu menjadi buram dalam masyarakat modern. Sebagai contoh, "gaya hidup hijau" berarti memegang keyakinan dan terlibat dalam aktivitas yang mengonsumsi sumber daya yang lebih sedikit dan kurang menghasilkan limbah berbahaya (yaitu lebih kecil karbon).

Kemudian, menurunkan suatu kesadaran diri dari memegang kepercayaan ini dan terlibat dalam kegiatan ini. Gaya hidup ini bertalian erat dengan term konsumtivisme dan konsumerisme. Gaya hidup konsumtif menggambarkan perilaku hidup yang tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang, melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut.

Gaya hidup konsumtif (consumtive) adalah perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan (konsumtivisme). Konsumtivisme adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan. Gaya hidup ini tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai pola hidup yang bermewah-mewah.

Gaya hidup konsumtif menganggap barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan pemuasan diri sendiri. Gaya hidup konsumtif akan menimbulkan suatu kebutuhan yang tidak pernah bisa dipuaskan oleh apa yang dikonsumsi dan membuat orang terus mengonsumsi.

Konsumtivisme mementingkan benda sebagai ukuran kesenangan dan kenikmatan personal. Gaya hidup ini menjerumuskan orang menjadi generasi bertopengkan popularitas untuk mendapat pengakuan, dan memandang kehidupan secara sempit (hanya sebatas tren).

Sebaliknya, konsumerisme adalah suatu gerakan konsumen (consumer movement) yang terus mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Makna lebih luas lagi bahwa istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara.

Konsumerisme sebagai gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, tetapi juga termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumen.

Menurut Peter Salim (1996) konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Dalam sejarah gerakan perlindungan konsumen makna konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru.

Sebab pada dasarnya -isme itu sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam sisi kemanusiaan (humanity). Jadi, kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda maknanya. Dari kedua arti kata-kata tersebut jelas bahwa konsumerisme justru yang harus digalakkan dan konsumtivisme yang harus dijauhi.

Gaya hidup konsumtif memiliki tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”ingin ini-mau itu” lebih dari yang telah mereka miliki. Lebih dari itu muncul pula dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah dapatkan.

Gaya hidup konsumtif merupakan jantung dari kapitalisme. Pada level ini yang ada adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi. Perilaku itu dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme.

Berbeda dengan itu gaya hidup konsumtif, para konsumeris justru senantiasa menggerakan cara berpikir rasional dalam setiap perbuatan pemenuhan kehidupan sehari-harinya. Konsumeris selain melakukan gerakan sadar konsumen juga harus mengusung isu hak asasi manusia berikut dampak ikutannya bagi konsumen.

Gaya hidup konsumeris adalah dengan cara membuat skala prioritas akan sesuatu yang hendak dikonsumsi agar dapat digunakan secara efektif. Tidak lupa menerapkan “gaya hidup mandiri” untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta memiliki strategi untuk bisa mencapai tujuan.

Seorang konsumeris akan menjadi manusia bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggungjawab serta menimbulkan inovasi yang kreatif untuk kemandiriannya. Semoga!



Tag: Gaya hidup, Konsumen

Post Terkait

Komentar