POST DATE | 13 Juli 2017
Eksistensi geng motor saat ini telah begitu meresahkan, karena sudah mengancam keselamatan jiwa orang yang tidak tahu apa-apa. Bahkan belakangan mereka secara brutal merusak pos polisi, menggasak barang, dan menyerang orang. Dalam perspektif sosial dan wibawa hukum perbuatan merusak pos polisi tergolong melecehkan martabat pemerintah dan negara. Merusak simbol negara sudah di luar batas kompromi dan definis kenakalan remaja?
Catatan Rinaldi Munir (rinaldimunir.wordpress.com, 12 Juli 2010) geng motor itu adalah kumpulan anak-anak muda yang kebanyakan remaja tanggung (SMP dan SMA/SMK). Secara individu setiap anggota geng motor ini adalah anak yang polos dan terlihat biasa-biasa saja. Sehari-hari mereka adalah pelajar yang tidak terlihat nakal, apalagi brutal.
Masalahnya, jika sudah berkumpul dalam kelompoknya, maka perilaku mereka dipengaruhi oleh ideologi kelompok. Musuh mereka adalah geng motor yang lain. Jadi, sasaran mereka dalam berhuru-hara malam adalah mencari anggota geng motor lainnya, namun karena tidak bertemu, maka masyarakatlah yang jadi sasarannya?
Mengurai masalah geng motor harus dimulai dari orangtua. Orangtua mungkin tidak mengawasi anak-anaknya, anaknya bergaul dengan siapa saja, ikut siapa saja, keluar kemana saja. Orangtua mereka -yang rata-rata dari golongan ekonomi menengah ke bawah- habis waktunya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Lebih jauh menurut para ahli dan pemerhati sosial banyak berpendapat di antara pemicu dari kenakalan remaja yang menjurus pada tindakan kriminal (1) Kurangnya pengawasan orang tua keharmonisan dalam kehidupan di keluarga, (2) Lingkungan sosial yang tak terkendali memacu pergaulan bebas, (3) Pengawasan dan pembinaan yang kurang maksimal dari sekolah. (4) Kemajuan teknologi informasi, dalam hal ini internet, dengan jejaring sosial yang tak terkendali (Icnulis, Pikiran Rakyat, 02 Sep 2010).
Perlu digali lebih dalam apakah mereka itu adalah korban dari kesalahan didik orang tua, kurang kontrol orang tua terhadap pergaulan anak, himpitan ekonomi, kontrol pemerintah yang memble, lapangan kerja yang makin sulit, kepentingan sejumlah oknum penegak hukum, dan mudahnya akses mendapatkan narkoba atau minuman keras. Begitu pula menyangkut dampak berita kekerasan di media massa/elektronika, penyakit korupsi elit, gonjang ganjing politik nasional dan lokal, sangat mungkin memberi kontribusi signifikan dalam memengaruhi psikologi anak-anak.
Potensi masalah lain, makin sempitnya ruang terbuka untuk bermain telah mematikan kreativitas anak-anak muda. Taman bermain anak makin langka, ruang kosong makin sempit, dan lain-lainnya. Kalaupun tersedia arena permainan modern, masih sulit diakses warga secara komprehensif. Semua masalah itu tentu bakal memengaruhi perilaku dan persepsi anak.
Dengan kata lain, semua faktor itu sangat mudah memengaruhi stabilitas jiwa anak muda yang sedang bingung akan jati dirinya. Menyelesaikan masalah geng motor tidak dapat berdiri sendiri. Geng motor adalah fenomena sosial perkotaan dan merupakan dampak ketimpangan pembangunan.
Karena itu, pendekatan hukum pidana belaka takkan pernah menuntaskan soal geng motor. Coba mengurai geng motor atas dasar hanya pendekatan represif justru akan membuat penegak hukum lelah sendiri. Tindakan hukum pidana adalah langkah terakhir (ultimum remedium), sehingga perlu langkah bersama untuk menyelesaikan masalah geng motor ini.
Hukum pidana digunakan sebagai alat bantu akhir dalam memberi efek jera bagi kelompok geng motor. Proses dan tahapan awal bermula dari andil orang tua, sekolah, tokoh agama atau siapapun dalam mengurangi ekses geng motor, dengan tidak mesti menghukum, jauh lebih signifikan. Karena kalau tidak hati-hati menghukum anak-anak secara pidana justru seperti memasukkan anak ke akademi kejahatan? (gentur1971.blogspot.com, 24 Januari 2011).
Kebijakan pembangunan agar lebih ramah anak juga bagian dari solusi masalah sosial itu. Kesadaran bersama melalui pelibatan orang tua, tokoh agama, psikolog, sekolah-guru, merupakan pendekatan preventif-persuasif, dan itu jauh lebih efektif. Karena itu, sepanjang masalah sosial lain belum teratasi, maka persoalan geng motor akan tetap menjadi masalah serius.
Semua memiliki kontribusi yang sama sesuai dengan peranannya dalam menanggulangi ekses geng motor. Orang tua dengan pembinaan dan pengawasannya dalam membentuk suasana keharmonisan dalam keluarga. Masyarakat yang tangggap terhadap perilaku sosial yang negatif. Pihak kepolisian dengan tugasnya.
Begitupun pihak sekolah seharusnya lebih banyak mengambil peran, karena dengan pendidikan yang benar dan tepat, akan bisa mencegah dan mengatasi hal efek negatif geng motor. Proses pendidikan di sekolah, harus lebih fokus lagi dalam pembinaan dan pengembangan melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan begitu, anak-anak dapat menyalurkan minat dan mengembangkan bakatnya. Selain itu, pihak sekolah dapat memasukkan nilai-nilai positif, seperti bagaimana belajar bersosial yang baik, sopan dan santun, etika bergaul, motivasi, dan banyak hal lainnya yang dapat dilakukan.
Kalau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah benar-benar bisa mewadahi minat dan bakat siswa serta memuat nilai-nilai pendidikan budi pekerti di dalamnya, maka masalah geng motor bisa sedikitnya tertanggulangi. Bahkan masalah kenakalan remaja lainnya akan dapat diatasi.
=========
Sumber: Waspada, 21 September 2011