POST DATE | 17 April 2024
Dalam bahasa Arab, kata ‘Id’ selalu dimaknai sebagai “hari raya”. Sebuah waktu yang dipenuhi dengan kebaikan dan kemurahan dari Allah Swt yang kembali berulang-ulang setiap tahunnya. Etimologi kata ‘Id’ sendiri mengarah pada kata “al-mausim”, yang berarti musim, sebuah istilah yang menggambarkan siklus berulang yang selalu hadir (Ilham, 2024).
Idul Fitri menandakan berakhirnya waktu puasa Ramadhan dan sering diartikan juga sebagai hari kemenangan. Makna spiritual yang terdapat di dalamnya selain refleksi dan kegembiraan, Idul Fitri juga sebagai waktu untuk amal, yang dikenal sebagai Zakat al-Fitr. Idul Fitri dimaknai sebagai waktu sukacita dan penuh berkah bagi seluruh umat Muslim dan waktu untuk membagikan harta kekayaan seseorang kepada mereka yang tidak mampu agar turut berbahagia di hari raya (Emiliana Mulyati, 2022).
Kata al-fitri memiliki dua makna, yaitu suci dan berbuka. Suci artinya bersih dari segala dosa, kesalahan, dan keburukan. Makna fitri yang berarti berbuka didasari hadis Rasulullah Saw, yaitu: “Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad Saw pergi (untuk shalat) pada Hari Raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya.”
Karena itu, makna Idul Fitri adalah sebagai “Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci” sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa (shiyam), qiyamul lail, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Secara substansial Idul Fitri berarti kembalinya seseorang kepada keadaan suci atau keterbebasan dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, dan keburukan sehingga berada dalam kesucian atau fitrah.
Penuh Karunia
Idul Fitri bukan hanya sekadar hari raya biasa. Ia memiliki makna yang dalam bagi umat Islam, khususnya bagi mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadan. Setelah sebulan penuh menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, Idul Fitri menjadi momen pelepasan yang dinantikan. Hari ketika mereka yang menjalani ibadah puasa Ramadan akhirnya berbuka, mengakhiri serangkaian pengorbanan dan ketaatan.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia mengatakan: Rasulullah saw bersabda: Idul Fitri adalah hari ketika orang berbuka puasa dan Idul Adlha adalah hari ketika orang menyembelih kurban (HR. at-Tirmidzi, dalam Sunan-nya, “Kitab as-Shaum, hadis nomor 802).
Menurut Ilham (2024) hari raya Idul Fitri bukan hanya tentang kesenangan duniawi, tetapi juga tentang penghormatan kepada Allah Swt melalui ibadah yang khusus. Shalat Idul Fitri menjadi wujud syukur atas nikmat berakhirnya bulan suci Ramadan dan momen untuk mempererat tali persaudaraan umat Islam dalam kebersamaan beribadah.
Secara esensial, shalat Idul Fitri bukan hanya sebuah ritual, tetapi juga sebuah simbol kebersamaan dan penghormatan kepada ajaran Islam. Melalui ibadah ini, umat Islam mengingat kembali nikmat dan rahmat Allah Swt yang melimpah, serta memperkokoh ikatan spiritual dengan Sang Pencipta.
Momentum selama bulan Ramadhan hingga Syawal, seluruh karunia ditumpahkan Allah Swt kepada umat Islam. Zainuddin (2020) mencatat setidaknya ada tujuh macam karunia itu: Pertama, rahmat (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh pertama (al-‘asyr al awwal). Kedua, maghfirah (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan (al-‘asyr al-ausath). Ketiga, pembebasan (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir (al-‘asyr al-awakhir). Keempat, lailatul qadar yang diturunkan pada malam-malam ganjil (yang nilainya lebih baik dari seribu bulan setara dengan 83 usia manusia). Kelima, zakat fitrah, (yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah insani). Keenam, pahala puasa 6 hari syawal, (yang nilainya setara dengan puasa satu tahun). Ketujuh, halal bi halal (silaturahim syawal, saling memaafkan di antara sesama, yang dapat menghapus dosa antarsesama).
Spirit Kebaikan
Bagi Muhbib Abdul Wahab (2024) spirit kebaikan dan keberkahan menyertai dan membingkai semua amaliah ibadah Ramadhan, tidak hanya saat berpuasa di siang hari, tetapi juga saat beribadah di malam hari. Dalam konteks ini, Nabi Saw mengedukasi pentingnya integrasi shiyâm dan qiyâm (puasa di siang hari dan beribadah di malam hari), karena memang ibadah Ramadhan itu dibatasi hanya di siang hari.
Bagi Mukmin, spirit kebaikan Ramadhan harus diyakini selaras dengan proses humanisasi dan gayut dengan nilai-nilai kemanusiaan. “Engkau berpuasa itu lebih baik, jika engkau mengetahui” (QS. Al-Baqarah, 2: 184).
Spirit kebaikan ibadah Ramadhan dapat diaktualisasikan, apabila didasari iman yang kuat dan ilmu yang memadai. Agar membuahkan nilai-nilai kemanusiaan, ibadah Ramadhan itu memang harus berbasis iman dan ilmu, tidak sekadar menahan diri dari rasa lapar, haus, dahaga, dan tidak berhubungan suami istri di siang hari.
Agenda nilai edukasi Ramadhan bukan hanya puasa perut (tidak makan, tidak minum, tidak merokok), puasa di bawah perut (menahan nafsu syahwat), tetapi juga puasa pancaindera, puasa lisan, puasa hati, dan puasa pikiran.
Puasa Ramadhan yang ideal itu adalah puasa totalitas, puasa lahir dan batin; sekaligus puasa holistik integratif, shiyâm (di siang hari) dan qiyâm (di malam hari), dalam rangka meraih takwa sejati (haqqa tuqâtih), baik takwa personal maupun sosial.
Takwa personal dan takwa sosial merupakan takwa autentik yang dengannya para shaimin dan shaimat merasa bahagia dengan merayakan kemenangan pada hari raya Idul Fitri, 1 Syawal.
Untuk membuktikan kebaikan orientasi kemanusian nilai edukasi Ramadhan, dapat diselami berbagai pesan kemanusiaan dan pengalaman spiritual dalam beribadah Ramadhan, karena pendidikan kemanusiaan mustahil membuahkan cita rasa dan nilai-nilai kemanusiaan yang hidup (living values of humanity) tanpa pernah menjadi bagian integral dari proses edukasi Ramadhan itu secara implementatif.
Puasa juga didesain oleh Allah SWT berdimensi sosial psikologis yang sangat menentramkan jiwa dan mendamaikan hati melalui perbersihan diri dengan berzakat fitri dan/atau berzakat harta. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At- Taubah, 9:103).
Spirit berbagi/filantropis, berempati, dan peduli/setia kawan kepada sesama melalui zakat, infak, sedekah, berbagi takjil sepatutnya adalah ekspresi/pantulan hidup pribadi bahagia yang “sudah selesai” dengan urusan nafsu dan egoisitasnya.
Bagi yang menunaikan zakatnya, tidak hanya membersihkan hartanya dari hak mustahik (yang tidak boleh dikuasai, ditahan, dan dinikmati sendiri), tetapi juga menyucikan hatinya dari penyakit kikir dan bakhil.
Orang yang merdeka dari penyakit ini dipastikan hidupnya tenteram dan damai, apalagi orang berzakat itu berhak didoakan keberkahan oleh amil zakat, sehingga ketenangan hati muzakki membuatnya semakin yakin dan percaya diri bahwa rezeki itu anugerah Allah yang tidak boleh dimiliki secara mutlak; karena sebagiannya ada hak bagi fakir miskin (QS. Adz-Dzariyat, 51:19).
Ibadah Ramadhan juga dapat memberikan kebutuhan pemenuhan diri, melalui berbagai pemanfaatan momentum Ramadhan untuk berkarya dan beraktualisasi diri. Para ulama besar, seperti Imam al-Bukhari, al-Ghazali, Ibn Sina, Muslim, al-Khalil ibn Ahmad, Imam Syafi’i, dan lainnya selain membiasakan pengkhataman pembacaan Al-Qur’an juga memaknai Ramadhan sebagai bulan berkarya produktif, sekurang-kurangnya mereka memulai karya monumental mereka di bulan Ramadhan.
Bagi mukmin, hakekat Ramadhan adalah bulan aktualisasi diri dengan memperbarui tekad dan kemauan kuat (irâdah qawiyyah) untuk produktif menghasilkan legasi intelektual yang bermanfaat.
Spirit Evaluasi Diri
Dilansir dari (https://unwaha.ac.id/artikel/dimensi-psikologi-idul-fitri/) secara psikologis, Idul Fitri bukan hanya momen perayaan dari berakhirnya madrasah Ramadhan, melainkan merupakan manifestasi teologis atas kesucian (fitrah) manusia yang bertauhid.
Setidaknya terdapat tiga dimensi psikologi dari Idul Fitri yang sangat penting untuk dimaknai dan disyukuri yaitu dimensi kemenangan, dimensi kebahagiaan, dan dimensi kerukunan.
Bagi Ar (2011) ketika merayakan Idul Fitri setidaknya ada tiga sikap yang harus dipunyai, yaitu:
Pertama, rasa penuh harap kepada Allah Swt, yakni harapan akan diampuni dosa-dosa yang berlalu. Janji Allah Swt akan ampunan itu sebagai buah dari "kerja keras" sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa. Kedua, melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan.
Apakah puasa yang dilakukan telah sarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja. Di siang bulan Ramadhan berpuasa, tetapi hati, lidah tidak dapat ditahan dari perbuatan atau perkataan yang menyakitkan orang lain. Dengan begitu, terhindar dari sekadar berpuasa saja: "Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekadar menahan lapar dan dahaga".
Ketiga, mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, karena predikat takwa seharusnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: "Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kati kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam." (QS. Ali Imran, 2: 102).
============
Sumber: Waspada, Jumat, 19 April 2024, hlm. B4