POST DATE | 10 November 2024
Peradilan bersih dan berwibawa adalah peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain, dan putusan yang dihasilkan adil. Peradilan bersih (fair trial) ada jika memenuhi syarat hukum, hak asasi manusia, moral dan etika. Syarat hukum adalah dilaksanakannya prinsip-prinsip hukum materiil dan formil. Syarat hak asasi manusia adalah dilaksanakannya prinsip fair trial (meliputi: non-diskriminasi, mereka yang ditahan harus diadili lebih cepat, mudah diakses, dan seterusnya). Syarat moral dan etika (meliputi: kejujuran dan keadilan).
Isra Yonza (2022) menyebut peradilan bersih, sangat strategis untuk menjadi bagian mengisi gerakan negara hukum baru dengan mengembangkan gerakan afirmatif tertentu di dalam kewenangannya, serta membuka akses kepada keadilan guna menjawab kebutuhan perundang-undangan yang responsif, dan non-diskriminasi. Selain itu, memastikan tersedianya institusi komplain yang dapat diakses; memastikan adanya prosedur penanganan komplain secara fair dan efektif, dan terdapatnya insan pelaksana prosedur komplain memiliki integritas dan kompetensi.
Ridarson Galingging (2016) berpendapat untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa itu diperlukan prinsip-prinsip yang harus melekat pada diri hakim seperti integritas (integrity) dan independensi, berperilaku patut (impropriety) dan kelihatan berperilaku yang patut (appearance of impropriety), penghormatan terhadap hukum (respect for the law). Selain itu, prinsip imparsialitas (impartiality) betul-betul dapat dan sudah menyatu dalam perilaku hakim baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan profesional sebagai seorang hakim.
Masalahnya menurut Bivitri Susanti (2022) sampai saat ini, korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi salah satu penghambat untuk pembaruan menuju peradilan bersih, sehingga integritas, independensi dan kompetensi hakim menjadi hal harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Beliau menuturkan survei Potret Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Pengadilan sangat penting untuk memotret persepsi publik, namun tidak mengetahui seberapa dalam problemtika yang dihadapi oleh badan peradilan. Pembaruan peradilan harusnya sudah sampai pada memberi rasa keadilan bagi publik.
Bisnis Keadilan
Tetapi fakta yang terjadi kata Ija Suntana (2024), kini institusi peradilan sudah tak lagi menjadi pilar kokoh yang menaungi hak dasar manusia, melainkan bertransformasi menjadi ladang bisnis. Keadilan dipasangi label harga. Siapa saja yang berani membayar lebih akan mendapat pelayanan “lebih baik”. Miris dan ironi, pengadilan berubah fungsi, bukan lagi tempat adu argumen hukum diperdebatkan dengan sengit dan jujur. Pengadilan dijadikan arena tawar-menawar yang mirip pasar malam, penuh intrik, bisikan “diskon” atau “penawaran khusus” bagi mereka yang berani manawar harga tinggi.
Ruang sidang yang semestinya menjunjung tinggi kebenaran menjadi lapak transaksi para oknum makelar, menjadi tempat “harga keadilan” dapat dikompromikan demi kepentingan “peminat” yang mau menebak harga. Ketika para pencari tidak berniat dan berupaya menghentikan keadilan dijadikan barang dagangan, para penegak hukum akan kehilangan jati diri. Hakim, jaksa, hingga aparat penegak hukum lain yang "masih suci” bisa tergiur ikut-ikutan menjadi pedagang, bukan penjaga keadilan dan kebenaran.
Publik dan para pencari keadilan sangat miris apabila proses penegakan keadilan tidak lagi merujuk pada pasal dan ayat di undang-undang, tetapi pada negosiasi yang terjadi di belakang layar. Praktik ini akan menciptakan ketidakadilan berantai (cumulative injustice).
Implikasi dari praktik perdagangan keadilan akan berdampak secara sosial. Publik kehilangan kepercayaan pada institusi hukum, menciptakan sinisme terhadap siapa pun yang mewakili hukum. Hukum yang seharusnya menjadi simbol kesucian dilihat sebagai instrumen kotor keuntungan finansial. Hal ini memperlemah keutuhan sosial dan memicu rasa frustasi kolektif yang semakin dalam. Ketika keadilan diperdagangkan, hukum dan tatanannya akan kehilangan keabsahannya. Seperti kapal tanpa jangkar, hukum menjadi hanyut ke mana arus uang membawanya.
Peraturan menjadi tidak jelas atau abu-abu, dan interpretasi hukum tergantung siapa yang memiliki keleluasaan finansial. Ketika keadilan diperdagangkan, peraturan akan banyak bermunculan, tapi kebenaran menjadi langka. Praktik dagang keadilan akan melahirkan budaya pura-pura bermoral. Akan banyak penegak hukum di depan publik berpidato tentang pentingnya integritas, tetapi tetap terjebak dalam kubangan “bisnis” keadilan.
Ketidaksinkronan antara realitas sebenarnya di balik layar dengan retorika di panggung semakin merusak kredibilitas tatanan hukum. Ketika keadilan didagangkan para makelar, tatanan hukum, terutama lembaga peradilan, akan menjadi seperti arena pialang saham yang dipenuhi kalkulasi untung-rugi, selling and buying, dan spekulasi liar. Harga keadilan bisa naik atau turun sesuai siapa yang mampu membayar harga tertinggi.
Para makelar hukum memainkan peran sebagai spekulan, “memutar” nasib para pihak yang berperkara. Keadilan bukan lagi tujuan luhur, melainkan sekadar instrumen permainan yang makin menjauh dari prinsip-prinsip keadilan yang sebenarnya. Praktik dagang saham keadilan mengancam ritual hukum yang serius menjadi praktik spekulasi. Sistem hukum yang semestinya berjalan objektif berubah menjadi mesin kalkulasi, tempat keputusan hukum yang ditakar dengan perhitungan untung-rugi. Pasal dan ayat dalam undang-undang yang semula diharap menjadi pilar kokoh malah menjadi “aset spekulatif” yang naik-turun sesuai permintaan pasar.
Tak hanya itu, Dudu Duswara Machmudin (2013) mengatakan pertama kali berkaitan isu peradilan bersih yang perlu dicermati adalah persepsi publik yang kerap kali mengindikasikan berbagai kasus penyuapan (korupsi) tidak lagi hanya terjadi di jajaran eksekutif dan legislatif, namun sudah masuk ke lembaga peradilan (yudikatif) dan ini sungguh sangat merisaukan. Kondisi itu menggambarkan timbangan keadilan tidak lagi sekadar bocor, tapi sudah tergadaikan. Semula praktik itu terjadi hanya di lingkungan penyidik, berlanjut kemudian penuntut. Namun saat ini virusnya tumbuh di jantung tegaknya keadilan, yaitu peradilan.
Dudu (2013) menambahkan peradilan yang semestinya menjadi penyelesai akhir dari segala masalah bangsa dan setiap anak bangsa, namun faktanya lembaga peradilan telah jatuh pada bukan saja tidak mampu menyelesaikan masalah, namun merupakan bagian dari masalah, bahkan sudah dianggap sebagai sumber masalah!
Bahkan banyak ungkapan yang mengatakan jika sistem peradilan sudah jatuh menjadi “pasar hukum”. Pesimisme dan ketidakpercayaan publik akan harapan memperoleh keadilan dari lembaga peradilan semakin dan terus membesar. Publik galau, tak tahu dan tak mampu berbuat apa-apa? Ini semua menguras harapan dan cita rakyat akan keadilan. Pertanyaan besar bagi insan hukum adalah bagaimana mengembalikan harapan rakyat akan keadilan itu? Jawabannya adalah mengembalikan jati diri dan visi insan hukum. Sebab tanpa itu, tak ada gunanya lagi keberadaan peradilan. Penegak hukum dan lembaga pendidikan hukum, tak ada lagi manfaat bagi rakyat!
Peradilan Bersih: Ilusi?
Sudjito (2015) menilai sesungguhnya ”peradilan bersih dan berwibawa” masih jauh panggang dari api. Untuk mewujudkan itu perlu perjuangan semua pihak, tidak hanya menyalahkan pihak-pihak tertentu. Perjuangan dapat diawali dengan mengelaborasi ungkapan ”peradilan bersih dan berwibawa” sejak filosofisnya sampai perwujudannya, sehingga tidak berhenti sebagai slogan kosong belaka! Peradilan bersih menjadi bermakna dan dapat dijabarkan dalam bentuk realitas nyata.
Pertama, bersih dalam dimensi rohani mengandung makna spiritual-religius, yakni tanpa noda: iri, dengki, sombong, dan dusta. Bersih jasmani adalah bersih dari perilaku tercela dan barang haram. Peradilan bersih terwujud bila diisi para insan bersih rohani-jasmani. Karena itu, peradilan bersih mensyaratkan penegak hukum memiliki ilmu dan keterampilan khas yakni ilmu hukum yang luas dan mendalam, merengkuh semua dimensi kehidupan, baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan lain, termasuk pengalaman hidup.
Kedua, bersih menjadi prasyarat kehidupan sehat. Sehat mencakup kenormalan fungsi-fungsi fisik, mental, spiritual, maupun sosial sehingga setiap manusia mampu berperan sebagai subjek hukum.
Ketiga, peradilan bersih dan berwibawa dapat dirujuk maknanya pada implikasi dari kualitas bersihnya para insan pelaku. Berwibawa muncul dengan sendirinya sebagai talenta, sikap, perilaku penuh daya tarik penegak hukum yang bersih. Peradilan bersih dan berwibawa adalah peradilan yang memiliki kekuasaan, disegani, dipercaya, dan dipatuhi oleh penegak hukum maupun pencari keadilan. Eksistensi dan fungsi lembaga pengadilan diakui dan dimanfaatkan bukan karena pamrih, melainkan karena aura kejujuran dan kemampuan mewujudkan keadilan substantif.
Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali peran dan fungsi seluruhnya dikelola dalam konteks organisasi, manajerial terpadu, integrasi, sinergisitas sumber daya kelembagaan dan entitas penegak hukum (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, organisasi advokat, media massa, dan sebagainya).
Bagi Sudjito (2015) Presiden bersama Mahkamah Agung dan DPR memiliki otoritas untuk meninjau kembali dan mengorganisasikan kekuasaan kehakiman menjadi sistem terpadu, tanpa ”pertikaian”, tanpa ”rivalitas”, dan tanpa ”kriminalisasi”. Ketika kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman, lembaga penegak hukum, lembaga pengadilan dapat dipulihkan, silang sengkarut peradilan bersih dapat diakhiri.
Fakhruddin Aziz (2016) berpendapat upaya merebut peradilan bersih ini juga meniscayakan publik agar sadar hukum dan berkeadaban. Diperlukan penyuluhan hukum secara berkelanjutan agar publik memahami bagaimana memperjuangkan hak-haknya secara benar melalui jalur hukum. Publik semestinya juga tidak hanya menuntut terwujudnya peradilan bersih, namun mengambil inisiasi partisipasi aktifnya dengan tidak mengabadikan tradisi suap demi memuluskan hasratnya ketika berurusan dengan lembaga penegak hukum.
Biarkan mekanisme hukum bergulir pada porosnya, sehingga kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan tanpa harus direcoki berbagai kepentingan yang menyelimuti. Kapan terwujud? Karena tanpa adanya upaya bersama niscaya cita-cita untuk peradilan bersih dari KKN, penyalahgunaan jabatan, dan praktik bisnis hukum, peradilan bersih hanyalah ilusi belaka!
============
Sumber: Waspada, Kamis 14 November 2024, hlm. B3