post.png
UU_halal.jpg

Implikasi Undang-Undang Jaminan Produk Halal

POST DATE | 03 April 2017

DPR akhirnya mengesahan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) menjadi Undang-Undang (UU), tepatnya pada Kamis (25/9). Pengesahan UU JPH ini merupakan kabar baik bagi umat Islam di Indonesia setelah lebih kurang delapan tahun RUU tertunda pengesahannya. UU JPH akan menjadi jaminan perlindungan dan memberi kepastian bagi konsumen Muslim di Indonesia untuk mengonsumsi produk yang halal dan lagi baik. Singkatnya, UU JPH sangat diperlukan sekali dalam usaha melindungi konsumen Muslim dalam negeri/domestik, termasuk juga mendorong percepatan transformasi industri halal di Indonesia. UU JPH terdiri atas 11 bab dan 69 pasal.

 RUU JPH sebelumnya berkali-kali gagal disahkan menjadi UU, karena muncul perdebatan siapa pihak yang paling berwenang mengeluarkan sertifikasi halal. Secara historis UU JPH merupakan hak inisiatif DPR. UU JPH merupakan implementasi Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945. Substansi kedua pasal itu ialah adanya kewajiban negara untuk melindungi hak warga negara dalam menjalankan keyakinan dan ajaran agamanya.

 Achmad Syalaby Ichsan (2014) mengatakan kekuatan utama UU JPH yaitu adanya sifat mandatory (diwajibkan) bagi semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat sertifikasi dan labelisasi. Artinya, jika halal maka dilabel halal. Jika haram dilabel tidak halal.

 Makna diwajibkan menurut UU JPH bahwa setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Hanya bagi pelaku usaha yang memang memproduksi dari bahan yang diharamkan berdasarkan syariat Islam wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya.

 Ada tiga lembaga yang terkait untuk menerbitkan sebuah sertifikat halal. Ketiga lembaga itu meliputi;  Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

 Kalau dilihat secara fungsional, nantinya BPJPH berfungsi untuk menerbitkan sertifikat halal yang ditetapkan MUI, mencabut registrasi sertifikat halal, menetapkan dan mengakreditasi LPH, menerima laporan pemeriksaan LPH, melaporkan hasil pemeriksaan LPH kepada MUI.

 LPH berwenang untuk mengaudit dan memeriksa produk yang diajukan pelaku usaha, melaporkan hasil pemeriksaan kepada BPJPH. MUI bertugas untuk menerima laporan pemeriksaan LPH dari BPJPH, menetapkan fatwa halal produk, menyertifikasi auditor halal.

 Eksistensi UU JPH secara yuridis dapat menghindarkan konsumen Muslim khususnya dan konsumen secara umum dalam pelbagai rentetan kasus yang cukup melukai hak konsumen. Misalnya kasus biskuit mengandung babi seperti hasil penelitian Tri Soesanto (1988). Kasus biskuit mengandung babi di gerai Indomaret, rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah yang tidak bersertifikat halal. Bahkan jumlahnya hampir 90% di seluruh Indonesia.

 Daftar panjang kasus lain, betapa lemahnya jaminan dan pengawasan produk halal dari pemerintah, misalnya kasus sprite (1996), sapi gelonggongan (1999, 2002), vaksin meningitis (2009), perdagangan daging celeng (2011), ajinomoto (2001), ayam tiren (mati kemarin) dan bakso tiren (2012). Pengesahan UU JPH dapat dilihat sebagai jawaban atas penantian panjang umat Islam Indonesia atas kepastian hukum mengonsumsi produk halal.

 

Usaha Kecil Bebas Biaya

 Sekali lagi, norma UU JPH tersebut mengatur pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan tempat tertentu pada produk. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan sertifikat, baik halal atau tidak halal, akan dikenakan sanksi administratif.

 Sertifikat halal berlaku selama empat tahun (ketentuan sebelumnya 2 tahun) sejak diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sertifikat wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan paling lambat tiga bulan sebelum berakhirnya masa berlaku.

 Biaya sertifikasi ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan sertifikat. Meski demikian, BPJPH akan membebaskan biaya sertifikasi untuk usaha mikro dan menyubsidi sertifikasi usaha kecil.

 Tak hanya itu, pelaku usaha pemohon sertifikat juga diwajibkan memiliki penyelia halal. Penyelia tersebut akan mengawasi proses produk halal dan mendampingi auditor saat pemeriksaan. Keberadaan penyelia harus dilaporkan kepada BPJPH.

 Implikasi UU JPH adalah agar tidak ada lagi pihak-pihak yang tidak peduli akan kehalalan produknya dan berusaha berlindung di balik pro-kontra sertifikasi halal.

 Esensi utama UU JPH ialah memberi keamanan dan kenyamanan. Jadi, pelbagai kekhawatiran yang ada selama ini terkait produk tanpa sertifikasi halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi UU ini. Penting pula dicatat bahwa secara normatif, masyarakat sudah memiliki dasar untuk menuntut para produsen yang selama ini tidak peduli mencantumkan label halal pada produknya.

 Secara ekonomi pula, idealnya UU JPH adalah pintu masuk untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari Malaysia dan Thailand. Apalagi UU JPH menunjukkan adanya sifat mandatory (diwajibkan) bagi semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat label.

 UU JPH memang masih banyak kelemahannya. Tetapi hadirnya UU JPH patut disyukuri. Norma dan substansi UU JPH menjawab sementara penantian panjang umat Islam. Perjalanan panjang mencari sebuah kepastian, yaitu mengonsumsi produk halal. Kewujudan UU JPH diharapkan dapat mendorong semua pihak agar dapat menghadirkan produk barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar kebaikan dan kesehatan konsumsi.

 Masalah utama UU JPH adalah UU tersebut belum memiliki sanksi. Meski mewajibkan sertifikasi halal, tidak ada satu pun pasal penghukum kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan sertifikasi. Sanksi hanya diterapkan untuk produk yang sudah besertifikasi, tapi tak melakukan kewajiban, seperti tak mencantumkan label halal atau tidak halal. Sifatnya pun masih sebatas sanksi administratif.

 UU JPH memang merupakan kado indah buat umat Islam dan konsumen pada umumnya. Tetapi tanpa sanksi baik bersifat pidana atau perdata, UU JPH seperti sayur tanpa garam!

 

======================

Waspada, Jumat, 10 Oktober 2014



Tag: Halal, Undang-undang

Post Terkait

Komentar