post.png
pelayanan-publik.jpg

Indeks Pelayanan Publik dan Mental Birokrasi

POST DATE | 23 Juni 2017

Indeks pelayanan publik kota Medan di bawah kelas kota Bandar Lampung dan Jayapura tentu cukup memalukan atau bahkan memilukan.

Publikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Ombudsman RI--dengan kesimpulan Indeks Pelayanan Publik di Sumut terus mengalami penurunan sejak dua tahun terakhir. Bahkan khususlKota Medan komitmen dan pengawasan pejabatnya sangat rendah untuk memperbaiki pelayanan publik.

Penurunan ini disebabkan dua faktor utama, yakni rendahnya komitmen pejabat dan minimnya pengawasan di lapangan. Indikator KPK adalah evaluasi supervisi pelayanan publik yang diselenggarakan KPK di Medan, indeks pelayanan publiknya masih berada di atas angka 5. Saat ini indeks yang mencerminkan integritas layanan publik di kota Medan hanya 3,66. Posisi ini bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan kota Bandar Lampung dan Jayapura dengan masing-masing indeks lima dan empat.

Dimaksudkan dengan pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik--yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan ihttp://id.wikipedia.org/wiki/Instansi_Pemerintah instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD--dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (wikipedia.og).

Lalu, menurut Ade Hermawan disebut pelayanan publik yang tidak memuaskan apabila dalam berurusan dengan birokrasi--masyarakat sebagai  pihak yang dilayani merasakan berhubungan dengan  birokrasi berarti berhubungan dengan prosedur berbelit dan makan waktu.

Maksudnya adalah untuk mendapatkan pelayanan dari birokrasi mereka harus menjalani tahap begitu panjang dan membingungkan. Sehingga setiap urusan yang seharusnya diselesaikan dalam satu hari molor menjadi beberapa hari (www.stiabinabanua.ac.id/).

Kembali pada survei KPK, pencapaian pelayanan publik kota Medan sudah sempat membaik di tahun 2009. Tetapi kemudian semakin turun hingga kondisinya sangat memprihatinkan seperti saat ini. Paparan KPK menunjukkan temuan terbanyak masalah pelayanan publik tersebut ada di dinas kependudukan dan catatan sipil. Kemudian pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), proses uji KIR di Dinas Perhubungan dan sejumlah proses administrasi keimigrasian.

Mengusik kesadaran

Terlepas dari polemik temuan KPK dan Ombudsman RI tentang rendahnya indeks integritas moral pelayanan publik kota Medan, paparan itu sangat mengusik kesadaran kolektif warga. Walikota Medan dan jajarannya harus menggunakan indeks rapor merah itu sebagai pintu masuk untuk terus mendorong reformasi birokrasi yang lebih terukur dan baik. Tidak sekadar reformasi basa basi, apalagi sekadar wacana pemanis bibir belaka.

Nomor urut kota Medan di bawah kelas kota Bandar Lampung dan Jayapura tentu cukup memalukan atau bahkan memilukan. Konteks reformasi birokrasi Medan sebagai kota Metropolitan di posisi urutan klasemen bawah itu jelas ‘tamparan keras’. Medan harus segera berbenah dan tak tidak perlu membuat beragam apologi. Kalau kesehatan indeks pelayanan publik terus melorot pertanda reformasi birokrasi mengalami stagnasi bahkan berada dijurang kegagalan.

Upaya meningkatkan pelayanan publik, seperti membangun ruang tunggu yang bagus dan memasang kamera pengintai (CCTV) cuma alat bantu belaka. Memang pengadaan sarana dan prasarana yang memadai dapat mengurangi potensi penyelewengan pelayanan publik, seperti pungutan liar dan pencaloan. Tetapi itu saja tidak cukup. Karena lebih jauh dari itu adalah soal reformasi mental penyelenggara pelayanan.

Mengubah mental minta dilayani dan harus menjadi pelayan atau abdi, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mental itu sudah sangat terlalu jauh ditinggalkan. Budaya ada uang semua urusan beres, telah menyandera dan melilit birokrasi publik.

Selama ini tak dapat dipungkiri bahwa sejak mulai manusia Indonesia dilahirkan di muka bumi sampai dengan perjalanannya ke liang kubur sarat dengan perlakuan koruptif. Suasana seperti ini tercipta akibat kultur birokrasi bermental feodal (warisan kolonial). Aparat birokrasi lebih sibuk melayani penguasa ketimbang melayani masyarakat umum yang berhak mendapatkan pelayanan bukan malah melayani aparat.

Tidak ada pilihan lain, walikota dan segenap jajarannya harus berani memakai ‘jurus mabuk’ dan siap untuk tidak populer dalam mengembalikan reformasi birokrasi itu kembali ke relnya.

Tradisi setoran harus dihilangkan. Standar pelayanan harus lebih dimaksimalkan dan sikap terbuka dalam setiap lini birokrasi merupakan pintu masuk guna memulihkan indeks pelayanan yang sakit itu.

Pelayanan birokrasi yang cenderung sakit karena berbelit-belit dan makan waktu dapat disebabkan ciri berikut. Pelayanan kurang adil, aparatur birokrasi tidak menyadari fungsinya, sikap aparatur yang  beranggapan bekerja dengan rajin atau tidak toh mereka tetap mendapatkan gaji sama setiap bulannya, atau sebab lainnya adalah buruknya tata kerja dalam  birokrasi dan sikap birokrasi yang terlalu berorientasi dikenal pada pertanggungjawaban formal (Ade Hermawan melalaui www.stiabinabanua.ac.id/).

Dalam bingkai reformasi  birokrasi harus dipahamkan pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah perwujudan dari fungsi aparat negara. Hal itu dilakukan agar terciptanya suatu keseragaman pola dan langkah pelayanan umum oleh aparatur pemerintah perlu adanya suatu landasan yang bersifat umum dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan umum.

Pedoman ini merupakan penjabaran dari hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam prosedur operasionalisasi pelayanan umum yang diberikan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah secara terbuka dan transparan.

 

=========================

sumber : waspadamedan.com



Tag: Pelayanan, Publik, Birokrasi, Farid wajdi, LAPK

Post Terkait

Komentar