POST DATE | 25 April 2017
Dialektika independensi peradilan ternyata tetap menarik untuk diwacanakan. Apalagi isu independensi peradilan dapat perhatian lebih karena saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sedang membahas Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUU JH).
Perdebatan atas konsepsi independensi peradilan berkaitan dengan pemaknaan terminologi “sistem satu atap” (one roof system) yang telah distempel oleh petinggi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dengan sebutan sistem satu atap adalah ‘harga mati’.
Di sisi lain, pihak legislatif dan terpantul jelas di draf RUU Jabatan Hakim justru menyodorkan konsepsi pembagian peran dan beban tanggung jawab (shared responsibility) dalam mengelola manajemen hakim antar-organ negara.
Konsepsi share responsibility bermakna bahwa seluruh bentuk pengelolaan atau manajemen hakim dari mulai pengangkatan sampai dengan pemberhentian dilakukanpembagian peran dan beban tanggung jawab kepada beberapa lembaga. Konsepsi shared responsibility merupakan pengembangan makna dari sistem satu atap.
Pola sistem satu atap dipahami bahwa semua bidang organisasi, administrasi, finansial, sumber daya manusia seperti hakim, panitera dan sekretariat berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Bahkan masalah substansial, teknis yudisial dan perilaku juga berada dalam genggaman satu lembaga semata.
Begitupun, satu hal yang mesti dicatat dalam dialektika independensi peradilan itu adalah hakim dan pengadilan tidak boleh diganggu independensinya oleh siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Pesan tegas dan panduan berkontitusi jelas dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan perubahannya yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), tidak atas dasar kekuasaan belaka (machstaat).
Konsekuensi dari penegasan tersebut adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan menyelenggarakan peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta adanya legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Independensi Peradilan
Independensi peradilan merupakan prinsip berbasis kepercayaan yang berfungsi sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang pemegang kekuasaan yudikatif sebagai penegak keadilan dari kemungkinan intervensi atau pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini agar peradilan dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.
Karena itu independensi peradilan dapat dimaknai sebagai segenap keadaan atau kondisi yang menopang sikap bathin pengadil (hakim) yang merdeka dan leluasa dalam mengeksplorasi serta kemudian mengejawantahkan nuraninya tentang keadilan dalam sebuah proses mengadili (peradilan). Keterbelengguan independensi selama ini dianggap menjadi pemicu kegaduhan dalam sistem penegakan hukum, yang pada akhirnya kerap menciderai dan bahkan mengoyak rasa keadilan masyarakat.
Bagir Manan (2014) menyatakan kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin “impartiality” dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Pada hakikatnya cita-cita untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan cita-cita universal. Hal ini dapat dilihat dalam Basic Principles On Independence of The Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29 Nopember 1985 dan resolusi 40/146 tanggal 13 Desember 1985). Juga dapatdilihat pada Beijing Statement of Principles of The Independence The Law Asia Region of The Judiciary di Manila tanggal 28 Agustus 1997.
Urgensi prinsip independensi peradilan adalah guna menunjukkan kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur tangan atau intervensi pihak-pihak yang dapat mengganggu independensi peradilan.
Muchsin (2009) mengutip Jimly Asshiddiqie memandang prinsip independensi itu terpantul lewat adanya independensi struktural (structural independence) dan independensi fungsional (functional independence), yaitu ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity) serta ditambah adanyaindependensi anggaran untuk menjamin kemandirian peradilan (financial independence).
Merujuk Asep Rahmat Fajar (2015) independensi peradilan itu terbagi ke dalam tiga bentuk, yakni: Independensi substansi, yakni independensi saat memeriksa dan memutus perkara (ranah teknis yudisial). Independensi internal, yakni tidak boleh ada tekanan atau intervensi struktural maupun fungsional dari lembaga tempatnya bekerja, dan akuntabilitas. Akuntabilitas disebut sebagai sisi mata uang lain dari independensi peradilan itu.
Akuntabilitas Peradilan
Sekalipun dalam konstitusi lembaga peradilan disebut sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka, itu lebih pada adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Hanya dalam praktik kemudian muncul permasalahan apakah penafsiran independensi itu cenderung pada tugas yudisial, bukan pada manajemen hakim? Sebab selain jaminan independensi individual hakim, perlu pula penguatan akuntabilitas peradilan.
Urgensi akuntabilitas itu tersebab sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.
Guy Peters dalam Haryatmoko (2011) memaknai akuntabilitas dengan (1) transparansi, (2) tanggung jawab, dan (3) kemampuan merespons kebutuhan publik atau kemampuan pelayanan publik bertanggung jawab terhadap pemimpin politiknya.
Mengenai urgensi akuntabilitas dalam lembaga peradilan Paulus E Lotulung (2003)menyatakan bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat dengan pertanggungan-jawab (akuntabilitas). Independensi dan akuntabilitas seperti kedua sisi koin mata uang saling melekat.
Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Akuntabilitas peradilan penting untuk memastikan bahwa arah fungsi penegakan hukum tetap otentik yakni mewujudkan doktrin; “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bagi Oce Madril (2014) akuntabilitas merupakan pelengkap independensi peradilan. Karena itu menurut Gayus Lumbun (2013) konsepsi akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah.
Dari aspek tujuan akuntabilitas peradilan menurut Artidjo Alkostar (2012) ditujukan untuk “para hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity harus dapat mempertanggungjawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa.”
Romzek dalam J. Djohansjah (2008) menyatakan untuk mamahami konsep akuntabilitas peradilan dapat dilihat pantulannya pada aspek (1) akuntabilitas hukum, (2) akuntabilitas politik, (3) akuntabilitas hierarki, dan (4) akuntabilitas professional.
Akuntabilitas peradilan penting untuk memastikan ada aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan perilaku hakim. Mekanisme akuntabilitas bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi.
Tiada alasan logis yang menunjukkan bahwa mekanisme akuntabilitas dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan untuk mengembalikan atau lebih menumbuhkan dan meraih kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.
Relasi independensi dan akuntabilitas peradilan, sekali lagi seperti kedua sisi koin mata uang saling melekat. Jika konsep pembagian peran dan tanggung jawab antar-organ negara dimaknai sebagai bagian dari akuntabilitas peradilan, tujuannya tak lebih dari upaya untuk menyempurnakan konsepsi sistem satu atap.
Prinsip independensi tidak pernah berdiri sendiri, karena itu harus berjalan seiring dengan pelembagaan akuntabilitas peradilan di Indonesia. Fokus utama dunia peradilan tidak lagi semata menitikberatkan independensi kekuasaan kehakiman belaka. Karena itu, tiada pilihan lain, independensi dan akuntabilitas peradilan, keduanya sama pentingnya untuk diperjuangkan.
=====================
Waspada, Selasa 25 April 2017