POST DATE | 20 Agustus 2017
Hari ini, 1 Juli 2009, Kota Medan genap berumur 419 tahun. Usia yang cukup elok untuk melakukan kontemplasi di semua lini. Pagi ini, sambil minum secangkir kopi warga kota perlu merenung sejenak. Lembaran kerja kemarin pantas dikoreksi atau dibenahi.
Secara fisik ragam asesoris fisik kota cukup luar biasa. Lihat saja tampilan bangunan gedung-gedung yang ada. Kesan gagah, kokoh, dan gemerlap menjulang tinggi sekali, jelas terlihat. Pokoknya gengsi dan nuansa kota metropolitan terasa sekali.
Akan tetapi jangan puas diri dulu. Sebab di sisi lain di kota ini justru terasa aroma anomali. Kini, Kota Medan seperti kehilangan denyut dan lesu, karena kekurangan darah. Nyali birokrasi untuk membangun telah redup.
Bentangan insfrastruktur dan pelayanan publik rusak parah, terlihat di mana-mana. Setiap sudut, mulai dari inti kota sampai ke pinggiran. Infrastruktur buruk tidak cuma jalan, taman, drainase, sampah, sekolah, dan pasar yang semrawut juga soal banjir.
Pelayanan birokrasi publik juga rusak parah. KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran harusnya gratis, justru harus bayar untuk mendapatkannya. Maladministrasi birokrasi dan malapraktik pelayanan publik terjadi di mana-mana. Kota Medan benar-benar kehilangan arah dan jati diri. Persis seperti negeri tak bertuan.
Masing-masing warga cuma bisa mengurusi diri sendiri. Berharap birokrat membangun, justru fasilitas publik yang ada pun tak terurus. Perhatikan kondisi jalan protokol sampai gang-gang. Lubang menganga di tengah jalan, bak hendak menelan setiap pengendara bermotor. Berharap ke kalangan DPRD, mereka justru lebih sibuk mengurus persiapan jelang Pilkada 2010.
Ekses infrastruktur jalan rusak, tak terhitung pula debu yang meruap setiap hari dan motor bergelimpangan akibat jalan rusak. Masyarakat sudah cukup banyak menuntut. Cara politik juga sudah dilakukan. Orang berdemonstrasi dan mancing ikan di jalan.
Menanam pohon di tengah jalan. Simbol perlawanan itu cuma dipandang sebelah mata. Pemko Medan diminta memperbaiki jalan. Tetapi yang ada bukan perbaikan jalan. Pejabat birokrasi dan DPRD Medan malah dapat mobil dinas. Meskipun itu keterlaluan dan menjengkelkan sekali. Tetapi birokrasi dan politisi bersepakat untuk tak mau peduli.
Apa benar tidak ada uang untuk perbaikan jalan. Kalau begitu, mengapa justru pada saat bersamaan, Pemko Medan dapat menyediakan mobil dinas bagi anggota DPRD Medan. Apalagi sebenar lagi APBD bakal mengalirkan lagi uang ‘tali asih’ bagi calon veteran DPRD 2004-2009. Warga tak tahu mau mengadu ke mana lagi. Semua sibuk mengurusi urusan masing-masing. Tetapi urusan warga tetapi terpinggirkan.
Lebih parah lagi, karena infrastruktur buruk, kehidupan warga terpuruk. Jalan kupak kapik seperti kubangan kerbau terus dibiarkan. Ini betul-betul menyedihkan. Belum lagi kalau kita lihat berapa kerugian warga Medan akibat rusaknya jalan lebih dari dua tahun ini.
Pemborosan bahan bakar akibat macet, pemborosan suku cadang kendaraan, terhambatnya akses warga menuju tempat aktivitas, lambannya distribusi barang dan jasa, dan sebagainya. Pernahkah pejabat birokrat dan wakil rakyat berpikir sejauh itu?
Padahal, pejabat dan wakil rakyat bukan mendapat wahyu dari langit untuk memimpin Kota Medan. Bukankah 'jabatan adalah amanah rakyat? Bukankah wakil rakyat dipilih oleh rakyat. Gaji dibayar rakyat, fasilitas dibiayai rakyat, berlebaran pakai THR dari uang rakyat.
Pertanyaannya, apa yang sudah pejabat birokrat dan wakil rakyat perbuat untuk warga kota ini? Yang diminta cuma, kembalikan pajak untuk rakyat. Masa kini, nyaris tidak ada yang dapat dibanggakan warga dari kota ini. Infrastruktur dan pelayanan telah runtuh.
Pelayanan Publik Tercabik
Warga kota ini perlu memikirkan kinerja pejabat Walikota dan kabinetnya. Masalahnya pejabat Walikota dan kainetnya terlalu banyak basa-basi.Tetapi miskin program yang signifikan dan konkrit, sehingga dari sisi prestasi tak memberi harapan yang lebih baik.Kini, kondisi Kota Medan luar biasa.
Saban kali hujan turun, kota ini senantiasa terancam banjir. Lalu, karena tidak sanggup melawan banjir muncul bahaya laten. Lubang menganga di tengah jalan, bak hendak menelan pengguna jalan. Tak terhitung debu yang meruap setiap hari dan motor bergelimpangan akibat jalan rusak. Jalanan kota rusak parah dan babak belur.
Mekudian kalau hujan, mengapa banjir begitu akrab dengan warga kota ini? Buruknya drainase kota adalah penyebabnya. Bahkan Pj. Walikota mengaku ada tiga masalah utama yang dewasa ini dihadapi Kota Medan, yakni jalan rusak, drainase tidak berfungsi dan masalah sampah yang tidak tertangani.
Apakah semua jalan telah benar-benar rusak berat? Memang masih ada jalan yang mulus. Di antaranya Jalan Sudirman yang merupakan kawasan rumah dinas Walikota Medan, Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Kapolda Sumut, Panglima Kodam I Bukit Barisan, dan rumah dinas Pemimpin Bank Indonesia Cabang Medan.
Kemudian Jalan Diponegoro yang merupakan kawasan perkantoran Gubernur Sumut, serta Jalan Kapten Maulana Lubis yang merupakan kawasan perkantoran Walikota Medan. Sisanya jalan hancur dan tidak diperhatikan. Banyak kendaraan yang terjebak lubang yang tiba-tiba menganga di tengah jalan. Jangan tanya kecelakaan, karena sudah tak terhitung banyaknya.
Apa benar tidak ada uang untuk perbaikan jalan? Kalau keterbatasan anggaran Pemko Medan, selalu dikedepankan, maka sampai tujuh turunan warga kota ini bakal bergelimang dengan jalan rusak itu. Pastinya warga, tak tahan juga setiap kali diminta sabar oleh pejabat di Pemko Medan. Kado kritik, merupakan prosedur berdemokrasi guna mengingatkan pemerintah yang lalai menjadi pelayan rakyat.
Warga yang cerdas dan tidak taat membabi buta terhadap orang/golongan, tentu paham, kritik walau pahit, tak selalu niat jahat menjatuhkan orang secara politik. Akan tetapi kehendak supaya perikehidupan rakyat menjadi baik. Karena amat sulit menjawab, apakah benar Pemerintahan mau melayani dan peduli?
Kalau dikaitkan dengan pengadaan mobil dinas dan rencana uang kehormatan bagi kalangan DPRD Kota Medan, bukti dan pertanda pemerintah punya uang. Jadi, bukan karena uang tidak ada untuk perbaikan jalan. Tetapi, karena Pemko Medan tidak kreatif dan hanya manis dalam retorika politik. Tak tahan juga warga setiap kali diminta sabar oleh Pemko Medan, yang entah apakah ia tak pernah melewati jalan rusak di Kota Medan.
Kritik itu perlu dilakukan agar Pemkot Medan tidak alpa akan fungsinya melayani masyarakat dan memperhatikan fasilitas umum yang menjadi kebutuhan warga. Memang yang buruk tidak cuma jalan, taman, drainase, sekolah, dan pasar yang semrawut serta soal banjir.
Tetapi untuk memberi pelajaran dan prioritas, kualitas ruas jalan buruk perlu perhatian khusus. Kritik ini penting untuk mengingatkan pemerintah kota supaya lebih serius mengurusi masalah rakyat. Karena rakyat membayar Pajak Kendaraan Bermotor dan beragam jenis pajak lainnya.
Warga berhak mendapat fasilitas yang sepadan atas pajak dan retribusi yang telah dibayarkan. Aktivitas Pemko Medan dan DPRD dalam melayani publik perlu diawasi. Sebab ‘kue’ APBD adalah kumpulan dana yang disedot dari dana masyarakat.
Alokasi anggaran itu harusnya berfungsi untuk menyehatkan pelayanan publik. Fakta yang muncul, anggaran rutin lebih dominan untuk kepentingan sesaat pejabat (dan kepompok elit), daripada memperbaiki kesehatan infrastruktur dan pelayanan publik.
Nampak irrasionalitas anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Lebih khusus pada sektor upaya rekonstruksi menopang mobilitas sosial seperti perbaikan jalan. Memang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Secara kasat mata terlihat, alokasi APBD timpang dan berat sebelah. Infrastruktur publik terus memburuk dan ketidak-adilan merajalela. Kalau begitu tidak salah, apabila infrastuktur kota ini, divonis telah runtuh.
Kemudian secara spiritual mengalami degradasi moral dan sensifitas atas keadilan pembangunan. Terkesan pajak tidak memiliki relasi dengan perbaikan infrastruktur kota. Pajak adalah kewajiban, sementara hak warga diabaikan.
Pelayanan publik alami kemandegan luar biasa. Kemudahan dalam pelayanan masih sebatas mimpi belaka. Karena itu, sangat wajar sebagai warga yang baik pantas kemudian menggugat hasil atas pajak yang telah diberikan.
Mengapa warga senantiasa disandera untuk teru membayar pajak? Di sisi lain uang yang didapat dari pembayaran pajak itu tidak dikembalikan ke pangkuan warga? Mengapa hak atas pajak itu tak pernah jelas untuk apa dan siapa?
Seolah warga diminta bayar upeti, tapi imbalan atas pajak itu tidak sepenuhnya untuk kesejahteraan warga. Kalau benar hal itu, sesungguhnya tak jauh beda mengelola negara dengan zaman kolonial dulu.
Sesungguhnya jelang Pilkada 2010, hak publik makin terpingggirkan. Masyarakat sebagai konstituen bakal makin dieksploitasi lagi. Hak-hak publik untuk dapat perlindungan pemerintah dan politisi makin sulit diakses.
Semua kebijakan bakal lebih terasa nuansa balutan politisnya. Masyarakat harus jeli dan cerdas dalam melindungi diri sendiri. Masyarakat harus lebih sensitif dan selektif dalam menyikapi setiap perilaku birokrasi dan politisi.
Kolaborasi dan konspirasi penguasa dan politisi bakal lebih banyak mengorbankan kepentingan warga. Warga tidak boleh terlena dan mulailah bertanya: betulkah para pemimpin mau melayani rakyat dan peduli? Kalau tidak, sangat sulit untuk kembali membangun infrastruktur kota ini.
Pelayanan publik makin tercabik. Infrastruktur buruk makin membuat terpuruk. Usia ke- 419 bagi warga kota ini, momentum untuk “membangkitkan batang terendam” lagi. Kalau tidak, kota ini bakal mati suri atau malah runtuh berkeping tak punya bentuk lagi. Dirgahayu ke-419 dan hidupkan ‘nyali’ agar jadi ‘nyala’..!!??
=========
Sumber: Analisa, 1 Juli 2009