POST DATE | 24 Juni 2017
Prosesi ibadah puasa di bulan suci ramadhan 1437 H telah berlalu. Ramadhan disebut sebagai bulan rahmat yang penuh berkah, bulan yang lebih baik daripada seribu bulan (Qs. Al-Qadr, 97: 3). Umat Islam yang beriman mendapat panggilan dari Allah swt untuk melaksanakan ibadah puasa.
Sepatutnya puasa bukan sekadar kewajiban tahunan, dengan menahan lapar dan berbuka. Selepas itu hampir tidak berbekas dalam jiwa ataupun dalam perilaku interaksi bersosialisasi di masyarakat. Puasa dimaknai dalam konsep universalitas tugas kemanusiaan untuk melakukan pembebasan dan pembelaan terhadap yang lemah/miskin (mustadafin).
Ramadhan bermaksud untuk mendidik pribadi umat Islam (tarbiyah fardhiyah), juga menjadi bulan edukasi publik (tarbiyah ijtimaiyah). Ibadah puasa adalah sekolah untuk berlatih jujur terhadap diri sendiri dan orang lain, berlatih sabar dan belajar rendah hati. Tidak mau bohong, tidak marah-marah dan tidak sombong. Bulan ramadhan setiap tahunnya datang membawa banyak pesan dan makna yang dapat mengubah jalan hidup seseorang ataupun komunitas.
Ramadhan menawarkan kegiatan penuh agenda harapan dan janji kemaslahatan untuk umat manusia. Ramadhan mestinya mampu menggugah moral, akhlak, dan kepedulian kepada hal sosial kemasyarakatan. Secara individual bulan puasa mengandung makna bagi pendidikan personal yakni penguatan integritas kepribadian dengan sebutan pribadi bertakwa (Qs. Al-Baqarah, 2: 183).Pantulan ketakwaan itu selanjutnya ditunjukkan oleh investasi lisan, hati, dan perbuatan nyata (Qs. Al-Hasyr, 59: 7).
Pribadi bertakwa adalah menjadi bagian anggota atau pemimpin masyarakat yang sadar hak dan tanggung jawabnya bagi kebaikan publik. Pribadi takwa adalah mereka yang tidak memerlukan pencitraan diri, seperti orang puasa yang tidak pernah menonjolkan dirinya berpuasa. Puasa juga membentuk sikap diri yang sabar dan memiliki daya juang tinggi dalam menghadapi cobaan, khususnya godaan yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, yaitu pemenuhan kebutuhan makan dan minum.
Puasa merupakan satu cara untuk mendidik individu dan masyarakat untuk tetap mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya walaupun diperbolehkan (QS. A’raf, 7: 3). Ketika berpuasa seseorang dengan sadar akan meninggalkan makan dan minum sehingga lebih dapat menahan segala nafsu dan lebih bersabar untuk menahan emosi (QS. Al-Zumar, 39 :10), walaupun mungkin terasa berat melakukannya.
Wujudnya dari ketakwaan pada tingkat sederhana dapat diukur dari kepribadian dan integritas diri seseorang yang utuh dan sempurna. Integritas baik sebagai bagian dari warga maupun pemimpin negara atau sesuai profesi individu.
Puasa mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang luar biasa. Misalnya pada puncak keimanan manusia dapat berbuat begitu ringan untuk melakukan sesuatu hal bernilai baik untuk pribadinya ataupun sekitarnya. Jika menjadikan puasa ini sebagai jalan integritas diri menempa spritual pribadi dan sosialnya, puasa menjadi puncak keimanan yang terbuka bagi siapapun yang memilihnya.
Hal penting nilai yang mesti direvitalisasi selepas puasa yaitu integritas. Puasa yang sudah sebulan dilaksanakan sangat membangun integritas. Meskipun tak ada orang lain yang mengawasi atau yang memantau, orang berpuasa benar-benar menjaga lapar dan dahaga sejak sebelum matahari terbit sampai terbenam (imsak).
Puasa adalah simbolisasi penundaan dan pengendalian kesenangan sebagai kunci pencapaian kemuliaan hidup. Pemuliaan hidup yang menempatkan manusia dalam hidupnya dapat berbuat untuk kemaslahatan masyarakat. “Sebaik-baiknya orang adalah mereka yang bermanfaat untuk orang lain” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Integritas dan Puasa
Integritas (integrity) bermakna utuh dan sempurna, tidak ada cacat. Lawan dari integritas adalah hipocricy atau kemunafikan. Integritas adalah unsur fundamental bagi seseorang. Integritas memberikan kuasa kepada kata-kata, memberikan kekuatan bagi rencana-rencana dan memberikan daya (force) bagi tindakan. Paul J. Meyer (2007) menyatakan bahwa “integritas itu nyata dan terjangkau dan mencakup sifat seperti: bertanggung jawab, jujur, menepati kata-kata, dan setia. Jadi, saat berbicara tentang integritas tidak pernah lepas dari kepribadian dan karakter seseorang, yaitu sifat-sifat seperti: dapat dipercaya, komitmen, tanggung jawab, kejujuran, kebenaran, dan kesetiaan.
Integritas bagi seorang dalam keberadaan benar dihadapan Tuhan dan benar dengan diri sendiri. Integritas memengaruhi seseorang dalam berpikir. Integritas juga menentukan corak dan pola berkomunikasi. Sejalan dengan itu, puasa adalah amanah. Hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud).
Puasa di bulan Ramadhan memberikan ruang kosong dalam perut kita agar memunculkan kerinduan pada sumbernya. Selain itu, puasa menjadi satu-satunya ibadah yang diperuntukkan kepada Tuhan. Dalam hadis qudsi, Allah swt berfirman, “Setiap perbuatan anak Adam adalah untuk mereka, selain puasa. Maka puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR Muttafaq 'Alaih).
Puasa secara formal melatih kepentingan fisik dan melepaskan dari kepentingan keduniawian(secular). Mendidik agar perilaku hidup lebih melatih kemauan-kemauan (desire) dan kehendak (will be) fisik yang selalu memenjarakan kepentingan jiwa pada kebaikan. Puasa menjadi ajang latihan manusia untuk memanusiakan kemanusiaannya. Kembali kepada kodrat yang sesungguhnya, layaknya hamba yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya (Qs. At-Tiin, 94: 4, Qs. Al-Isra’ 17: 70, Qs. Al-Hajj, 22: 65). Manusia makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan, seperti naluri hewaniah (Qs. Al-Mu’minun, 23: 115).
Ibadah puasa menjauhkan dari sifat hewaniah dan keculasan. Bulan ramadhan sebagai ajang latihan mengokohkan integritas. Jadi, dengan begitu selepas puasa mesti ada signifikansi kepada sikap dan perbuatan terhadap korupsi. Tidak korupsi bukan karena fisiknya tidak memerlukan lagi tumpukan duit yang banyak.
Tidak korupsi, karena nilai ibadah puasa melekat kepada integritas dan moralnya. Substansi ibadah puasa sebagai meningkatkan ketakwaan telah dimaknai sebagai faedah bagi orang yang menjalankanya, agar tak ada lagi pribadi yang tidak berintegritas karena mereka sudah bertakwa.
Selepas puasa semua struktur perbuatan yang meletakkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dan golongan semata.
Orang yang memiliki kepribadian utuh yang berani mengatakan tidak terhadap yang tidak benar dan menyatakan benar terhadap suatu kebenaran. Integritas adalah sebuah keunggulan diri pribadi yang menjadikan seseorang hidup lebih sehat dan tanpa beban, karena mereka menjalankan hidupnya jauh dari aneka kepura-puraan dan kepalsuan.
Di mana pun dia berada, dan kondisi apa pun yang menekannya, ia tetap hidup konsisten dengan nilai-nilai yang dianutnya. Orang yang memiliki integritas diri mampu memberi pengaruh besar dan positif dalam kehidupan. Bahkan untuk generasi penerus mereka, melalui keteladanan dan apa saja sikap yang selalu perjuangkan.
Integritas selepas puasa pantulannya terlihat kepada keshalihan ibadah (hablum-min-allah), keshalihan sosial (hablum-min-annas), dan keshalihan politik atau keshalihan kepemimpinan(siyasah). Semoga puasa tahun ini tidak tergolong: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR. At Thabrani).
====================================
Sumber: Waspada, 5 Agustus 2016