post.png
jalan-rusak-di-sunggal-tribun-medancom_20151103_120326.jpg

Jalanan Bebas Kupak-kapik, Mungkinkah

POST DATE | 24 Juli 2017

 
JALAN sebagai salah satu infrastruktur lalu lintas senantiasa menghadapi persoalan ketika ada perusahaan tertentu memerlukan jaringan. Masalah datang tatkala perushaaan harus menambah kapasitas jaringan atau membuka jaringan baru.

Pastinya yang jadi korban, trotoar bahkan ruas jalan, yang dengan mudahnya oleh perusahaan digunakan untuk memenuhi keperluannya itu.

Untuk itu, trotoar dan jalanan digali, ditutup, digali, ditutup, dan seterusnya seperti tidak pernah selesai. Akibatnya fisik jalan dan trotoar rusak, bahkan ketika dilakukan perbaikan sekalipun kondisinya tidak sempurna seperti semula.

Itu pulalah yang terjadi sejak lebih kurang enam bulan lalu di Kota Medan. Bekas penggalian pipa di badan jalan pada pelbagai ruas jalan di Kota Medan sampai kini masih dibiarkan kupak-kapik. Pemborong dan instansi berwenang dalam proyek pembangunan saluran air limbah belum melakukan perbaikan bekas galian sebagaimana mestinya.

Cukup mengherankan juga, mengapa proyek untuk umum itu sama sekali tidak ada pertanggungjawabannya kepada pemakai jalan, padahal kondisi itu sangat mengganggu dan meresahkan.

Diduga sudah banyak mobil dan sepeda motor terperosok karena bekas galian pipa ditelantarkan, tidak dirapikan seperti semula, misalnya diaspal ulang. Akibatnya, sebaran debu dan becek, serta macet karena jalan menyempit telah menjadi langganan para pengguna jalan. Pengendara yang melintas terganggu, debu mengganggu jarak pandang. Ekses lain adalah masyarakat sekitar penggalian badan jalan mengalami banyak kendala dalam beraktivitas, seperti usaha terhambat karena ketiadaan pintu masuk.

Sekadar contoh adalah bekas galian pipa yang ditelantarkan dan terbengkalai terlihat di Jalan Krakatau, Perintis Kemerdekaan, KL Yos Sudarso, Putri Hijau, Prof. M. Yamin, Bukit Barisan, Pelita, Rakyat, Gaharu, Durian, Tuasan, Mapilindo, dan sebagainya. Terkesan proyek pekerjaan penggalian tidak tuntas sehingga meninggalkan kesusahan bagi pemakai jalan.

Meskipun tidak persis sama, tetapi konteksnya tidak berbeda jauh. Jalanan selain sering diterpa kerusakan akibat genangan air, juga sering sengaja "dirusak" oleh pihak-pihak yang berkepentingan membangun instalasi jaringan. Diduga alasannya, karena itulah model perbaikan "murah dan meriah". Entah sampai kapan jalan dibiarkan kupak-kapik terbengkalai. Yang pasti, akibat kecerobohan ini, jalan menjadi korban awal dan pengguna jalan menjadi korban berikutnya (collateral victim). Jangan tanya dari sisi estetika dan kenyamanan. Tidak ditemukan kata yang tepat untuk menjelaskannya?

Terkesan tidak ada tanggung jawab kolektif dari penyelenggara jalan dan perusahaan penyelenggara proyek, pekerjaan gali lubang-tutup lubang seperti itu memunculkan pertanyaan: Apakah proyek seperti itu pantas dipertahankan? Semestinya jalan yang sudah rapi, pasca penggalian segera dibenahi. Jadi, kalaupun tidak dapat mempermulus jalan, setidaknya jalan yang sudah rapi jangan dirusak lagi. Apalagi sebelumnya tidak ada sosialisasi, kecuali terlihat ada penggalian dan alat berat di lokasi galian.

Diyakini, pihak kepolisian, dinas perhubungan dan instansi lainnya mengetahui situasi ini sejak awal. Tapi mengapa justru tidak ada antisipasi dampak buruknya? Atau, apakah pemborong tidak ada koordinasi dengan instansi pemerintah untuk mengurangi dampaknya? Misalnya menyediakan jalan alternatif atau menempatkan petugas resmi untuk meminimalkan risiko.

Jika tidak ada koordinasi, betapa pemerintah tidak punya martabat di mata pemborong. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak yang lebih buruk diharapkan kepolisan, dinas perhubungan dan instansi pemerintah lain membantu mengurai masalah ini.

Sanksi Hukum
Ketika ada pekerjaan galian seperti di atas maka efek dominonya adalah kemacetan lalu lintas. Entah kenapa, meskipun sudah diberikan papan proyek tetapi kemacetan tetap tidak terhindarkan. Memang kalau mau murah-meriah jadi tidak memperhatikan standar pekerjaan proyek? Eksesnya, alih-alih berhati-hati ketika melintasi lokasi-lokasi galian yang dipenuhi pekerja (setelah membaca papan proyek yang memang meminta kehati-hatian bukan cuma perhatian), lalu lintas menjadi macet, karena terutama mobil akan mengurangi kecepatannya. Pengendara pun jadi kurang leluasa menggunakan bahu jalan untuk memacu kendaraannya.

Pada kasus seperti ini, bagaimana penyelenggara mewujudkan tanggung-jawabnya kepada publik pengguna jalan?
Jalan yang berlubang merupakan buntut dari penggalian bahu jalan. Memang secara normatif, sebagai warga negara, pengguna jalan bisa menuntut para penyelenggara jalan jika terjadi kecelakaan akibat jalan rusak. Dalam hal ini pemborong (swasta/BUMN) dan Pemerintah Kota Medan.

Ketentuan tentang itu dituangkan dalam Pasal 24 ayat 1 UU No 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan, penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
Seterusnya, kalau penyelenggara jalan tidak memasang tanda pada jalan rusak, maka ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 24 ayat 2 diatur dalam Pasal 273 ayat 4, sehingga penyelenggara jalan terancam pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp1,5 juta.

Jika penyelenggara jalan tidak segera memperbaiki kerusakan dan mengakibatkan munculnya korban, maka akan ada ancaman sanksi pidana. Jika korban mengalami luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan ancaman hukumannya paling lama enam bulan penjara atau denda paling banyak Rp12 juta.

Lalu, jika korban mengalami luka berat, maka penyelenggara jalan bisa terancam pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp24 juta. Selanjutnya, jika korban sampai meninggal dunia, penyelenggara terancam penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp120 juta (vide Pasal 273).

Korban luka, meninggal atau yang mengalami kerusakan kendaraan masih bisa menuntut penyelenggara jalan secara perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban atas ruas jalan di Medan terbagi atas jalan nasional oleh pemerintah pusat, jalan provinsi oleh pemerintah provinsi dan jalan kota oleh pemerintah kota.

Tetapi terlepas dari soal sanksi hukum, sebenarnya kapan jalanan bebas galian? Apakah tidak ada peluang untuk menyatukan semua jaringan dalam satu jalur? Atau, apakah model gali lubang, tutup, gali lagi dan seterusnya, seperti jalan tak ada ujung? Apakah mungkin rezim gali lubang, tutup lagi, gali lagi itu ada episode terakhirnya? Entahlah!

 

========

Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com

 



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar