POST DATE | 03 April 2017
Kasus biskuit mengandung babi di gerai Indomaret (Republika, 29-80/05/14) kembali mengusik suasana kebatinan umat Islam. Kasus itu seolah membuka luka lama kasus biskuit mengandung babi hasil penelitian Tri Soesanto (1988). Kasus itu sempat menyentak kesadaran umat Islam tentang banyaknya makanan yang memakai bahan dari babi.
Lebih kurang sepekan sebelum kasus biskuit mengandung babi di gerai Indomaret, masyarakat diteror dengan dugaan banyaknya rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah yang tidak bersertifikat halal. Bahkan jumlahnya hampir 90% di seluruh Indonesia (Republika, 12/05/14).
Memang kasus lemahnya jaminan dan pengawasan produk halal dari pemerintah bukan hal baru. Kasus produk tidak halal datang secara bergelombang. Silih berganti, tiada henti. Kasus sprite (1996), sapi gelonggongan (1999, 2002), vaksin meningitis (2009), perdagangan daging celeng (2011), ajinomoto (2001), ayam tiren (mati kemarin) dan bakso tiren (2012). Masalahnya kasus yang senantiasa menggelitik ketenangan keagamaan itu begitu mudah dilupakan.
Belajar dari kasus itu, Indonesia ternyata tidak aman dan tidak bebas dari peredaran produk yang tidak halal. Faktanya pula, banyak produk makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita tak berlabelkan halal. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan.
Padahal memperoleh produk halal bagi setiap muslim adalah perwujudan hak konstitusionalnya. Akses produk halal mestinya dijamin oleh konstitusi. Jadi, pemerintah hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agama warganya.
Faktor utama wacana produk halal tak kunjung usai adalah tersebab pemerintah bersifat pasif. Produsen malas mendaftarkan kehalalan produknya. Seterusnya masyarakat acuh tak acuh (apatis). Ketiga hal tersebut merupakan faktor penyebab lambatnya kesadaran masyarakat atas pentingnya kehalalan produk di Indonesia (Muchith A. Karim, 2013).
RUU Jaminan Produk Halal
Posisi serba tidak pasti terkait jaminan produk halal membuat konsumen muslim kesulitan untuk memilih produk, apakah dalam kategori halal atau haram. Karena itu perlu sikap prihatin atas wacana produk halal di masa kini.
Kondisi zaman terus berubah. Jika pada zaman dulu kehalalan dan kesucian atas produk tidak merupakan suatu persoalan serius, karena bahannya jelas-jelas halal dan cara pemerosesannya pun tidak bermacam-macam.
Tetapi kehadiran ragam zat aditif kimiawi pada makanan dan minuman setidaknya menjadi alasan mengapa jaminan produk halal itu diperlukan. Karena mau tidak mau zat-zat tersebut juga harus tersentuh hukum halal-haram.
Prinsipnya kebersihan makanan atau produk itu yang dituntut tidak cuma sebatas kepada kebersihan lahiriah semata. Ada rangkaian proses dari cara mendapatkan, cara menghidangkan, cara menggunakan, dan seterusnya.
Harus diakui wacana halal dan haram makanan, tidak terlalu penting untuk generasi terdahulu. Produk yang ada masih bersifat alami. Tidak banyak pencampuran, jikapun ada maka pencampuran yang mereka lakukan dulunya juga masih tergolong alamiah/ natural.
Kondisi yang ada, kini cukup memprihatinkan. Konsumen Muslim belum mendapat proteksi yang wajar. Hukum dan peraturan perundangan berkenaan produk halal secara khusus belum ada.
Sementara itu, meskipun kasus produk haram cukup meresahkan umat Islam, pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) terlindas hiruk pikuk Pemilu (pileg/pilpres). Energi anggota DPR seolah terkuras buat kampanye atau mendukung calon presiden (capres) pilihannya.
Kuatnya dorongan mempercepat pembahasan RUU JPH belum didengar DPR. Suara umat melalui Majelis Ulama Indonesia belum mendapat prioritas yang sepatutnya. Sampai saat ini pembahasan RUU JPH belum tuntas/mandek.
Ahmad Zainuddin (2013) memandang ada 3 alasan penting untuk mengesahkan RUU JPH. Pertama, secara filosofi RUU JPH adalah aplikasi Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (1 dan 2) UUD 1945. Kedua, secara sosiologi, kini banyak peredaran produk yang mengandung bahan kimia biologi, dan itu semua belum terjamin kehalalannya. Ketiga, secara hukum belum ada ketentuan komprehensif dalam menjamin kepastian produk halal di pasaran. Secara hukum UU JPH, dapat memberi kepastian dan jaminan hukum bagi konsumen khususnya umat Islam.
Suwida Tahir (2014) mengatakan RUU JPH merupakan sebuah kebutuhan mendesak untuk melindungi umat Islam dari produk-produk yang tak jelas kehalalannya. Adanya Jaminan Produk Halal bermakna negara memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada masyarakat dalam mengonsumsi atau menggunakan produk. Selain itu, tercipta pula sistem JPH dalam menjamin tersedianya produk halal.
Pemerintah dan DPR bertanggungjawab penuh untuk menyelesaikan RUU JPH. RUU JPH adalah hutang yang mesti ditunaikan. Penting untuk merenungi pesan Rasulullah SAW: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Sebab itu, tentu tidaklah elok meninggalkan pengesahan RUU JPH kepada anggota DPR mendatang. Dipastikan RUU JPH bakal terbengkalai.
Bagi umat Islam eksistensi UU JPH sangatlah penting. Pengesahan RUU JPH mestinya lebih diprioritaskan. Tanpa kehadiran RUU JPH itu penindakan bagi produsen yang melanggar kehalalan sebuah produk takkan dapat dilakukan.
Selain itu, UU JPH adalah wujud pelaksanaan Pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyatakan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semoga..!
==========================
Republika. Senin, 2 Juni 2014