POST DATE | 18 Februari 2023
Dalam kasus terdakwa Ferdy Sambo, dkk, Bharada Richard Eliezer atau Bharada E yang menjadi salah satu terdakwa mengajukan permohonan status justice collaborator (JC) kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Status justice collaborator ini kemudian dikabulkan hakim dalam sidang vonis kasus pembunuhan Brigadir Yosua. Status ini juga menjadi salah satu hal meringankan sehingga Eliezer divonis ringan dengan penjara 1 tahun 6 bulan (vide https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6570291/apa-itu-justice-collaborator-status-hukum-yang-bikin-eliezer-divonis-ringan). Padahal sebelumnya Richard Eliezer telah dituntut jaksa 12 tahun penjara.
Sebenarnya apa itu Justice Collaborator? Istilah Justice Collaborator berasal dari bahasa Inggris yang berarti keadilan (Justice) dan kolaborator/bekerja sama (Collaborator) atau yang disebut juga Collaborator with Justice yang berarti kolaborator keadilan (vide https://mh.uma.ac.id/pahami-apa-itu-hak-sebagai-justice-collaborator/). Pengertian justice collaborator sesuai dengan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003. Menurut konvensi tersebut, justice collaborator adalah orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana. Pelaku yang bersedia menjadi justice collaborator nantinya akan berstatus sebagai saksi sekaligus pelaku (saksi pelaku) (vide https://tirto.id/apa-itu-justice-collaborator-ini-arti-dasar-hukum-syaratnya-guTN).
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, justice collaborator adalah tindak pidana yang mengakui kejahatannya, tetapi bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan.
Justice collaborator merupakan individu yang berperan penting dalam membongkar suatu kejahatan dan dapat menyediakan bukti untuk menjerat pelaku utama dan tersangka lainnya di dalam suatu perkara. Kedudukan seorang justice collaborator sebagai saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan. Keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Seorang justice collaborator berperan sebagai kunci seperti: Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara; Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan; Jika seorang justice collaborator berbohong dalam keterangannya, maka berbagai haknya akan dicabut dan ia dapat dituntut telah memberikan keterangan palsu.
Karena itu untuk menjadi justice collaborator harus memenuhi syarat berikut: Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir; Memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius atau terorganisir; Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya; Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang bersangkutan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; Ada ancaman yang nyata atau khawatir akan adanya ancaman, tekanan secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya.
Peran justice collaborator akan terancam sebab ia secara tidak langsung membantu atau membongkar fakta dan keadilan. Untuk itu, Justice collaborator akan memperoleh penghargaan berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain, perlakuan khusus, dan lain sebagainya.
Justice collaborator juga berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum penanganan secara khusus, dan penghargaan. Penghargaan tersebut dapat berupa keringanan hukuman tersebut (vide https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-justice-collaborator-dalam-kasus-pidana-lt6391a3b65612f?page=all).
Ahmad Sofian (2018) mengatakan justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut. Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminologi justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti-Korupsi (United Nation Convention Against Corruption–UNCAC) dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka korupsi secara global. Dengan adanya kerja sama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Kerja sama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerja sama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti-Korupsi, 2003).
Mengingat peranannya yang penting dalam mengungkapkan suatu peristiwa pidana, ada beberapa pengaturan justice collaborator dalam perundang-undangan di Indonesia. Misalnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK); Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Colllaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu; Peraturan Bersama yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Polri, KPK, dan Ketua LPSK Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01- 55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Ide lahirnya saksi pelaku yang bekerjasama adalah agar aparat penegak hukum dapat membongkar kasus yang lebih besar, mengingat tindak pidana yang diatur dalam penerapan saksi pelaku yang bekerjasama adalah tindak pidana khusus yang terorganisir, seringkali dalam tindak pidana tersebut para pelaku saling menutupi jejak temannya sehingga sangat sulit untuk dipecahkan dan juga mengingat tindak pidana yang diatur dalam penerapan justice collaborator adalah tindak pidana yang notabenenya sangat merugikan negara baik keuangan, keamanan dan juga lainnya.
Norma SEMA Nomor 4 Tahun 2011 memberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator. Adapun kriteria bagi justice collaborator, sebagai berikut: Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut; Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan, sehingga dapat mengungkap tindak pidana tersebut. Dalam konteks tersebut, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan pidana percobaan bersyarat dan atau pidana penjara paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Adapun keuntungan menjadi justice collaborator yaitu: Seorang saksi pelaku yang bekerjasama memiliki peluang atau kesempatan yang sangat lebar dan menjanjikan mendapatkan vonis ringan dari majelis hakim dibandingkan dengan pelaku yang lain; Justice collaborator dapat mendapatkan remisi atau pemotongan dan pengurangan masa hukuman, pemotongan masa hukuman. Justice collaborator juga bisa mendapatkan pembebasan bersyarat. Tentu hal ini memungkinkan terjadi walaupun pelaku adalah pelaku tindak pidana khusus, dengan catatan pelaku telah menjalani 2/3 masa hukumannya (vide https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6570291/apa-itu-justice-collaborator-status-hukum-yang-bikin-eliezer-divonis-ringan).
Selain Bharada Richard Eliezer deretan nama lain yang telah yang telah menjadi justice collaborator adalah Tommy Sumardi (dalam kasus korupsi Djoko Tjandra pada 2020 silam), Vicentius Amin Sutanto (Kasus pencucian uang pajak yang melibatkan PT Asian Agri), Sugiharto, Irman, dan Andi Agustinus (Kasus korupsi e-KTP mendapatkan pencerahan berkat peran tiga terdakwa yang menjadi justice collaborator), dan Agus Condro (Mantan anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan, menjadi justice collaborator untuk kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004) (vide https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/16/200500465/sederet-orang-yang-pernah-jadi-justice-collaborator-berapa-hukumannya-?page=all).
============
Sumber: Analisa, Selasa, 21 Februari 2023, hlm. 12