POST DATE | 03 Agustus 2017
Kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani, yang artinya kurang lebih adalah 'menggiring orang pada gagasan'. Adapun pengertian iklan secara komprehensif adalah "semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara non-personal yang dibayar oleh sponsor tertentu..."
Secara umum, iklan berwujud penyajian informasi non-personal tentang suatu produk, merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan dengan kompensasi biaya tertentu. Dengan demikian, iklan merupakan suatu proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak pembuat iklan.
Apabila dicermati jenis-jenis iklan (Versi Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia), media; dapat berbentuk surat kabar, majalah, televisi, radio, papan iklan, poster, pos langsung, petunjuk penjualan, selebaran, pengantar penawaran, halaman kuning, alat peraga, novelti, internet, dan sebagainya.
Media massa menyasar khalayak luas, selain lingkungan sektor, industri, profesi atau entitasnya sendiri. Media non-massa menyasar khalayak terbatas di sekitar sektor, industri, profesi atau entitasnya sendiri.
Tujuan iklan adalah menciptakan, mempertahankan atau memperbesar pasar bagi suatu produk. Meskipun ada juga iklan yang melakukannya secara tidak langsung, yakni dengan meningkatkan citra tertentu perusahaan di benak konsumen. Tidak sedikit iklan-iklan yang secara eksplisit menawarkan sebuah produk tetapi hanya menampilkan slogan atau gambar tertentu untuk membentuk persepsi masyarakat tentang perusahaan pembuatnya (Zaim Saidi, 2003: 13).
Sampai saat ini mayoritas orang Indonesia masih rentan dalam menyerap informasi iklan yang menyesatkan. Karena itu sangat riskan kiranya bila tidak diadakan pengawasan yang memadai dan konsumen dibiarkan menimbang-nimbang serta memutuskan sendiri iklan yang pantas untuk dipercaya.
Posisi yang tidak berimbang antara pelaku usaha dan konsumen akan mudah disalahgunakan (machtspositie) oleh pihak yang lebih kuat. Apalagi jika pelaku usaha yang lebih kuat didukung fasilitas yang memungkinkannya bertindak secara bebas.
Namun demikian, perusahaan periklanan harus memperhatikan asas-asas umum periklanan yang sehat, terdiri atas; iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, susila, adat, budaya, suku dan golongan, serta iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat. Atas dasar itu terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan tata krama dan tata cara beriklan.
Misalnya, iklan harus jujur, tidak boleh menyesatkan. Seperti memberikan keterangan tidak benar, mengelabui dan memberikan janji berlebihan. Dalam hal tanggungjawab iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Pengiklan bertangungjawab atas kebenaran informasi tentang produk yang disampaikan kepada perusahaan iklan.
Perusahaan periklanan bertanggungjawab atas ketepatan unsur persuasi yang disampaikannya dalam (pesan) iklan. Selanjutnya, media periklanan bertanggungjawab untuk kesepadanan iklan yang dimuat dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran iklannya.
Dari aspek persaingan usaha iklan dilarang menggunakan kata-kata “ter, paling, nomor satu, satu-satunya” dan yang sejenisnya tanpa menjelaskan dalam hal apa keunggulan yang ada. Secara keseluruhan diharapkan produk iklan yang dihasilkan penuh muatan kreativitas yang menjunjung asas-asas umum kode etik periklanan. Kreativitas iklan yang kompetitif dan sehat tidak lain kreativitas yang berorientasi persuasif (sintuhan yang mendidik) dalam bingkai konsumerisme.
Iklan Sehat atau Antisosial?
Kini, terdapat iklan layanan sosial yang dibuat oleh PT PLN. Sudah lama petinggi PLN mengeluarkan iklan dengan semboyan; “sudah dimatikan barang tu”. Telah pula dipublikasi dibeberapa media. Namun demikian, entah apa yang ada dibenak petinggi PLN terkait dengan jargon “sudah dimatikan barang tu”. Menurut petinggi PLN iklan itu memiliki pesan friendly reminder? Apa iya memang begitu? Iklan memang harus singkat, menarik dan mudah diingat pasar.
Tetapi dalam bahasa iklan tidak boleh menampilkan slogan dengan persepsi yang negatif? Apakah kata ‘barang’ itu identik dengan bola lampu listrik? Ah, kalau itu tafsirannya, maka itu terlalu dangkal dan menyederhanakan masalah. Betapa petinggi PLN tidak memahami suasana psikologis akibat seringnya listrik padam.
Atau sebaliknya, kata ‘barang’ itu bermakna lain, sebagaimana persepsi sesuai dengan adat istiadat masyarakat setempat. Tampilan iklan idak boleh bertentangan norma, etika, sopan santun dan adat istiadat yang ada. Tetapi kesan yang muncul dari iklan itu, menunjukkan PLN tidak dapat membaca suasana kebatinan yang berkembang di masyarakat.
Lalu, apa tafsiran ‘barang’ bagi warga Kota Medan? Tak terlalu sulit menafsirkan maknanya. Kata ‘barang’ adalah bahasa prokem atau gaul yang identik dengan makna tak sopan dan menjurus porno. Secara moral dan etika, tampilan pesan atau iklan PLN itu menyesatkan dan menyesakkan dada.
Atas dasar itu, wajar diminta PLN untuk mencabut iklan itu, karena sangat tidak mendidik dan bertentangan adat kebiasaan masyarakat. Apabila diperlukan, warga dapat mengambil inisiatif untuk menggugat iklan itu melalui pengadilan. Setidaknya, atas dasar itu, kemudian petinggi PLN bakal lebih mampu mengasah nurani yang nampaknya mulai tumpul dan karatan.
Apalagi secara substansi masyarakat sudah tidak tahu menghematkan apalagi listrik lebih banyak padamnya. Bagi masyarakat, gerakan hemat energi tentu tidak sekadar mengurangi atau meminimalkan pemakaian energi BBM saja. tetapi lebih jauh dari itu harus diterjemahkan juga sebagai upaya birokrasi negara untuk “hemat anggaran”.
Karena, kunci persoalan hemat energi justru berasal dari, apakah instansi pemerintah, BUMN dan BUMD telah mengetatkan ikat pinggang dalam memanfaatkan anggaran yang ada. Proses transparansi dan akuntabilitas setiap penggunaan anggaran kepada publik jauh lebih efektif dan ajeg lagi, daripada sekedar kampanye hemat energi yang dapat diduga justru akan bersifat musiman belaka.
Bagi masyarakat akan terasa sangat menyakitkan, bila BUMN atau BUMD, seperti PT. Pertamina, PT. PLN (Persero) atau PDAM yang mengelola komoditas publik justru dalam banyak kasus menggunakan anggaran tidak secara transparan, tidak efektif dan bersifat in-efisiensi.
Lalu, kemudian untuk menutupi borok yang ada, segala bentuk kerugian atas proses pengelolaan perusahaan yang salah urus justru dibebankan kepada masyarakat melalui sektor tarif. Tentu, Inpres Nomor 10 Tahun 2005 dapat efektif dan diikuti masyarakat, jika peraturan itu dapat menjangkau “hemat anggaran” itu.
Selain itu, kampanye hemat energi dapat saja “mati muda”, jika tidak dibarengi dengan upaya pemberian sanksi bagi instansi pemerintah, BUMN dan BUMD yang mengabaikan gerakan hemat energi dan anggaran itu. Sebaliknya memberikan penghargaan atas setiap prestasi hemat energi dan anggaran justru akan memacu setiap orang untuk menggerakkan gerbong hemat itu ke arah yang lebih baik.
Penting juga untuk mengingatkan BUMN penyedia komoditas publik, seperti Pertamina dan PLN, gerakan hemat energi tidak berarti membiarkan ketersediaan pasokan BBM kosong atau merupakan legalisasi bagi kemungkinan dilakukannya pemadaman listrik secara bergilir. Sebab kebijakan seperti itu justru dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat.
Inpres Nomor 10 Tahun 2005 dapat saja seperti ‘menara gading’, yang tak berurat berakar. Manakala gerakan itu tidak menyintuh substansi masalah yang ada, yaitu sikap keteladanan untuk melakukan hemat energi dan hemat anggaran.
Iklan harusnya dalam bingkai ‘tanggung jawab sosial’ (social responsibility). Pada konsep ‘cepat tanggap sosial’ perusahaan meningkatkan kinerja etis, pengangkatan ombudsman (pengawas), sosialisasi kode etik, hingga menjadi bagian tak terpisah dari kultur perusahaan (corporate culture).
Kegiatan itu semua dilakukan lebih dahulu, tanpa menunggu ada aksi protes konsumen atau publik (vide Pasal 7, 8, 9, 10 dan 11 UUPK). Pada dasarnya manajemen konsep ‘tanggung jawab sosial’ mempergunakan manajemen ‘proaktif’. Iklan harus disensor secara internal, apakah memiliki atau melanggar nilai etis?
Jangan sampai ada unsur sosial, adat, agama, kesopanan, rasionalitas dan kecerdasan konsumen dilanggar. Pola manajemen konsep ‘tanggung jawab sosial’ ketidak puasan etis konsumen dicari oleh perusahaan, bahkan telah ada langkah-langkah antisipatif seperti melakukan studi atas agama, filsafat, adat istiadat dan norma-norma kesusilaan dari pasar sasaran (target market) sebelum produk diluncurkan (vide Pasal 4 UUPK).
Konsep ini juga mengajarkan bahwa suara hati (conscience) pelaku bisnis merupakan faktor penting yang amat perlu dikaji sebagai bahan pertimbangan (vide Pasal 7 huruf a UUPK).
Bahkan mestinya petinggi PT PLN, menerapkan konsep ‘pendekatan kebijakan publik’ (public policy approach). Pendekatan konsep ini didasarkan pada penambahan unsur ‘komunikasi dialogis’ dalam konsep ‘tanggung jawab sosial’.
Konsep ini coba menghindarkan agar pelaku bisnis tidak terjatuh pada ‘paternalistik semu’ dalam bisnis, jangan sampai pelaku bisnis menganggap dirinya yang paling tahu ‘apa yang etis’ dan ‘apa yang tidak etis’ bagi pasarnya. Terakhir, apakah iklan “sudah dimatikan barang tu” sehat atau justru sakit, perlu diakhiri. Iklan sehat pasti didukung, sebaliknya iklan antisosial harus disingkirkan.
========
Sumber: Analisa, 31 Maret 2009