post.png
KOTAK_KOSONG.png

Kampanye Kotak Kosong

POST DATE | 10 Oktober 2024

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 ini Komisi Pemilihan Umum mencatat terdapat 37 calon tunggal. Dari 37 daerah ini terdapat calon tunggal untuk pemilihan gubernur (pilgub) berjumlah 1 pasangan, 5 pasang calon wali kota-wakil wali kota dan 31 calon bupati dan wakil bupati (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7571971/apa-itu-kotak-kosong-dalam-pemilu-berikut-pengertian-dan-contohnya).

Angka calon tunggal di Pilkada 2024 ini melonjak dibandingkan pada Pilkada 2020 lalu sebanyak 25 Kabupaten/kota. Pilkada 2018 lalu terdapat calon tunggal di 13 daerah dan sembilan calon tunggal di Pilkada 2017 (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240909090640-617-1142395/fenomena-kotak-kosong-dan-agenda-hegemoni-elite-parpol-pusat).
Dalam proses suksesi kepemimpinan lokal istilah kotak kosong merujuk pada pilihan alternatif di surat suara ketika hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal)/tidak memiliki lawan dalam Pemilu. Pantulannya pada surat suara dinyatakan dalam bentuk kolom kosong tanpa foto
(https://regional.kompas.com/read/2024/09/03/070800878/apa-arti-kotak-kosong-ada-dua-opsi-jika-kotak-kosong-menang-pilkada?page=all).
Walaupun fenomena kotak kosong ini bukan suatu hal yang baru, akan tetapi tetap mengejutkan publik dan memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi. Secara historis, kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada 2015. Ketika itu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015. MK menetapkan Pilkada dengan keberadaan pasangan calon tunggal tetap dianggap sah. MK dalam putusan tersebut, juga memberikan alternatif bagi pemilih dengan menambahkan kotak kosong sebagai pilihan dan semenjak itu kotak kosong menjadi fenomena yang terus berulang di beberapa Pilkada berikutnya, termasuk pada tahun 2017, 2018, dan 2020.

Fenomena kotak kosong dalam pilkada ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, trend kotak kosong berdampak buruk pada masa depan demokrasi di Indonesia karena dengan adanya kotak kosong memperlihatkan minimnya kompetisi dan transparansi dalam Pilkada. Kondisi ini menjadikan publik tidak punya pilihan yang ideal dalam memilih pemimpin di daerah. Selain itu, fenomena ini juga mencerminkan kegagalan sistem demokrasi yang sejatinya menghadirkan pilihan beragam bagi publik dalam Pemilu. Fenomena kotak kosong bukan hanya soal teknis politik, melainkan juga soal masa depan demokrasi.

Kedua, kotak kosong mencerminkan dinamika politik yang kompleks, karena partai-partai besar bersatu dalam satu koalisi sehingga hanya sedikit ruang bagi calon lain untuk maju, parpol besar berkoalisi menguasai perpolitikan di tingkat lokal. Namun di sisi lain juga memperlihatkan keterbatasan parpol dalam mempersiapkan kader-kader partai berkualitas untuk bersaing dalam pilkada.

Parpol juga dianggap enggan untuk mencalonkan figur yang dianggap tidak memiliki peluang menang. Masalah lainnya juga berpengaruhnya hasil pemilu nasional terhadap keputusan parpol di tingkat daerah dengan memilih mendukung calon dengan peluang menang lebih besar (popularitas) dibandingkan dengan mencalonkan kader internalnya (https://www.unand.ac.id/index.php/berita/opini/1101-kotak-kosong-dalam-pilkada-2024-benarkah-tanda-kemunduran-demokrasi.html).

Gerakan Kotak Kosong

Siapa mau punya pemimpin kotak kosong? Bagi sebagian orang, memiliki pemimpin tidak berwujud seperti ini mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya. Meski begitu, publik di beberapa daerah ternyata lebih memilih kotak kosong ketimbang satu-satunya kandidat yang bertarung. Seiring dengan munculnya calon tunggal, muncul pula gerakan-gerakan publik yang tak rela memilih satu-satunya kandidat di surat suara tersebut. Publik seperti menolak tunduk dan memilih satu-satunya calon yang ditawarkan kepadanya.

Banyak ragam gerakan sebagai ekspresi menolak calon tersebut, sebut saja ada yang menyebutnya sebagai Gerakan Kotak Kosong (Gertak), Gerakan Bajukoko (Barisan Juang Kotak Kosong), Gerakan Politik Koko (Kotak Kosong) atau Gerakan Kotak Kosong (Kokos). Yang mesti dipahami gerakan mengusung calon kotak kosong tidak sama dengan golongan putih alias golput. Golput adalah sikap tak memilih pada pilihan surat suara di dalam bilik yang dibatasi area bernama tempat pemungutan suara (TPS).

Sebagian pakar politik berpendapat, gerakan mendukung kotak kosong ini adalah bentuk ketidakpercayaan kepada parpol. Perlu diakui kepercayaan kepada parpol di negeri ini secara statistik memang terus-menerus tergerus. Fenomena calon tunggal muncul dari upaya kooptasi parpol terhadap kandidat yang dianggap memiliki elektabilitas yang tinggi. Mereka seperti ingin mengkapitalisasi popularitas kandidat tersebut demi mengamankan perolehan kursi dan suara.

Bagi gerakan pendukung kotak kosong, langkah parpol tersebut merupakan langkah yang egois dan tidak memenangkan publik. Publik hanya disajikan pilihan sesuai selera mereka tanpa ada alternatif yang baik. Di tengah ketidakpercayaan publik pada parpol, mereka justru memilih jalur calon tunggal. Publik yang jengah dengan kondisi tersebut jelas tidak ingin tunduk begitu saja pada pilihan yang ada (https://www.pinterpolitik.com/in-depth/kotak-kosong/).

Dalam kadar tertentu, gerakan pendukung kotak kosong ini dapat dikategorikan sebagai sebuah perlawanan publik. Ada ekspresi nyata dari publik yang merasa tersingkirkan dari politik oleh elite parpol dengan memilih kotak kosong. Konsep perlawanan publik ini diungkapkan misalnya oleh Sidney Tarrow. Bagi Tarrow perlawanan publik ini akan muncul ketika perasaan ketidakadilan dan frustrasi yang dirasakan publik telah mencapai puncaknya.

Tidak hanya sekadar perlawanan publik, gerakan tersebut juga dapat dianggap sebagai sebuah pembangkangan atau ketidakpatuhan sipil (civil disobedience). Gerakan seperti ini kerap diidentikkan sebagai gerakan penolakan terhadap kondisi tertentu. Untuk dianggap sebagai pembangkangan sipil, beberapa ahli menilai gerakan harus dilakukan tanpa kekerasan.

Kampanye kotak kosong ini dikategorikan sebagai pembangkangan sipil karena publik menolak tunduk kepada kemauan para elite parpol. Memang, di dalam konteks ini tidak ada aturan atau perintah formal yang berasal dari pembuat kebijakan. Meski demikian, sebagai elite parpol tetap dapat dianggap sebagai sasaran dari pembangkangan sipil.

Gerakan para pendukung kotak kosong ini memilih menggunakan jalur nirkekerasan yaitu dengan mengekspresikan diri melalui jalur konstitusional. Tidak ada unsur represi dan koersi (bentuk akomodasi yang dilakukan dengan memaksa pihak lain untuk berperilaku tertentu) dari gerakan para pendukung kotak kosong. Mereka justru mengekspresikan kekecewaan pada parpol dengan tetap pergi ke TPS.

Sekilas, ada unsur efikasi (daya guna) politik dari gerakan tersebut. Mereka masih memercayai suara mereka berarti dan berpengaruh di bilik suara. Karena itu, mereka tidak mengekspresikannya dalam bentuk gerakan golput. Boleh jadi, mereka masih menilai suara mereka berarti secara signifikan sehingga dialihkan suaranya kepada kotak kosong.

Karena itu, banyak pihak berpendapat, siapa saja yang berniat mendorong pemilihan dengan calon tunggal sebaiknya waspada. Hal ini termasuk bagi pemilihan di tingkat pentas nasional. Bukan tidak mungkin ada ketidakpatuhan sipil yang dilakukan publik bagi elite-elite parpol yang pragmatis mendukung calon tunggal (https://www.pinterpolitik.com/in-depth/kotak-kosong/).

Kampanye

Apakah kampanye kotak kosong boleh dilakukan dalam Pilkada? KPU mengizinkan pemilih berkampanye untuk kotak kosong pada Pilkada 2024. Bagi KPU memilih kotak kosong adalah cara publik menentukan pilihan. Yang penting semua dilakukan dengan berpedoman pada aturan (https://grafis.tempo.co/read/3696/aturan-kampanye-kotak-kosong-dalam-pilkada). Kampanye untuk mencoblos kotak kosong merupakan respons publik atas dinamika Pilkada 2024 yang diikuti calon tunggal.

Gerakan memenangkan kotak kosong adalah sebagai bentuk perlawanan elektoral. Ada beberapa daerah yang sudah kampanye kotak kosong misalnya berlangsung di Surabaya, Brebes, Ciamis, Tarakan, Banyumas dan Sukoharjo, serta daerah lainnya. Fenomena soal kotak kosong dalam pemilu tidak dapat dinafikan. Kotak kosong adalah refleksi kritis terhadap daerah dan parpol yang memunculkan paslon tunggal. Pilihan publik untuk mencoblos kotak kosong adalah hak yang tidak bisa diintervensi. Ini bentuk kebebasan berekspresi politik publik (https://pemilu.tempo.co/read/1925756/bolehkah-kampanye-kotak-kosong-di-pilkada-2024-begini-kata-bawaslu-dan-kpu).

Secara normatif pelaksanaan kampanye kotak kosong tidak ada syarat seperti harus mendaftar tim pasangan calon. KPU hanya berpesan gerakan kampanye kotak kosong juga harus menaati aturan berkampanye. Salah satunya tak berkampanye untuk kotak kosong pada masa tenang. Kampanye memenangkan kotak kosong adalah perbuatan legal, sah. Syarat kampanye kotak kosong, pendukung kotak kosong tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye. Mengampanyekan kotak kosong dalam Pilkada 2024 dibolehkan asal tidak difasilitasi oleh negara (https://grafis.tempo.co/read/3696/aturan-kampanye-kotak-kosong-dalam-pilkada).

Apa yang dikampanyekan? Jawabnya cukup beragam, tetapi tujuannya memberikan informasi kepada publik bahwa kotak kosong diakui dan sah adanya. Jumlah suara di kotak kosong pun dihitung sebagai penentu kemenangan. Jika kemudian mencuat kampanye untuk memenangkan kotak kosong sebagaimana memenangkan pasangan calon tunggal, itu pun hendaknya disikapi sebagai bentuk aspirasi.  Meski dapat dimaknai mengampanyekan kotak kosong sama halnya tidak setuju dengan pasangan calon yang ada alias tidak memilih calon tunggal.

Lantas siapa yang dipilih, mengingat kolom kosong (tanpa tanda gambar dan nama calon) yang dicoblos? Jawabnya diserahkan kepada suara nurani saja? Yang jelas, memilih kotak kosong berarti telah menyalurkan menyalurkan aspirasi politiknya, telah menggunakan hak pilihnya. Ini tentu beda dengan ajakan golput  atau tidak menggunakan hak pilih, yang mestinya dihindari (https://poskota.co.id/2024/09/21/kampanye-kotak-kosong?view=all).

============

Sumber: Waspada, Kamis 18 Oktober 2024, hlm. B3



Tag: , , , , ,

Post Terkait

Komentar