post.png
prita_m.jpg

Kasus Prita Mulyasari: Keangkuhan vs Keanggunan

POST DATE | 05 Agustus 2017

Kriminilisasi kasus surat elektronika (email) terbuka Prita Mulyasari (32) cukup menghebohkan jagad hukum, media massa dan pelaku dunia maya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Isnawan mengeritik sikap represif penegak hukum. Isnawan mengatakan Prita adalah ‘korban’ UU ITE yang dipahami berlebihan.

Menurutnya, penegak hukum terlalu berlebihan menyikapi kasus ini. “Ini berkaitan dengan kualitas penegak hukum,” (hukumonline, 4 Juni 2009). Prita sempat ditahan di Lapas Wanita Tangerang, Banten. Selain dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan, Pasal 310 dan 311 KUHP. Prita juga dikenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Banyak yang berpendapat, penahanan Prita adalah bentuk penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan aparat yang main tangkap dan menahannya begitu saja. Prita ditahan gara-gara keluhannya atas pelayanan rumah sakit yang tersebar di milis. Prita menyebarkan email kepada sepuluh orang temannya yang berisi keluhannya terhadap rumah sakit tersebut.

Email tersebut kemudian menyebar luas ke mailing list. Prita keberatan dengan analisis dokter yang menyebutkan dia terkena demam berdarah. Dia merasa ditipu karena dokter kemudian memberikan diagnosis hanya terkena virus udara. Tak hanya itu, menurut Prita dalam emailnya, dokter memberikan berbagai macam suntikan berdosis tinggi. Merasa jengkel, Prita kemudian berniat pindah ke RS lain.

Saat hendak pindah ke RS lainnya, Prita mengajukan komplain karena kesulitan mendapatkan hasil laboratorium medis. Namun demikian, keluhannya kepada RS Omni Internasional itu tidak pernah ditanggapi, sehingga dia mengungkapkan kronologi peristiwa yang menimpanya kepada teman-temannya melalui email dan berharap agar hanya dia saja yang mengalami hal serupa. Respon drama Prita Mulyasari identik dengan model pemasungan kebebasan berpendapat gaya baru berlindung kepada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus lain yang cukup menarik perhatian publik adalah persidangan perkara pencemaran nama baik dengan terdakwa Khoe Seng Seng dan Winny kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (04/6). Agendanya adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Di dalam tuntutannya, Jaksa menuntut Seng Seng dan Winny dengan pidana penjara 1 tahun dan percobaan 2 tahun. Jaksa menilai keduanya terbukti melanggar Pasal 311 KUHP (penghinaan) lantaran telah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi Tbk. 

Jaksa menggunakan yurisprudensi Mahkamah Agung bulan Desember 1976 sebagai dasar untuk menjerat Seng Seng dan Winny. Yurisprudensi itu menegaskan bahwa badan hukum bisa dicemarkan nama baiknya selama orang-orang terdekat dari badan hukum tersebut merasa keberatan, misalnya pemilik dari badan hukum yang bersangkutan keberatan. 

Seng Seng dan Winny adalah pemilik kios di ITC Mangga Dua. Mereka berdua menulis surat pembaca. Isinya mengeluhkan pelayanan Duta Pertiwi selaku pengembang ITC Mangga Dua. Duta Pertiwi dinilai tidak memberi informasi yang benar mengenai status tanah di komplek perbelanjaan tersebut. Surat pembaca dimuat di harian Kompas dan harian Suara Pembaruan.

Duta Pertiwi merespon tindakan Seng Seng dan Winny dengan mengajukan gugatan perdata. Selain itu, anak usaha grup Sinar Mas yang bergerak di bisnis properti ini melaporkan keduanya ke polisi. Dengan berkas terpisah, keduanya didakwa melakukan tindak pidana penistaan atau fitnah secara tertulis (Hukumonline, 4 Juni 2009).

Di luar kasus di atas masih ada perusahaan yang memperkarakan konsumen sendiri. Dengan demikian ‘menghabisi’ konsumen sendiri, bukan hal baru bagi pembelajaran advokasi. Tesco -jaringan supermarket global milik Inggris- menggugat tiga orang warga Thailand. Mereka semata-mata karena ‘berkomentar’ mengenai ekspansi perusahaan itu. Jit Siratranont menghadapi tuntutan pidana, dengan ancaman 2 tahun. Kamol Kamoltrakul dan Nongnat Hanwilai digugat secara perdata dengan nilai masing-masing USD 2.86 juta.

Keangkuhan vs Keanggunan

Sekadar bandingan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Isnawan memberi ilustrasi kalau kasus Prita, sangat kontras dengan kasus Jeff Jarvis. Profesor di Michigan University AS itu pernah menulis surat terbuka yang ditujukan kepada Michell Dell, pendiri Dell Computer. Inti surat itu, Jeff mengeluhkan layanan purna-jual komputer yang mengecewakan. Alih-alih memperkarakan Jeff, Dell Computer malah bertindak sebaliknya, yakni merekrut belasan orang untuk menangani keluhan pelanggan. 

Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Nasser berpendapat sebaiknya RS Omni Internasional menghargai keluhan pasien. “Ketika mendapat kritikan, rumah sakit harus segera berbenah dan memperbaiki pelayanan,” ujarnya. Menurutnya, keluhan yang disampaikan oleh Prita adalah hak pasien yang melekat di dalam dirinya (hukumonline, 4 Juni 2009).

Koordinator Solidaritas Anti-kriminalisasi Pasien Indonesia (SAKPI), Barata Nagaria mengaku begitu prihatin yang mendalam atas kriminalisasi pasien yang dilakukan oleh Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera. Apapun alasan kriminalisasi terhadap pasien tersebut, entah itu (terutama) melalui jalur pencemaran nama baik atau pun alasan lainnya, dipastikan akan menjadi bumerang yang sangat buruk bagi rumah sakit tersebut.

Menurut Barata, pantaskah rumah sakit mengadukan pasiennya, padahal dia mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pasien? Bukanlah jika  keluhan kecil dari Prita jika ditanggapi secara professional, tidak akan menimbulkan keluhan yang lebih besar? Bukankah  respon yang dilakukan oleh pihak RS Omni Internasional bisa merusak citra rumah sakit secara keseluruhan? (hukumonline, 2 Juni 2009).

Aksi membungkam kritik dengan tangan besi dan ‘meminjam hukum’, hanya menodai reputasi perusahaan itu. Karena menggambarkan keserakahan dan kesombongan. ‘Mengkriminalkan’ kelompok kritis, menunjukkan perusahaan harus belajar bertanggungjawab atas tindakannya dan tidak menggeser tanggungjawab tersebut kepada konsumen. Apapun kondisi konsumen, atau menuding pihak lain bertanggungjawab.

Konsumen juga harus lebih berhati-hati dan waspada saat memakai atau mengonsumsi produk tertentu. Sangat mungkin terjadi, begitu menyampaikan keluhan atau ‘curhat’ kepada orang lain atas pelayanan perusahaan, bakal dijerat pidana atau perdata. Pilih produk atau perusahaan yang memiliki perilaku lebih bertanggungjawab terhadap konsumennya. Membungkam opini terbuka baik melalui email, facebook, surat pembaca atau berita, selain memberangus kebebasan pers juga melanggar hak asasi manusia.

Menghilangkan debat bukan cara bijak merebut hati konsumen. Memperkarakan konsumen sendiri adalah tindakan berlebihan yang tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali menjatuhkan reputasi perusahaan itu sendiri? Lambat laun keangkuhan dan kesombongan bakal tenggelam digerus waktu. Terlalu banyak pelajaran tentang kesombongan, keangkuhan atau sifat buruk lain yang tidak perlu diulangi lagi. Demikian pula sebaliknya, begitu banyak kisah keanggunan dalam melayani, dan pantas untuk diteladani.

Memang dalam cerita klasik keangkuhan senantiasa bergulat keras melawan keanggunan. Keangkuhan selalu mencari kambing hitam atas kegagalan pelayanan. Melempar kesalahan dan tanggungjawab kepada pihak lain. Di dalam keanggunan perusahaan selalu mengedepankan keselamatan konsumen, bukannya sibuk menuding sana sini mencari kambing hitam? Pelajaran dari Prita Mulyasari, Khoe Seng Seng dan Winny, Jit Siratranont, Kamol Kamoltrakul dan Nongnat Hanwilai adalah contoh keangkuhan itu.

Sebaliknya pelajaran dari Jeff Jarvi, Profesor di Michigan University Amerika Serikat vs Michell Dell (pendiri Dell Computer) merupakan ilustrasi keanggunan. Mengapa harus memakai baju keangkuhan, kalau wajah yang memancarkan keanggunan justru membuat konsumen ‘bertekuk lutut’? Begitupun, mau pakai keangkuhan atau keanggunan selanjutnya terserah anda...?!

========

Sumber: Analisa, 08 Juni 2009



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar