post.png
kedaulatan_pangan_anak.jpg

Kedaulatan Konsumen Anak Terancam

POST DATE | 04 Agustus 2017

Perkembangan anak yang cenderung memiliki aktivitas tinggi, akan berubah kehilangan aktivitas, baik fisik maupun psikologi ketika larut dalam tayangan TV. Bahkan kemudian berhenti berpikir. Tanpa disadari semakin sedikit waktu yang digunakan untuk bermain bersama teman-teman. Apalagi waktu untuk membaca buku cerita atau lainnya.

Permasalahannya, apakah dampak tersebut akan menggiring pada lingkungan yang semakin miskin intelegensi untuk proses pendewasaan, serta menjauhkan dari kekuatan dan kebiasaan selalu berpikir.

Begitulah, akumulasi masalah yang dihadapi konsumen anak Indonesia sebagai rentetan liberalisasi siaran televeisi masa kini, sebab, nyaris setiap orang tidak peduli pada kepentingan konsumen anak. Ketidak-pedulian pemerintah, masyarakat, orang tua dan lingkungan pada konsumen anak pada saat ini telah berbuah ancaman kedaulatan hak konsumen anak.

Akar persoalan ketidak-pedulian akan hak konsumen anak bersumber dari kontrol dan regulasi negara yang telah mengabaikan keseimbangan kepentingan anak. Dampak iklan televisi pada acara anak-anak misalnya, harus diakui bahwa anak-anak memerlukan perhatian khusus. Anak-anak memiliki kemampuan kurang dibanding orang dewasa untuk sepenuhnya memahami iklan atau teknik persuasif sehingga mereka kurang mampu menilai siarang iklan secara kritis.

Untuk mengefektifkan perlindungan konsumen anak, peran orang tua tidak kalah pentingnya. Orang tua yang bijak, akan membekali dan menuntun anak-anaknya dengan suguhan siaran TV. Ini penting, karena masa kanak-kanak otak dan fungsi tubuh si anak berkembang secara optimal.

Alangkah sayangnya jika ‘input’ yang diberikan mempuyai potensi membahayakan atau merusak nilai-nilai sosialnya. Tetapi, membiarkan ‘tontonan’ anak tanpa ‘tuntunan’ itu berarti  mengabaikan hak anak untuk mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur serta tidak mengelabui.

Dituntut Tanggug Jawab

Logikanya, ketika seseorang sudah memutuskan memiliki anak, maka orang tua dituntut dan harus punya tanggungjawab memberi pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dalam mendidik anak agar tidak konsumtif, orang tua harus mengajak anak untuk mengenali dirinya, siapa orang tuanya, dan apa pekerjaan orang tuanya. Dengan pengenalan identitas keluarga merupakan pengenalan diri sendiri, dan itu berarti akan membuat anak mampu mengidentifikasi dirinya dalam setiap lingkungan pergaulan sosial.

Orang tua tentunya harus menyadari betapa pentingnya pemahaman tentang dunia anak. Pemahaman itu merupakan modal penting dalam menanamkan nilai, norma, serta etika yang kelak akan berguna bagi masa depan anak. Tak kalah penting dari proses penyadaran itu adalah pendekatan diri pada si anak dengan nilai-nilai agama.

Anak bukanlah obyek yang hanya untuk menyenangkan keinginan orang tua. Anak memiiki hak sebagai seorang manusia untuk tumbuh dan berkembang secara baik dan alamiah. Anak memiliki hak didengar pendapat dan keinginannya. Peran orang tua bukan saja sebagai pengarah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik, tetapi termasuk jiwa dan kepribadian anak.

Untuk menghindari anak agar tidak konsumtif, psikologi Leda Purnomo Sigit, menawarkan kiat sederhana, yaitu mengajak anak untuk mengunjungi sanak famili yang kurang beruntung. Ini dilakukan agar anak menyadari dan memahami kehidupan orang lain. Pengenalan kehidupan yang beraneka ragam ini penting bagi anak agar memahami posisinya. Pemahaman itu diharapkan dapat berpengaruh positif pada sikap anak.

Tidak kalah penting adalah ‘peran baik’ yang harus dilakonkan penyelenggara siaran televisi dan pemasang iklan. Kode etik yang telah dibuat dalam bentuk ‘tata krama’ sesungguhnya mengandung kelemahan dalam penegakan dan pengawasannya. Tata krama itu memang bersifat pengaturan diri sendiri (self regulation), berorientasi introspektif, akibatnya tidak efektif dan jadi ‘pajangan’ atau ‘dokumentasi’ mati belaka.

Korban Informasi Bohong

Agustus 2003 yang lalu, PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) melakukan publikasi hasil penelitian yang menyatakan bahwa sejumlah 13 jenis makanan ringan dalam kemasan (snack) yang dibiasa dikonsumsi anak-anak tidak mencantumkan kandungan MSG (monosodium glutame), dan apabila dikonsumsi dalam jumlah tertentu akan mengancam kesehatan anak. Akibat lain dari konsumsi MSG itu adalah dapat menembus plasenta pada saat kehamilan, menembus jaringan penyaring antara darah otak, dan menyusup ke lima organ circum ventricular, dan lain-lain. Yang paling mengkhawatirkan adalah penggunaan MSG itu lebih berisiko terhadap bayi dan anak-anak.

Yang jelas, fenomena makanan-makanan ringan dalam kemasan (snack) yang terindikasi mengandung MSG jelas sangat memprihatinkan, karena yang potensial calon korban adalah anak-anak dan bayi yang tidak berdosa. Dengan demikian sudah sewajarnya hal itu dapat perhatian dari semua pihak yang peduli terhadap kelanjutan generasi ke depan.

Karena, sesungguhnya isu makanan ringan dalam kemasan (snack) tidak steril dan mengancam kesehatan anak-anak bukan isu baru, sebab jauh sebelumnya juga telah disinyalir banyak jajanan anak-anak baik pakai kemasan maupun tidak diproduksi, tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Makanan ringan untuk anak dalam kemasan bukanlah makanan yang dapat dengan mudah diketahui komposisinya, misalnya menyangkut berat bersih, nama perusahaan, nomor pendaftaran, tanggal kadaluarsa. Selain itu, untuk menarik minat anak-anak, banyak pula produsen yang menggunakan hadiah terselubung, padahal pada kemasannya (label) tidak ada informasi yang menjelaskan ada hadiahnya, yang tidak etisnya antara hadiah itu tidak dipisahkan dari makanan.

Selain itu, dalam hal siaran atau publikasi iklan makanan anak-anak telah menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi anak, hingga banyak anak dan orang tua lebih senang membelanjakan uangnya untuk membeli makanan seperti yang diiklan dari pada menambung atau mengkonsumsi makanan yang lebih alamiah.

Dengan demikian, berangkat dari fakta-fakta yang telah ada itu, diminta instansi pemerintah, produsen, media massa dan orang tua untuk lebih memusatkan perhatian terhadap perlindungan konsumen anak, hingga Indonesia tidak sampai kehilangan generasi (lost generation) akibat adanya ‘peran salah’ secara kolektif dari semua pihak.

Korban Produk

Sungguh tragis dan kontroversi. Itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan penderitaan ratusan anak-anak lugu yang masih duduk di bangku pendidikan dasar akibat keracunan pasca meminum salah satu produk susu. Betapa tidak, selain terjadi pada saat jam pelajaran masih berlangsung, anak-anak tidak berdosa itu juga menjadi korban promosi produk yang tidak berkaitan sama sekali dengan penyelenggaraan pendidikan.

Kejadian pahit yang menimpa anak-anak korban eksploitasi produk susu itu sewajarnya dapat perhatian dari semua pihak yang peduli nasib konsumen, khususnya konsumen anak. Sebab, posisi anak sangat potensial sebagai calon korban  eksploitasi. Sementara di sisi lain anak-anak sama sekali belum dapat menjatuhkan pilihan secara rasional tentang baik-buruk mengkonsumsi produk tertentu.

Konsumen anak bukanlah mulut terbuka yang siap menampung apa saja yang diiklankan terhadap mereka. Karena itu, praktek promosi produk susu yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan apalagi pada saat jam pelajaran masih berlangsung, membawa persoalan etis dan legal. Dalam pandangan kepentingan konsumen anak dan penyelenggara pendidikan, adalah sangat tidak etis perusahaan tertentu menggaet pangsa pasarnya dengan mengkesploitasi lembaga pendidikan.

Pada saat bersamaan, semestinya penyelenggara pendidikan pun harus membebaskan (steril) area pendidikan tersebut sebagai lahan iklan produk apapun, konon lagi tidak punya keterkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan itu. Dalam kasus anak-anak keracunan setelah mengkonsumsi produk susu tentu amat disesalkan dan semestinya pihak penyelenggara pendidikan juga harus ikut bertanggungjawab atas insiden itu.

Korban Garam Non-Yodium

Hingga kini kontroversi peredaran garam non-yodium dan ilegal (tanpa label) masih terus berlanjut. Disinyalir garam sebagai bumbu masak yang paling dekat dengan para kaum ibu dan juru masak serta selalu ada di setiap dapur rumah tangga, telah masuk ke kawasan Sumut dalam jumlah sangat besar, yakni sekitar 2.647 ton garam tanpa label dan dipastikan sangat merusak sistem kesehatan tubuh manusia atau mengancam keamanan pangan.

Karena itu perlu sikap tegas pemerintah untuk segera menghentikan produksi, peredaran, perdagangan, dan jika perlu memusnahkan garam non-yodium tersebut. Apalagi kualifikasi garam beryodium dan non-yodium bagi masyarakat awam sangat tidak jelas dan kabur, sehingga sangat beralasan pemerintah harus secara tegas dan konsisten melakukan monitoring labelisasi garam beryodium, termasuk pengumuman berupa public warning terhadap bahaya mengkonsumsi garam non-yodium dan tanpa label.

Semestinya, pemerintah segera mengambil langkah-langkah antisipatif (prevensi) untuk mencegah sejak dini agar jangan sampai garam non-yodium dan ilegal tersebut beredar dan diperdagangkan ke konsumen.

Sebab, garam merupakan kebutuhan yang sangat vital dan pokok bagi masyarakat, hingga perlu ada proteksi dan perhatian khusus dari pemerintah dalam monitoring proses produksi, labelisasi dan peredaran serta perdagangan garam non-yodium, karena mengandung risiko dan mengancam kesehatan masyarakat.

Karena itu instansi pemerintah yang berwenang untuk itu harus berkoordinasi melakukan pengawasan internal terhadap kemungkinan adanya pejabat (oknum aparat) birokrasi yang coba memback-up (melindungi) masuknya garam non-yodium sekaligus memberi sanksi tegas tanpa diskriminasi bagi setiap pelanggar aturan perdagangan garam sebagaimana telah diatur dalam Keppres Nomor 94 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium dan Kepmen Perindustrian Nomor 77 Tahun 1995 tentang Peryaratan Teknis Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beryodium jo Juklak Keppres Nomor 69 Tahun 1994.

Di samping juga menegakkan peraturan lain, semisal PP Nomor 96 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lengkap dengan pelbagai ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Harus mengambil tindakan tegas (baik sanksi pidana/badan dan sanksi administratif) terhadap pelaku usaha yang memproduksi dan mengedarkan garam non-yodium dan ilegal.

Bahaya Mengkonsumsi Garam Non-Yodium

Garam merupakan bumbu masak yang paling dekat dengan kaum ibu dan juru masak serta selalu ada di setiap dapur rumah rumah tangga. Menurut para ahli, mengkonsumsi garam non yodium, apalagi tanpa lebal dipastikan sistem kesehatan tubuh manusia atau mengancam keamanan pangan. Yang jelas sebagai konsumen awam kualifikasi garam beryodium dan non yodium bagi masyarakat awan sangat tidak jelas dan kabur, hingga pemerintah harus secara tegas dan konsisten melakukan monitoring lebalisasi garam beryodium, termasuk pengumuman berupa sistem peringatan dini terhadap bahaya mengkonsumsi garam non yodium.

Yodium adalah unsur kimia seperti halnya kalsium, oksigen, nitrogen dan natrium. Tetapi jumlah yodium dalam tubuh manusia sangat sedikit. Manusia memerlukan yodium untuk membuat hormon tiroid. Hormon tersebut diproduksi oleh kelenjar tiroid yang berada pada bagian depan leher manusia.

Hormon tiroid yang dibentuk, disebarkan melalui darah dan akan mengontrol begitu banyak proses kimia yang berlangsung dalam beberapa bagian tubuh.

Hormon ini sangat esensial untuk pertumbuhan normal dari fungsi otak dan sistem saraf dan juga untuk menjaga suhu badan serta energi.

Beberapa efek penting terhadap kesehatan akibat kekurangan yodium adalah:

  1. Goiter (gondok). Bila kekurangan yodium akan mengakibatkan gondok (membengkaknya kelenjar tiroid) di leher manusia. Gondok dapat mendesak saluran pernafasan dan mengakibatkan sesak nafas, serta dapat juga berpengaruh waktu menelan.
  2. Hipotiroid. Gejala kekurangan yodium dapat mengakibatkan lemban, ngantuk, kulit kering, tak tahan dingin dan konstipasi. Untuk anak kecil dapat pula mengakibatkan pertmbuhan mental. Hipotiroid pada bayi yang baru lahir akan sangat serius, karena keterbelakangan mental yang timbul sangat berat. Keterbelakangan menetal itu bersifat permanen (tak dapat diperbaiki).
  3. Kretin. Kretin ini mengakibatkan keterbelakangan mental yang parah dan permanen. Selain itu, biasanya diikuti dengan tanda-tanda seperti bisu, tuli, cebol, dan kelambatan pertumbuhan dari sistem otot rangka.
  4. Kegagalan reproduksi. Wanita yang mengalami defisiensi yodium yang berat lebih banyak mengalami keguguran, lahir mati dan masalah-masalah kehamilan dan reproduksi dari pada wanita yang cukup yodium.
  5. Kematian masa kanak-kanak. Kekurangan yodium juga dapat membunuh anak-anak. Karena ketahanan mereka terhadap infeksi dan masalah gizi lebih rendah dari yang cukup yodium.
  6. Keterlambatan sosial ekonomi. Kekurangan yodium juga dapat mempengaruhi perkembangan sosial ekonomi masyarakat, baik secara mental maupun lingkungannya seperti hasil peternakan yang menderita sama dengan manusia.

Nah, kalau kedaulatan konsumen anak sudah jelas terancam seperti itu, lalu siap yang harus bertanggungjawab? Tentu kita semua, pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Tetapi lebih penting dari itu adalah harus ada sikap memiliki tanggungjawab (corporate social responsibility).

========

Sumber: Analisa, 09 Juni 2004



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar