post.png
produk_halal.jpg

Kewajiban Produk Bersertifikat Halal

POST DATE | 03 April 2017

Ketentuan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), pada Pasal 4 berbunyi: “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”. Ketetapan itu berimplikasi bahwa semua atau setiap produk (makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika) yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. 

Kewajiban itu telah disahkan dan jangka waktu untuk persiapan pelaksanaan JPH adalah lima tahun, yakni sampai pada 2019. Pemerintah mewajibkan seluruh produk yang beredar di Indonesia harus bersertifikat halal, memiliki label halal dan memang terbukti dalam proses perolehannya, produk tersebut mengikuti proses produksi halal.

Sebelum UU JPH disahkan sebenarnya dalam beberapa peraturan diwajibkan bagi setiap pelaku usaha yang memproduksi produk pangan untuk mencantumkan komposisi yang digunakan dalam proses produksi. Adanya pencantuman komposisi pada kemasan produk, konsumen Muslim dapat mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan yang diharamkan untuk dikonsumsi.

Cerminan adanya kewajiban pencantuman komposisi pada label produk terlihat pada Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa: “Pelaku usaha dilarang memperoduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.”

Pasal 97 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menetapkan bahwa: “Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan.”

Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan bahwa: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.”

Norma yang terdapat pada beberapa ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha seharusnya tahu bahwa dilarang memperdagangkan barang yang tidak mengikuti syariat Islam dan harus bertanggungjawab atas semua/setiap yang diperdagangkan. Tetapi pada kenyataannya masih ditemukan adanya produk dan makanan yang tidak memiliki  sertifikat/label  halal. Produk berlabel halal dimaksudkan  untuk  memberikan  kenyamanan  dan keamanan bagi setiap konsumen yang menggunakan atau mengonsumsi produk dan makanan.

Konsekuensi dari keberadaan aturan terkait pencantuman label sebagaimana tersebut di atas adalah setiap pelaku usaha yang memproduksi produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika berkeharusan untuk mencantumkan tanda yang berisi bahan yang dipakai dan komposisi setiap bahan pada produk.

Informasi terkait komposisi bahan dalam produksi suatu produk dapat dijadikan sebagai media bagi konsumen Muslim untuk mencermati produk tersebut. Jika dalam keterangan tersebut terdapat komposisi yang secara esensi berstatus haram dalam perspektif hukum Islam, maka menjadi keharusan bagi konsumen Muslim untuk tidak mengonsumsinya.

Urgensi ketentuan tanda atau label bagi konsumen Muslim adalah menginformasikan komposisi suatu produk makanan utamanya kepada konsumen Muslim. Dengan demikian, konsumen Muslim dapat mencermati komposisi dari suatu produk yang hendak dikonsumsinya. Pembentukan UU JPH pada prinsipnya hendak melindungi konsumen agar tidak mengonsumsi produk tertentu yang bertentangan dengan keyakinannya.

Oleh itu, setiap pelaku usaha yang memproduksi atau memasukkan ke dalam Wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, wajib mencantumkan label pada kemasan pangan.

Selain berkewajiban mencantumkan label daftar bahan yang digunakan, pelaku usaha juga berkewajiban untuk memberikan keterangan halal pada produk.

Menginformasikan daftar bahan yang digunakan dapat membantu konsumen mengetahui komposisi yang digunakan dalam proses produksi produk, sebelum konsumen memutuskan untuk membeli produk pangan tertentu. Adapun informasi terkait keterangan halal dimaksudkan agar konsumen Muslim mengetahui status kehalalan produk yang akan dikonsumsi.

Menurut norma Pasal 4 UU JPH, pencantuman keterangan halal pada label pangan adalah bersifat wajib. Norma sebelum UU JPH bahwa ketentuan wajib bersertifikat halal bagi pelaku usaha, hanya apabila pelaku usaha yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke dalam Wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, hendak menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi Umat Islam.

Norma yang ada dalam UU JPH telah menggeser norma hukum “lama” menuju hukum “baru”.  Sebelumnya ada paradigma bahwa sertifikasi halal adalah bersifat sukarela (voluntary). Sertifikasi halal hanya membutuhkan kesadaran pelaku usaha, sementara lembaga yang memproses bersifat pasif dan bukan merupakan kewajiban mengikat. Tetapi, model sukarela telah bergeser pasca-berlakunya UU JPH.

Pergeseran paradigma telah terjadi. model sukarela (voluntary) ini, jika masih dipertahankan, banyak pihak menjadi korban pelanggaran norma  pelaku  usaha,  terutama  konsumen.  Banyak bukti menunjukkan rerata pelaku usaha cenderung melakukan pelanggaran, utamanya dalam menggunakan bahan campuran makanan (misalnya bahan pengawet, pewarna, ramuan, dan penyedap rasa). Hal ini merupakan pengingkaran pelaku usaha terhadap norma hukum tentang produk halal yang ada meskipun masih bersifat parsial.

Paradigma lain adalah sertifikasi halal bersifat wajib (mandatory). UU JPH melakukan perbuatan hukum ijtihadi  dengan  cara membuat konstruksi hukum bahwa sertifikasi produk itu bersifat wajib. Konsekuensinya bahwa hukum wahib bersertifikat halal harus memiliki satu landasan baru.

Sifat wajib (mandatory) bersertifikat halal berari UU JPH telah terlepas dari asas-asas dan  doktrin-doktrin  moral  yang  menjadi  penyangganya asas sukarela.  

Untuk  maksud  ini, UU JPH telah meletakkan kaidah baru sebagai dasar baru bagi hukum wajibnya sertifikasi produk. Namun demikian, sebelum kewajiban bersertifikat halal diberlakukan, maka jenis-jenis produk yang wajib bersertifikat halal diatur secara bertahap melalui Peraturan Pemerintah (vide Pasal 11 UU JPH).

Untuk produk asal hewan yang wajib bersertifikat halal sebagaimana telah diatur pada peraturan sebelumnya, maka sifat pengaturan sertifikasi halalnya adalah tetap “wajib” (mandatory).

Achmad Syalaby Ichsan (2014) menyebut bahwa kekuatan utama UU JPH yaitu adanya sifat mandatory (diwajibkan) bagi semua pelaku usaha di negeri ini untuk menjelaskan status produknya lewat sertifikasi dan labelisasi.

 

==============================

Waspada. Kamis, 16 April 2015



Tag: Halal, Produk

Post Terkait

Komentar