post.png
pantauan_persidangan.jpg

Kewenangan Pemantauan Persidangan 

POST DATE | 28 April 2017

Jika ada perkara di pengadilan yang menarik perhatian publik seperti persidangan Jessica Kumala Wongso atau Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) atau kasus lainnya, seringkali muncul pertanyaan mengenai peran Komisi Yudisial dalam proses persidangan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini berdasarkan kewenangan yang ada Komisi Yudisial memiliki otoritas melakukan pengawalan berupa pemantauan sekaligus melakukan advokasi hukum kepada para hakim. 

Pemantauan dilakukan terhadap proses persidangan sekaligus perilaku majelis hakim dalam memimpin persidangan atau apapun yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Pengawalan persidangan titik beratnya adalah pada perilaku hakim sebagai objek yang diawasi.

Pemantauan persidangan (trial monitoring) adalah salah satu bagian penting dalam proses pengawasan perilaku hakim di pengadilan. Dari sisi Komisi Yudisial  pemantauan persidangan ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tugas Komisi Yudisial dalam melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Nomor 18 Tahun 2011. 

Ketentuan Pasal 20 ayat (1) menegaskan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim dapat juga disertai dengan laporan dari masyarakat terhadap pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).

Komisi Yudisial dapat melakukan verifikasi, klarifikasi dan investigasi dari laporan masyarakat agar dapat memutus benar atau tidaknya laporan masyarakat tersebut secara obyektif. Dengan demikian, Komisi Yudisial dapat mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang atau badan yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. 

Laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim memiliki peran yang sangat penting karena kerap kali masyarakatlah yang berinteraksi langsung dengan hakim ketika berperkara di pengadilan. Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat memperoleh informasi mengenai dugaan pelanggaran perilaku hakim dari surat kabar atau media massa.

Dalam proses pemantauan di ruang sidang petugas pemantauan menggunakan alat seperti kamera dan alat perekam yang di pasang terlebih dahulu di ruang sidang tempat sidang yang sudah dijadwalkan oleh pihak pengadilan. Hal ini bertujuan agar pemantau lebih mudah menganalisis hasil persidangan yang dilakukan oleh hakim yang dipantau langsung saat bersidang di pengadilan.

Dalam hal melaksanakan pengawasan pemantau terbuka, pemantau melaporkan kepada ketua pengadilan tempat pemantauan agar tidak terjadi salah pengertian antara hakim dengan pemantau yang berpotensi menghambat jalannya persidangan dan pemantauan.

Pemantauan persidangan dilakukan dengan cara memantau, mengamati dan mencatat proses persidangan, melakukan wawancara dan mendapatkan dokumen-dokumen persidangan. Kegiatan ini dilakukan untuk menilai tentang bagaimana pengadilan mengikuti standar-standar peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), dan memberikan suatu analisis tentang proses pengadilan yang sesuai dengan hukum beracara.

Pemantuan dan pengawasan perilaku hakim diperlukan karena fakta yang terungkap bahwa belum sepenuhya hakim menerapkan hukum acara di persidangan, ada ketidakseimbangan kompetensi hakim dalam menanganai perkara khusus, integritas hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, serta dukungan pengadilan sebagai institusi yang belum maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna pengadilan (Kiprah 10 Tahun KY, 2010). 

Dengan kata lain, pengalaman menunjukkan praktik peradilan berpotensi merugikan para pencari keadilan baik berdasarkan proses beracara, sikap hakim, maupun rekam jejak para pihak dalam menangani suatu perkara. Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan terhadap perilaku hakim tersebut agar sesuai dengan perilaku hakim yang sebenarnya, yakni sebagai wakil tuhan. 

Pemantauan pengadilan akan membantu proses peradilan, khususnya dalam pencapaian keadilan para korban, dan menyediakan laporan dan rekomendasi yang komprehensif bagi para penegak hukum dan sebagai landasan untuk mendorong reformasi sistem peradilan yakni terwujudnya peradilan bersih dan berwibawa.

Secara lebih khusus pemantauan persidangan dan pengawasan perilaku hakim ditujukan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Panduan Komisi Yudisial dalam pemantauan dan pengawasan perilaku hakim berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung (Pasal 19A UU Nomor 18 Tahun 2011). 

Sebagai tindak lanjut atau derivasi yang muncul dari panduan dimaksud adalah adanya Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 atau 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (sering disebut sebagai Peraturan Bersama/Perba MA dan KY). Menurut norma Perba perilaku hakim dimaknai sebagai sikap, ucapan, dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim dalam kapasitas pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja termasuk perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas profesi (Pasal 1 angka 5 Peraturan Bersama MA dan KY 2012).

Memang Peraturan Bersama MA dan KY ini tidak menjelaskan secara rinci apakah perilaku hakim dalam ketentuan ini termasuk pula perilakunya dalam menjatuhkan putusan suatu perkara yang diperiksanya. Namun yang jelas dinyatakan adalah perilaku hakim ini termasuk perbuatan atau etika tingkah laku yang dilakukan hakim pada waktu melaksanakan tugas profesi.

Berkaitan dengan kewenangn Komisi Yudisial dalam pengawasan perilaku hakim dalam proses pemantauan pada prinsipnya dapat ditegaskan, prosesi persidangan sampai dengan putusan hakim tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Jika menyangkut prosesi persidangan dan putusan itu bertaut kelindan dengan independensi atau kemerdekaan hakim dan lembaga peradilan. 

Dasar hukum kemerdekaan hakim dijamin melalui UUD 1945 Pasal 24 Ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara. 

Sekali lagi disampaikan dalam proses pemantauan maupun pengawasan perilaku profesional hakim, Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang dalam mengintervensi isi putusan seorang hakim. Hal ini berkaitan dengan prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.

Merujuk pada Pasal 15 Peraturan Bersama MA-KY Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan jika berkaitan dengan pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim, maka itu masuk dalam ranah teknis yudisial yang tidak boleh dimasuki dalam penegakan kode etik. 

Bahkan dalam rangka menjaga kemandirian dan kondusifitas persidangan juga, maka apapun temuannya akan diproses setelah seluruh perkara selesai, agar KY juga tdk justru melakukan intervensi serupa.  Memperlakukan persidangan agar benar menjadi sidang yang fair trial tidak mudah, sehingga perhatian apapun terhadapnya (baik berupa mengawasi atau mengadvokasi) benar-benar harus terukur dan dilakukan sesuai dengan kepatutan.

 

Syarat Pemantauan

Untuk melakukan proses pemantauan atau pengawasan perilaku hakim di persidangan ada tiga syarat utama sebagai bahan untuk mempertimbangkan pemantauan, antara lain:

Pertama, laporan dan atau informasi perkara yang terkait dengan hak negara atas kebebasan informasi dan keadilan khususnya menyangkut diri para pencari keadilan, (pihak yang berperkara).

Kedua, menyangkut kepentingan banyak pihak atau bersentuhan dengan masyarakat yang menjadi korban atau yang dirugikan dengan adanya perkara tersebut.

Ketiga, memiliki nilai yang cukup besar dari segi ekonomis yang memberi dampak pada kerugian negara, menyangkut isu politis yang berpotensi akan mengesampingkan nilai-nilai hukum dan keadilan.

Metode pemantauan persidangan dapat dilakukan dengan cara: Pertama, pemantauan terbuka. Kedua, mendatangi secara langsung lokasi penyelengaraan proses peradilan dengan melakukan observasi (pengamatan langsung) dan/atau interview (wawancara). Ketiga, mengumpulkan data sekunder, seperti materi-materi tertulis, bahan-bahan atau informasi lain yang berkaitan dengan objek pantauan. Keempat, menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat terhadap kejadian, peristiwa yang berkaitan dengan pelanggaran/kecurangan dalam proses kegiatan pemantauan. Kelima, melakukan pengecekan ulang terhadap informasi yang perlu diverifikasi (Posko Pemantauan Peradilan, 2012).

Ruang lingkup pengaduan dapat dilihat bilamana suatu penyimpangan dilakukan oleh hakim, apakah penyimpangan itu dilakukan di dalam persidangan atau di luar persidangan. Objek pengaduan dilihat dari tiga hal yakni: Pertama, penyimpangan formil yakni penyimpangan yang melanggar ketentuan Hukum Acara di persidangan atau ketentuan prosedural yang diatur oleh perundang-undangan lainnya. Kedua, penyimpangan materiil yakni penyimpangan yang melanggar ketentuan hukum substantifnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), atau substansi perundang-undangan lainnya. Ketiga, penyimpangan terhadap kode etik dan perilaku hakim yang telah di susun oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung (Lalu Piringadi, 2016).

Semua terkait dengan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dilakukan oleh hakim baik di luar sidang maupun di dalam persidangan, apakah hakim sudah melaksanakan hukum sesuai dengan ketentuan atau sebaliknya.

Pelanggaran formil yang dilakukan oleh hakim adalah pelanggaran-pelanggaran hukum acara seperti melanggar asas dan norma hukum acara seperti yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan pelanggaran hukum formil yang diatur peraturan perundang-undangan.

Penyimpangan materiil adalah penyimpangan yang dilakukan oleh hakim saat menentukan putusan yang berbeda dengan fakta hukum yang terjadi saat persidangan seperti penggunaan hukum yang di gunakan oleh hakim yang sangat jauh berbeda dengan dengan fakta hukum yang dilakukan saat persidangan inilah yang kemudian putusannya di eksaminasi.

Penyimpangan terhadap kode etik yang dialakukan oleh hakim di dalam ruang sidang meliputi perilaku yang tidak pada tempatnya termasuk perlakuan dan pertimbangan hakim terhadap advokat pembela, saksi dan yang terlibat dalam persidangan, dalam mendengarkan kesaksian, maupun pembelaan. 

Seperti halnya perilaku secara fisik yang tidak pada tempatnya atau tidak dapat memimpin sidang dengan baik. Contohnya adalah membuat komentar yang bersifat rasial terhadap ras, suku, agama dan jenis kelamin serta tidur dalam persidangan atau mabuk. Akibat perilaku yang demikian, hakim dapat dikenakan teguran berperilaku yang tidak terhormat dan bermartabat dalam proses persidangan (Titik Triwulan Tutik, 2007).

Penyimpangan kode etik di luar persidangan meliputi penyalahgunaan kewenangan sebagai aparatur sipil/pegawai negeri, penyalahgunaan barang milik negara atau keuangan negara, perkataan atau pergaualan yang tidak pada tempatnya. 

Selanjutnya penyalahgunaan wewenang yang memengaruhi jalannya proses pengadilan, melakukan korupsi, menggunakan kedudukan untuk mengumpulkan dana, menerima suap, menjanjikan atau menerima sesuatu yang berkaitan dengan perkara. 

Intinya pemantauan persidangan adalah untuk mencegah adanya penyimpangan terhadap kode etik perilaku hakim. Etika perilaku seorang hakim merupakaan sikap dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat.

Panduan adanya penyimpangan terhadap kode etik perlaku hakim adalah norma yang telah dibuat oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai pedoman hakim dalam melaksanakan tugasnya. Pemantauan persidangan dan pengawasan perilaku hakim dimaksud tanpa menghalangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Atas kemungkinan adanya dugaan pelangan kode etik hakim, berdasarkan Pasal 22A ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011, Komisi Yudisial dalam melakukan pemantauan dan pengawasan perilaku hakim dapat: melakukan verifikasi terhadap laporan; melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran; melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang di duga melanggar pedoman kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim untuk kepentingan pemeriksaan; melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari saksi; dan menyimpulkan hasil pemeriksaan.

Pasal 22A tersebut bertujuan jika ditemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh hakim, dapat di perbaiki dan yang terpenting jangan sampai terulang kembali demi terjaganya integritas hakim di Indonesia.

Wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan pelaksanaan wewenang yang tidak dapat dilepaskan dari kedudukan Komisi Yudisial sebagai badan yang tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, dalam proses peradilan maupun putusan atau penetapan pengadilan.

 

*Penulis adalah Komisioner Komisi Yudisial



Tag: Pemantauan, Persidangan, Wewenang, Komisi yudisial

Post Terkait

Komentar