POST DATE | 01 Agustus 2017
Rendahnya kualitas layanan maskapai nasional merupakan fenomena keseharian. Ambil contoh, keterlambatan jadwal penerbangan (delay), kehilangan bagasi, ketidakjelasan informasi penerbangan, buruknya pelayanan informasi, dan ketiadaan kepastian keberangkatan yang kerap menimpa para penumpang dalam negeri.
Ironisnya, berbagai perilaku buruk maskapai itu--yang sejatinya merupakan "pemerkosaan" terhadap hak-hak konsumen (penumpang)--selalu menjadikan penumpang sebagai pecundang. Sebab, selain tidak ada sanksi yang tegas untuk perusahaan maskapai, kompensasi yang diberikan kepada penumpang sangat tidak setimpal.
Sebagai contoh, jika penumpang terlambat check-in, maka tiket dinyatakan hangus. Konsumen kerap menjadi pihak yang lemah bila berurusan dengan perusahaan, terutama maskapai penerbangan. Belum lagi soal pemberian kompensasi kepada penumpang pesawat udara jika terjadi keterlambatan keberangkatan, ini terlalu ringan. Wacana pemberian kompensasi kepada penumpang jika ada keterlambatan berangkat terlalu ringan dan tak sebanding dengan sanksi yang mereka terapkan selama ini pada penumpang yang terlambat check-in.
Padahal, jika penumpang terlambat check-in sekitar lima menit dari batas waktu yang ditentukan maka tiket dianggap tidak berlaku atau si penumpang menambah sejumlah uang untuk bisa diberangkatkan pada penerbangan berikutnya. Tetapi jika maskapai penerbangan melakukan keterlambatan keberangkatan puluhan menit hingga satu jam maka hanya mendapatkan kompensasi pemberian makanan ringan. Inikan namanya tidak adil, kalau hanya makanan ringan atau makanan berat kiranya penumpang masih mampu untuk membelinya di bandara.
Selain itu angkutan pesawat udara bukan seperti angkutan darat ataupun laut karena yang dijual operator penerbangan adalah waktu sesuai jadwal yang sebelumnya telah disepakati dengan konsumen. Untuk itu jika terjadi keterlambatan keberangkatan maka operator penerbangan harus memberi potongan harga tiket mulai dari 10-50 persen kepada penumpang dan jadi pelajaran disiplin waktu pada mereka.
Pemberian kompensasi itu berlaku jika keterlambatan terjadi akibat faktor internal seperti masalah gangguan teknis, namun jika disebabkan faktor eksternal seperti cuaca buruk maka pemberian kompensasi tidak berlaku. Kompensasi yang akan diterapkan pada revisi peraturan menteri itu antara lain pemberian makanan ringan dengan keterlambatan di atas 30 menit, kemudian makanan berat dengan keterlambatan 90 menit lebih, dan pemberian akomodasi jika keterlambatan terjadi 180 menit lebih dengan catatan tidak ada penerbangan berikutnya. Itupun sampai sekarang belum terlaksana secara efektif.
Sebenarnya, tanpa harus ada peraturan menteri sebenarnya kompensasi tersebut dalam konteks kompetisi pelayanan mutlak harus dilakukan.
Perusahaan memang harus melakukan itu untuk dapat bersaing apalagi kompetitor saat ini maskapai penerbangan asing yang dalam hal pelayanan sudah sangat bagus. Karena itu, bila ingin bersaing dengan maskapai asing, baik pemerintah maupun maskapai lokal harus bahu membahu untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap konsumen dalam negeri. Karena, sebenarnya, hanya orang-orang Indonesia yang bisa mengetahui selera konsumen lokal. Persoalannya, yang sering terjadi sebaliknya?
Seringkali dalam praktek layanan di maskapai penerbangan, ketika muncul persoalan pihak yang senantiasa disalahkan adalah konsumen. Dalam hal kehilangan barang misalnya, operator selalu berpatokan segenap kerugian atau kehilangan barang bagasi akan dikonversi dengan penggantian senilai Rp.20 ribu perkilogram dengan melalui prosedur yang cukup lama. Padahal tidak sedikit barang milik konsumen yang tidak bisa dinilai dengan materi karena terkait dengan nilai histories.
Seringkali kelalaian ini tidak mutlak akibat konsumen, namun juga akibat tercecer atau longgarnya operator dalam mengangkut atau mengawasi barang milik konsumen tersebut. Lalu, kalau misalnya tidak ada pertanggungjawaban atas kerugian konsumen oleh maskapai penerbangan, apa yang harus diperbuat konsumen? Karena, apakah adil ijazah sebagai dokumen penting dan sangat berharga itu dapat diganti begitu saja dengan nilai Rp. 20 ribu perkilogram. Sampai kini Kementerian Perhubungan dan instansi teknis lain nampaknya belum mau repot untuk urusan ’kecil’ seperti itu.
Menyangkut kecelakan pesawat terbang bisa terjadi di mana dan kapan saja, baik di negara maju maupun di negara miskin. Selain karena faktor teknis, kondisi pesawat dan alam, faktor non teknis (human error) dan tata kelola juga turut andil besar terjadinya kecelakan itu. Tetapi dalam beberapa cuplikan kasus itu, yang ingin dikemukakan, itulah situasi objektif pada dunia penerbangan Indonesia saat ini. Situasi yang dalam banyak hal bertentangan dengan tuntutan keselamatan dan standar penerbangan sesuai kesepakatan internasional.
Lalu, dalam hal terjadi tragedi atau musibah kecelakaan pesawat terbang bagaimana sesungguhnya tanggungjawab maskapai penerbangan? Tragedi memang sebuah insiden. Kecelakaan tidak pernah diharapkan siapapun. Tetapi tidak berarti maskapai penerbangan tidak harus bertanggungjawab. Ganti rugi merupakan bentuk tanggungjawab maskapai baik secara hukum maupun moral atas suatu kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Kehilangan suatu keuntungan atau rusak atau harta benda milik penumpang pantas mendapat ganti rugi.
Ganti rugi dalam setiap kecelakaan harus mencakup dua hal, yaitu kerugian bersifat materil dan immateril. Secara materil maskapai dibebani tanggungjawab untuk memberikan ganti rugi terhadap seluruh kerugian baik berupa cost maupun potensial lost yang mungkin timbul. Ganti rugi berupa cost dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan penumpang selama penerbangan berlangsung. Misalnya berupa tiket, harta benda milik korban yang melekat/dibawa.
Selanjutnya kerugian bersifat potensial lost dapat berupa keuntungan atau pendapatan yang harusnya didapat jika tidak ada peristiwa kecelakaan itu. Masalah lain yang wajib diselesaikan adalah menyangkut masa depan keluarga yang ditinggalkan jika korban merupakan sandaran hidup/tulang punggung pencari nafkah. Bagaimana kelangsungan pendidikan anak-anaknya sampai dewasa tentu harus mendapat penanganan yang memadai dari maskapai penerbangan.
Kini muncul Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 77 Tahun 2011 tentang Asuransi, Delay, Kehilangan Bagasi dan Kecelakaan baru diteken 8 Agustus 2011 lalu. Peraturan ini melengkapi peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Memang aturan ini tidak menggugurkan dengan serta merta aturan KM 25 Tahun 2008 tentang pemberian kompensasi bila pesawat mengalami keterlambatan atau delay.
Kalau telat di bawah 4 jam ada KM 25 (vide KM 25 Tahun 2008), maka itu merupakan kompensasi, harus menyediakan snack, makan, penginapan. Peraturan menteri ini tidak menghilangkan kewajiban itu, mengganti kerugian berupa mengalihkan penerbangan dan memberikan konsumsi akomodasi apabila tidak ada penerbangan ke tempat tujuan.
Bila pesawat delay lebih dari 4 jam, selain kompensasi, dalam Permenhub ini, penumpang juga berhak diberikan ganti rugi Rp300 ribu. Bambang S Ervan (detikcom, Kamis (25/8/2011), Permenhub ini memakai ukuran delay selama 4 jam, karena memang dasar itu adalah 4 jam, pemikiran dan hasil analisis bahwa untuk 4 jam itu sebagai batas keterlambatan, dengan jarak tempuh pesawat ada yang 1 jam, ada yang 2 jam.
Kalau delay di bawah 4 jam ada KM 25, harus menyediakan snack, makan, penginapan. Peraturan menteri ini tidak menghilangkan kewajiban itu, mengganti kerugian berupa mengalihkan penerbangan dan memberikan konsumsi akomodasi apabila tidak ada penerbangan ke tempat tujuan.
Karena ada ketentuan tidak terangkutnya itu, KM sebelumnya maskapai wajib mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan, memberikan konsumsi, akomodasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. Keterlambatan ditolerir kalau lebih dari 4 jam dia tetap harus mengganti Rp300 ribu. Untuk penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang berhubungan dengan pengangkutan udara, maskapai wajib memberikan kompensasi sebesar Rp1,25 miliar.
Penumpang yang cacat total dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan juga diberi ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Kompensasi delay untuk penumpang pesawat secara tidak langsung dibiayai penumpang sendiri. "Asuransi delay itu sebenarnya dibayar perusahaan penerbangan. Biayanya dibagi rata ke semua tarif perjalanan pesawat," kata Kabag Hukum Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Isratful, (Jurnas.com, Rabu, 24/8).
Selain itu untuk penumpang yang bagasinya hilang diberikan ganti rugi sebesar Rp200 ribu per kilogram dan paling banyak sebesar Rp4 juta per penumpang.
Sedangkan untuk kargo yang hilang, pengangkut wajib memberikan ganti rugi sebesar Rp100.000 per kilogram. Adapun untuk kargo yang rusak wajib diberikan ganti rugi sebesar Rp50.000 per kilogram. Untuk asuransi kecelakaan biasa, untuk delay, serta untuk bagasi juga ada. Semuanya wajib dilakukan oleh semua operator maskapai", katanya.
Peraturan ini akan diberlakukan tiga bulan setelah tanggal penandatanganan yakni pada bulan November 2011. "Berlakunya 3 bulan lagi jadi mulai November nanti, masyarakat bisa menggugat ke pengadilan kalau maskapai tidak berikan kompensasi, kalau dari kita sanksinya administratif," kata juru bicara Kementerian Perhubungan Bambang S Ervan.
Sanksi yang diberikan berupa peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dan apabila peringatan tidak diindahkan akan dilakukan pembekuan izin usaha dalam jangka waktu 14 hari.
========
Sumber: Analisa, 3-01-2012