... konsumen berhak mendapatkan kompensasi (rugi) sebesar 10 persen dari biaya beban apabila terjadi pemadaman dan/atau salah catat meteran ganti
Pemadaman listrik secara bergilir di wilayah Sumatera Bagian Utara terus terjadi. Malahan sudah abadi sejak tahun 2005 lalu. Telah banyak kerugian yang diderita masyarakat. Banyak rumah tangga, usaha perhotelan, pelayanan perkantoran, maupun aktivitas industri harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli lilin, minyak tanah, genset dan pasokan bahan bakar. Tentu hal ini menimbulkan masalah tersendiri.
Ongkos rumah tangga membengkak, defisit karena biaya insidentil. Bahkan beberapa keluarga harus mengurangi jatah kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Keuntungan perusahaan berkurang, karena tersedot biaya produksi. Pastinya adalah biaya industri pun melesat, karena mesti mengeluarkan biaya operasional di luar kebiasaan.
Banyak yang berpotensi melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi mengurangi anggaran belanja perusahaan, jumlah pengangguran pun meningkat. Secara ekonomi dampak pemadaman listrik bergilir adalah industri dan pelanggan telah mengalami kerugian puluhan miliar rupiah. Tingkat kerugian tentu akan berbeda-beda.
Kalau mau tetap berproduksi, mulai dari Usaha Kecil Menengah, hotel, restoran, apartemen, gedung perkantoran, sampai pusat perbelanjaan dan pabrik, mereka yang mampu, mau tidak mau mesti menggunakan genset sendiri.
Lalu, berapa ongkos yang telah dikeluarkan untuk menyalakan genset itu. Siapa yang akan menanggungnya. Praktisnya bagi kalangan industri cara paling mudah adalah menaikkan harga dengan cara membebankan kepada konsumen. Atau industri bakal mengurangi produksi, malahan berpotensi mengurangi kualitas produksi?
Kalau dilihat dari investasi, maka ekses pemadaman bergilir adalah pelayanan publik dan sector industri terganggu akibat pemadaman bergilir. Tragis memang, karena pada satu sisi pemerintah ingin menarik investasi, tapi infrastrukturnya tidak disiapkan. Sederhana saja, kalau begini terus situasinya mana ada investor yang datang?
Aturan Kompensasi
Pemadaman bergilir dan eksesnya terjadi karena secara umum PLN tidak menerapkan asas-asas umum Pemerintahan dan Korporasi yang baik dalam menyelenggarakan Pelayanan Publik (Konsideran Menimbang UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) termasuk dalam menjalankan tugas Penguasaan dan Pengusahaan Ketenagalistrikan yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat (Bab III UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan).
Penguasaan dan pengusahaan ketenagalistrikan yang diberitugaskan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah dan PT PLN Persero tidak terselenggara secara proporsional, efisien serta memberikan ketauladanan bagi masyarakat (Inpres No. 13 Tahun 2011).
Jika merujuk ketentuan Pasal 29 UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Konsumen listrik berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik; terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; dengan harga yang wajar; perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik, dan mendapat “ganti rugi apabila terjadi pemadaman”.
Secara teknis hukum sebenarnya pemerintah telah berusaha melindungi konsumen listrik. Perlindungan itu adalah melalui “standarisasi” layanan PLN dengan indikator bernama Tingkat Mutu Layanan PLN (TMP). Ditjen LPE memberi mandat, agar PLN secara deklaratif menyampaikan “13 indikator” sebagai implementasi TMP. Ada 3 (tiga) indikator (kesalahan baca meter, lamanya gangguan dan jumlah gangguan) dikenakan penalti, jika PLN melanggar batas maksimum yang ditentukannya sendiri.
Menurut norma Keppres No. 104 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM No. 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) berbunyi; “apabila standar mutu pelayanan pada suatu sistem kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khususnya yang berkaitan dengan lama gangguan, jumlah gangguan, dan atau kesalahan pembacaan meter tidak dapat dipenuhi, maka Perusahaan (PT PLN) wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan, yang diperhitungkan dalam tagihan listrik pada bulan berikutnya”.
Sesungguhnya penetapan hukum seperti itu tergolong sebagai upaya mengikat PLN agar terdorong terus menerus melakukan perbaikan. Sebaliknya bagi konsumen ada pijakan norma untuk menuntut hak akibat adanya pelanggaran kontrak. Harus dipahamkan ganti rugi menurut norma itu bukan soal nominal atau besaran ganti ruginya. Tetapi berfungsi sebagai tanda PT PLN harus bertanggungjawab atas perbuatan buruknya.
Dalam kasus yang merugikan konsumen listrik, PT PLN mestinya merealisasikan Keppres No. 104 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM No. 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) jo SK Dirjen LPE No. 114 Tahun 2002 yang menetapkan konsumen berhak mendapatkan kompensasi (ganti rugi) sebesar 10% dari biaya beban apabila terjadi pemadaman dan/atau salah catat meteran (terlepas dari nominal penalti).
Terlepas dari implementasi norma tanggung jawab produk, sebenarnya aturan kompensasi sebesar 10 persen dari biaya abonemen, sudah tidak memadai, tidak relevan. Karena, misalnya, abonemen bagi konsumen pengguna 450 volt adalah sebesar Rp15 ribu. Kalau ada kompensasi, konsumen hanya mendapatkan Rp1.500? Sangat minimal dan terkesan basa basi.
Kalau mau jujur dan adil, masalah mendasar bukan soal kompensasi. Berapa pun jumlah kompensasi tidak sebanding dengan kerugian yang dialami konsumen, terutama sektor industri, pendidikan dan pelayanan publik.
Masalah utama terkait kompensasi adalah informasi tentang keberadaan tingkat mutu pelayanan (TMP) itu tidak disampaikan kepada publik (nirinformasi). Sangat terasa nuansa relasi konsumen-PLN berwarna diskriminasi kewajiban. Sebab informasi yang ada disembunyikan. Ditutup rapat agar penegakan kewajiban dapat terus diabaikan PLN. Jalan keluar untuk itu adalah paksa PT PLN membuat formulasi baru kompensasi, lalu laksanakan! Pemadaman nan akut tanpa ganti rugi, seperti habis makan tak cuci tangan.
=========
Sumber: Waspada, 28 Agustus 2014
Tag:
,
,
,