POST DATE | 17 Juli 2017
Menurut Hondius perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis. Disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Seterusnya beliau mengemukakan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Pasal 1313 KUH Perdata: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:
Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, dewasa ini sebagian besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian standar/standard contract. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentuk-bentuk formulir.
Terdapat beberapa pendapat mengenai kedudukan perjanjian baku itu. Sluijter berpendapat: “perjanjian baku bukan lagi perjanjian. Pelaku usaha sudah bertindak sebagai pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever)”.
Sebaliknya Pitlo berpendapat: “perjanjian baku itu memang melanggar UU, tetapi dibutuhkan oleh masyarakat dalam praktik”. Dalam hal ini, Hondius memberi toleransi dengan alasan merupakan: “kebiasaan (gebruik) dalam perdagangan”.
Kemudian Stein memberi jalan tengah: “tetap ada perjanjian karena fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen). Karena dengan menerima, konsumen telah setuju”.
Asas kebebasan berkontrak itu penting mengingat dalam perjajian harus terdapat adanya:
Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:
Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata? Mengenai hal ini terdapat 1 (satu) pendapat:
Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.
Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi perjanjian baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku adalah mengenai:
Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.
Konsep itu sudah tidak sesuai lagi, sebab sudah tidak selaras dengan nafas hukum yang terus berkembang. Dalam hal ini, klausula baku erat kaitannya dengan UUPK. UUPK secara tegas dan detil mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
Khusus mengenai klausula baku ini UUPK melarang dengan tegas pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang tujuannya merugikan konsumen (vide Pasal 18 UUPK).