post.png
koin-untuk-keadilan.jpeg

Kurikulum Sosial Gerakan Koin

POST DATE | 22 Juli 2017

Koin adalah jenis uang terkecil. Identik dengan uang recehan. Nilai nominal, tak seberapa harganya. Cuma belakangan nilai koin begitu identik dengan inspirasi dan simbol perlawanan.
Koin mengandung energi perlawanan dan juga simbol kegusaran atas ketimpangan penegakan hukum. Aksi Koin disimbolkan sebagai bentuk protes masyarakat terhadap vonis pengadilan terhadap Prita Mulyasari. Protes itu menunjukkan buruknya pengadilan di Indonesia.
Kasus Prita, ibu dua anak balita itu, bermula dari adanya gugatan perdata dan pengaduan pidana oleh Rumah Sakit Internasional Omni, Tangerang. Prita dianggap mencemarkan nama baik lewat surat elektronik (e-mail).
Warga Tangerang ini bahkan sempat mendekam di penjara wanita selama lebih 20 hari. Jerat hukum yang digunakan atas “suara” Prita, yakni Pasal 310, 311 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.
Respons atas kasus itu, memang banyak yang terkaget-kaget. Betapa tidak, “suara konsumen” ternyata bisa mengirim seseorang ke meja hijau, bahkan ke penjara. Baru kali ini orang mengerti semua aktivitas “curhat”nya melalui media terbuka dan di ranah internet berpotensi menuai tuntutan hukum. Setiap orang bisa dilaporkan ke polisi atau digugat karena tulisan yang dipublikasikan di surat kabar, surat pembaca, disiarkan televisi dan internet. Tak mengherankan bila bakal banyak orang dan aktivis sekalipun, tersandung pasal itu.
Prita memang tidak sendirian. Luna Maya juga ditarget, dengan pasal serupa. Lalu, pasca-kriminalisasi suara konsumen itu, banyak orang dibayang-bayangi ketakutan yang sama: bakal masuk penjara hanya lantaran tulisan yang membuat seseorang tak nyaman. Padahal semestinya mereka tak perlu khawatir secara berlebihan.
Sebagai konsumen, hak dan kewajiban telah pun diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf (d), “konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”.

Gerakan Koin Prita
Kembali ke soal gerakan koin. Gerakan sosial masyarakat dengan mengumpulkan koin ini efektif. Seperti diketahui, proses perdata antara Prita versus RS Omni Internasional sudah diputus. Di tingkat PN Tangerang, Prita divonis membayar denda Rp312 juta. Vonis itu diterimanya sebelum ia mendekam di LP Wanita Tangerang, Mei 2009.
Atas putusan tingkat pertama itu, Prita lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Hasilnya, Prita kembali diposisikan sebagai pihak yang kalah dengan diwajibkan membayar denda Rp204 juta. Rinciannya, kerugian material kepada RS Omni sebesar Rp 164 juta.
Kerugian immaterial Rp40 juta. PT Sarana Mediatama Internasional selaku penggugat I Rp20 juta, Hengky selaku penggugat II Rp10 juta, dan Grace selaku penggugat III Rp10 juta. Meski nilai denda turun sekitar Rp100 juta, Prita tetap pada posisi kalah. Terkait vonis itu, masyarakat melakukan gerakan mengumpulkan koin untuk membantu Prita.
Dengan istilah lain, putusan hakim itu dinilai tidak bersahabat oleh masyarakat. Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, menilai gerakan pengumpulan koin sebagai simbol perlawanan terhadap putusan hakim. Oleh karenanya, pelajaran yang harus diambil oleh hakim adalah dalam putusannya harus lebih kepada perlindungan secara hukum dari masyarakat kelas bawah (Vivanews, 21 Desember 2009).
Psikolog Sumantri Priambodo, melukiskan kalau aksi tersebut bukan saja mengandung unsur unjuk perasaan, tetapi sekaligus adalah unjuk aksi solidaritas dan perlawanan sosok kaum lemah yang tertekan kesewenangan pihak lain. Sebuah gerakan moral yang tidak berpeluang dibonceng pihak ketiga. Aksi itu bisa dikategorikan inovativ dan mengandung value creation.
Sebuah metode yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Niat yang mengiringi adalah membangun kesadaran kolektif masyarakat atas penderitaan sesamanya. Koin demi koin alias uang receh dikumpulkan para dermawan dan sukarelawan untuk disumbangkan (Republika, 16 Desember 2009).
Kemudian Sumantri melanjutkan, terdapat fenomena menarik di balik gerakan moral Peduli Prita. Solidaritas dan kesetiakawanan bangsa ini ternyata belum mati suri. Bahkan terdapat deretan “keteladanan” sebagai kurikulum sosial bagi aktivitas kehidupan itu.
Pertama, saat ini masyarakat Indonesia masih punya solidaritas dan kesetiakawanan antarsesamanya. Gerakan itu menghapus stigma negatif bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi memiliki kepedulian, individualistik ataupun egoistik.
Kedua, sebagian yang peduli sesamanya adalah masyarakat kecil, meskipun tidak menafikan banyak juga pejabat dan konglomerat yang terketuk hatinya. Ada anak yang bertahun-tahun menabung untuk beli kucing, rela menyerahkan isi tabungannya. Tindakan serupa dilakukan sopir angkot, abang becak, pengamen, dan tukang parkir.
Ketiga, masyarakat terketuk hatinya karena melihat sendiri ada ketimpangan mencolok antara rakyat kecil dengan sebuah kekuasaan. Bagi masyarakat awam, makna keadilan memang relatif, tetapi sebuah ketidak-adilan bisa dirasakan jika sebuah kekuatan dihadapkan langsung pada ketidakberdayaan, kemiskinan berhadapan dengan kekayaan yang melimpah ruah.
Keempat, mengapa koin yang disumbangkan? Masyarakat mafhum, koin adalah uang terkecil. Namun, di balik itu mampu menjadi simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Masyarakat awam bisa menangkap makna, selain nilai nominal yang tidak seberapa, tetapi di sisi lain mengandung energi spiritualitas dan nilai sosial yang tinggi.
Kelima, aksi solidaritas tersebut merupakan unjuk rasa yang unik dan spesifik. Tidak seperti lazimnya unjuk rasa dengan membawa pamflet dan teriak di jalanan. Aksi ini bisa dimaknai sebagai unjuk perasaan yang hakiki dan menyodorkan solusi. Keenam, aksi berupa kepedulian untuk Prita ini, mungkin bisa jadi model aksi yang lain, sehingga perilaku pengunjuk rasa lebih elegan, aksi berjalan aman, damai, dan menyejukkan.
Kini, seperti digambarkan Luthfi Subagio (Harian SINDO, Rabu, 10 Juni 2009), barangkali dokter dan owner Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera, Banten,Tangerang saat ini susah mengaso. Kasus koin Prita seperti mimpi buruk siang bolong. Begitu dahsyatnya sehingga melumpuhkan brand RS bermerek internasional tersebut. Bahkan di mesin pencari dunia maya, nama Prita dan RS Omni mempunyai hit tinggi, tentu saja dengan tendensi negatif dan destruktif.
Saat ini bisa dilihat dampak dari krisis komunikasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pemulihan reputasi karena kini RS itu menjadi musuh publik (public enemy). Tingkat kepercayaan tentu langsung turun, bahkan DPR meminta izinnya dicabut.
Bayangkan ini: orangtua sebuah keluarga yang lewat di depan RS itu akan menggunjing dan didengar anak-anak mereka, yang akan terus diingat. Lengkaplah penderitaan itu. Hikmah terpenting dari gerakan sosial koin itu, ternyata jangan pernah sepele dengan koin. Potensi solidaritas, merupakan energi yang secara kultural dimiliki bangsa dalam mengawal nilai kemasyarakatan dan moralitas hidup.
Advis kosultan multinasional JD. Power and Associates, perusahaan cerdas senantiasa “bertunangan” dengan konsumennya. Karena itu mereka bakal menciptakan dan menyangga jalur komunikasi dengan para konsumennya.
Komunitas akan menyediakan sarana terbaik menuju hal ini dengan cara yang berharga dan menonjolkan citra perusahaan. Jangan pernah bohongi diri Anda dengan berpikir: “tak ada berita adalah berita yang bagus”. Ketiadaan berita berarti kesunyian dan kesunyian dapat sangat mematikan.
Pelajaran terbaik dari kasus Prita adalah perusahaan gagap dan gagal dalam melayani. Perusahaan begitu merasa jumawa dengan kekuatan modal dan koneksi dengan pejabat. Sebagai pelayan tidak mampu mendekati konsumen yang merupakan pelanggan perusahaan. Seorang pelayan tidak boleh gagap atau canggung dalam menghadapi konsumen. Kriminalisasi suara konsumen takkan berhasil membungkam kebebasan bicara atau beropini.***

 

========

Sumber: Analisa, 29 Desember 2009



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar