POST DATE | 04 April 2017
Seringkali masyarakat dihebohkan oleh produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika yang diragukan kehalalannya. Disebut diragukan karena produk tersebut tidak mengantongi sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kalau pun ada label halal yang dicantumkan di kemasan adalah palsu. Seperti air minum beroksigen Oxxywell. Demikian pula kasus label halal palsu pada dendeng/Abon Babi Palsu.
Kasus serupa pernah terjadi pada produk Ajinomoto (2000). Mempunyai label halal, tetapi mengandung lemak babi. Di luar itu masih ada kasus label bertuliskan 'halal' untuk sepatu merk 'Kickers' yang diduga menggunakan kulit babi. Sebenarnya masih banyak kasus lain, yang pada intinya produk tertentu memiliki label halal asli tapi palsu.
Disebut palsu karena mempunyai label halal asli tetapi pada prosesnya mengubah komposisi/bahan produk seperti kasus Ajinomoto. Dapat juga terjadi label halal telah habis masa berlakunya, tetapi tidak diperpanjang pelaku usaha. Bahkan ada pula produk mencantumkan label halal, tetapi tidak yang dikeluarkan lembaga yang berwenang.
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengemukakan fakta yang mengejutkan. Menurut Lukmanul Hakim, bila ditambahkan sertifikat halal palsu atau tidak berlaku lagi mencapai 54,9% dari produk yang beredar.
Faktor utama penyebab adalah belum ada penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, dan intensitas sosialisasi oleh pemerintah belum memadai. Selain itu, masih sedikitnya subsidi oleh pemerintah kepada usaha kecil dan menengah untuk mensertifikasi halal yang membuat pelanggaran masih tinggi (halalmui.org, 9/2/2011).
Secara faktual, logo halal biasanya dicetak dalam kemasan, baik itu di dalam kemasan (inner packing) maupun di luar kemasan (outer packaging) seperti karton box/kardus. Logo halal memang merupakan jaminan bagi konsumen bahwa produk yang dalam kemasannya terdapat cetakan logo halal berarti produk makanan tersebut hukumnya “halal”.
Label halal dikeluarkan oleh lembaga yang mempunyai otoritas yakni BPOM (kini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal/BPJPH). Menurut Mohd Khan Ayob (2009) fungsi label halal adalah untuk menghindari keraguan konsumen.
Dewi Setianingsih (2004) mengatakan kata "halal" dalam tulisan Arab atas sebuah produk sebagai bentuk pernyataan pihak pelaku usaha bahwa produknya aman untuk dikonsumsi konsumen Muslim. Anton Apriyantono (2005) mengatakan masyarakat Muslim harus dilindungi haknya. Cara melindungi adalah dengan memberi label halal sebagai jaminan bahwa makanan atau minuman halal menurut syariat Islam.
Masalahnya, menurut Sri Nuryati (2008) bahwa label halal tidak selalu menjamin halalnya suatu produk. Manipulasi label halal dapat saja dilakukan pelaku usaha curang. Penipuan itu dapat terjadi karena; sistem aturan pemerintah terlalu prosedural, pengawasan pemerintah longgar dan Undang-Undang lemah.
Oleh itu, pertanyaannya, apakah semua pelaku usaha makanan, minuman atau obat-obatan memahami dan menyadari bahwa mereka tidak boleh asal mencetak logo halal sebelum mereka memiliki sertifikat halal?
Perusahaan yang mencantumkan logo halal yang dikeluarkan oleh MUI dalam kemasannya seharusnya menyadari bahwa pencantuman logo halal mempunyai konsekuensi hukum. Artinya konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut ke pengadilan jika ternyata logo halal yang dicantumkan ternyata adalah berupa manipulasi logo aspal (asli tapi palsu)?
Proses penggunaan label halal perlu pula diwaspadai adanya label palsu serta label tempelan. Karena biasanya label halal yang sudah diakui oleh lembaga sertifikat halal adalah yang menyatu dengan kemasan, baik kemasan kecil langsung di wadah produk maupun kemasan selanjutnya.
Biasanya label halal palsu ini hanya tulisan halal kecil saja berbentuk bulat yang ditempelkan di atas kemasan utama. Label halal resmi tertulis nama MUI, berbentuk logo bulat dan bernomor sertifikat. Kalau cuma bertulisan halal, tanpa bertuliskan MUI, artinya itu label halal palsu.
Sopa (2008) mengatakan jaminan halal (apalagi palsu) tidak dapat diterima jika dibuat dan dihasilkan pelaku usaha yang menghasilkan sesuatu produk dari perspektif kepentingan bisnis saja. Jadi, sangat besar potensi terjadinya manipulasi/ penyelewengan. Untuk itu, diperlukan lembaga yang berwenang agar terjaga kredibilitas dan integritasnya, seperti MUI.
Ahmad Redzuwan Mohd Yunus (2008) mengatakan bahwa konsumen Muslim perlu memastikan label halal yang ada pada barang yang akan dimakannya yaitu dengan mengidentifikasi label halal yang resmi. Pentingnya label halal resmi supaya tidak bimbang lagi dengan adanya label halal yang digunakan pihak tidak bertanggung jawab untuk membuat laris produknya.
Atas kondisi itu, Fadhlan Mudhafier dan HAF. Wibisono (2005) mengemukakan keberadaan label halal di Indonesia masih memprihatinkan. Masih banyak hak konsumen Muslim diabaikan. Agar hal itu tidak terus terjadi, diperlukan label halal.
Peranan label halal sama dengan baju yang dipakai manusia. Ia dapat membentuk dan menunjukkan image/gambaran diri pemakainya. Setiap konsumen Muslim harus membiasakan diri memakan produk halal dengan cara memperhatikan keberadaan label halal pada kemasan makanan dan barang.
RA. Laksmi Priti M (2008) menekankan agar terhindar dari label halal palsu, konsumen Muslim penting untuk mengidentifikasi suatu produk makanan. Halal atau tidaknya makanan/barang dijamin dengan melihat ada tidaknya logo halal yang dicantumkan pada produk makanan dan barang itu. Logo halal pada suatu produk makanan dapat digunakan sebagai panduan bagi konsumen Muslim untuk memilih/membeli produk tertentu.
Persoalan kehalalan harus dipahami bukanlah masalah privat masyarakat saja. Tetapi label halal berada di ranah publik, dan pemerintah terlibat di dalamnya. Sertifikat halal mencegah manipulasi label halal yang dilakukan guna kepentingan bisnis. Manipulasi atas nama apapun adalah tindak kejahatan, apalagi memasang label halal asli tapi palsu merugikan dan mengganggu keyakinan umat.
================================
Medan Bisnis. Rabu, 24 Desember 2014