POST DATE | 05 April 2017
Wacana pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga jelang akhir masa tugas periode 2009-2014. Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal.
Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah dan akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang-undang. Di luar gedung Senayan, muncul polemik produk yang seharusnya diberi label atau sertifikasi di Indonesia bukanlah produk yang halal, melainkan produk haram.
Alasannya untuk Indonesia yang diperlukan bukan label halal, tapi label haram. Karena mayoritas penduduk Indonesia Islam. Dalil lainnya adalah di negara Islam, pemberian label haram terhadap produk yang tidak boleh dikonsumsi umat Islam, akan menjadi lebih simpel dan mudah.
Pasalnya, jumlah produk yang haram tentunya jauh lebih sedikit dibanding produk yang halal. Usulan agar label haram yang digunakan dari segi kepraktisan dalam memilih produk, memang terkesan lebih sederhana dan mudah
Nah, karena jumlah dan jenis pangan diharamkan sangatlah sedikit, yang diperlukan umat Islam sebenarnya bukanlah “label halal”, melainkan “label haram”. Jadi, produk yang tidak diberi label haram, itu berarti produk tersebut adalah halal. Tetapi apakah tawaran label haram itu solusi? Apakah sesederhana itu masalahnya?
Sopa (2008) menjawab bahwa faktanyanya tawaran “label haram” itu tidak mungkin dapat diwujudkan. Label haram itu mempunyai implikasi serius, baik secara ekonomi maupun politik. Apakah ada perusahaan yang bersedia produknya diberi label haram? Tentu, ketika suatu produk dicap label haram, maka otomatis dalam asumsi pembeli sudah terbentuk citra negatif.
Perusahaan tersebut pastilah tidak beres dan akibatnya boleh jadi semua produknya dianggap tidak halal dan tidak laik konsumsi? Dengan makna lain, pemberian label haram terkesan produk yang lainnya adalah halal dan itu tidak dibenarkan karena belum melalui proses pengkajian syara’ (Imam Masykoer Alie, 2003)
Oleh itu, yang diperlukan adalah label halal. Label halal tidak menimbulkan kegoncangan bahkan dapat membuat terasa lebih nyaman di hati umat Islam dan umat lain.
Seterusnya, yang diperintah untuk dimakan oleh Allah SWT dan Rasululah SAW adalah makanan yang halal lagi baik (halalan thayyiban). Makanan halal baru dapat diketahui setelah dilakukan kajian dan pemberian fatwa tentang status halalnya.
Apalagi dewasa ini, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya atau medianya bercampur atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang tidak suci atau haram. Itu terjadi, ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian maju, sehingga suatu produk yang bersumber pangan yang suci atau halal, prosesnya bisa melalui proses yang tidak halal.
Fungsi Label Halal
Fungsi label halal menurut Mohd Khan Ayob (2009) adalah untuk menghindari keraguan konsumen dan memudahkan proses eksport-import. Beliau juga berpendapat produk halal atau haram merupakan tanggungjawab semua pihak, seperti konsumen, pemerintah, pihak pelaku usaha pabtikan dan penjual makanan dan organisasi konsumen.
Pentingnya mencantumkankan label halal, karena menurut Anton Apriyantono (2005) persoalan yang berhadapan dengan umat Islam adalah banyaknya bahan pangan yang sukar ditentukan asal bahan pembuatnya.
Seterusnya, pemahaman masyarakat akan hukum-hukum status halal suatu bahan pangan masih kurang. Masyarakat Muslim harus dilindungi haknya, yaitu hak untuk mendapatkan produk pangan yang halal. Cara melindungi yaitu dengan memberi label halal sebagai jaminan bahwa produk pangan itu memang halal menurut syariat Islam.
Anton Apriyantono (2007) pula mengemukakan untuk menjamin kebenaran hasil label halal diperlukan adanya suatu standard dan sistem yang seragam.
Label halal merupakan bagian dari hak-hak konsumen yang harus terpenuhi dengan baik. Kaum Muslim memiliki ciri khas, misalnya soal keamanan makanan tidak saja secara material, tetapi juga kerohanian. Masalah halal lebih dekat antara hubungan manusia dengan Tuhannya.
Thobieb Al-Asyhar (2003) menjelaskan hak-hak konsumen yang dicetuskan Jhon F. Kennedy, seperti hak atas keselamatan, atas informasi, hak didengar dan diwakili, juga berlaku ke atas pengguna Muslim. Halal atau haramnya suatu produk, tidak boleh ditutupi hanya untuk kepentingan praktis, misalnya kepentingan ekonomi, perdagangan, politik dan lain sebagainya.
Label halal dalam suatu produk pangan begitu penting. Label halal dimaksudkan melindungi konsumen Muslim dari makanan haram. Adanya label halal tidak saja memberi kemudahan bagi konsumen Muslim, tetapi juga mendorong suasana ketenteraman batin yang dapat meningkatkan semangat kerohanian konsumennya.
Kepastian kebenaran label halal ini menurut Anton Apriyanto dan Nurbowo (2003) diperoleh melalui sertifikasi halal yang dikeluarkan lembaga yang berwenang yaitu LP. POM MUI.
Fadhlan Mudhafier dan HAF. Wibisono (2005) menegaskan eksistensi label halal di Indonesia masih memprihatinkan. Masih banyak hak konsumen Muslim dipinggirkan. Agar hal demikian tidak terus menerus terjadi, diperlukan label halal.
Peranan label halal sama dengan baju yang dipakai manusia. Ia dapat membentuk dan menunjukkan citra diri pemakainya. Setiap keluarga Muslim harus membiasakan diri memakan produk halal dengan cara memperhatikan label halal pada kemasan pangan. Semoga…
==================================
Waspada. Sabtu, 29 Maret 2014