POST DATE | 21 Juli 2017
Rahmat Gobel, Menteri Perdagangan Republik Indonesia telah menerbitkan peraturan larangan penjualan minuman keras beralkohol bir di minimarket melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6/M-Dag/Per/4/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, tanggal 16 Januari 2015. Permendag Nomor 6 Tahun 2015 ini merupakan perubahan kedua atas Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014.
Permendag sebelumnya masih membolehkan menjual minuman beralkohol dengan kadar 5%, maka dalam Permendag No. 6/M-Dag/Per/4/1/2015 dilarang penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket. Minuman alkohol Golongan A merupakan minuman dengan kadar alkohol kurang dari lima persen yaitu di antaranya bir, bir hitam, dan minuman ringan beralkohol.
Adapun penyebab larangan penjualan miras bir di minimarket disebabkan penjualan minuman beralkohol ini di pasar ritel adalah untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia dari pengaruh buruk alkohol. Apalagi, saat ini, pasar modern seperti minimarket sudah masuk di permukiman masyarakat, dekat sekolah, gelanggang remaja, kampus, rumah sakit dan rumah ibadah. Kondisi ini membuat resah masyarakat, orang tua dan para pendidik.
Faktanya, minuman beralkohol dengan mudah didapatkan dan digunakan oleh anak-anak di bawah umur. Permendag No. 6/M-Dag/Per/4/1/2015 ini berlaku secara efektif adalah tepatnya mulai 16 April 2015. Walaupun demikian, aturan pada Permendag Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tetap berlaku seperti konsumen tidak boleh mengambil langsung minuman beralkohol di hipermarket dan supermarket. Minuman beralkohol jenis bir hanya bisa diambil langsung oleh petugas.
Selain itu, untuk pembelian bir di hipermarket dan supermarket, usia pembeli yang dibolehkan membeli bir di atas usia 21 tahun atau dengan menunjukkan kartu identitas (KTP). Selain itu, untuk penjualan minuman beralkohol di restoran cafe dan rumah makan, maka harus diminum langsung di tempat alias tak boleh dibawa pulang atau keluar.
Permendag yang melarang menjual bir dan minuman keras beralkohol karena minuman beralkohol sangat memengaruhi sisi kognitif anak di bawah umur. Apalagi saat ini, ranah pendidikan bukan hanya di sekolah dan di rumah, tetapi juga di antara kemah dan sekolah. Interaksi yang begitu dekat antara minimarket dengan lingkungan sekolah dan permukiman penduduk, tentu kondisi rawan akan godaan minuman beralkohol dikonsumsi oleh anak di bawah umur.
Banyak Ekses
Data Gerakan Nasional Antimiras (Genam), menyebutkan bahwa setiap tahunnya ada 18 ribu nyawa melayang, baik efek langsung dan tidak langsung dari minuman tersebut. Korban miras di Indonesia 50 orang meninggal setiap harinya. Per tahun 18 ribu. Data WHO, 10 detik orang meninggal karena miras. Kalau membandingkan jumlah korban narkoba dan miras, lebih banyak korban miras. Banyak efek negatif yang ditimbulkan karena konsumsi minuman keras, lanjutnya, terutama pada remaja. Efek bisa berupa penurunan tingkat kesehatan, selain memicu perbuatan amoral seperti seks bebas atau prostitusi. Konsumsi alkohol juga memicu orang melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penjambretan, perampokan, perkosaan, kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perkelahian, tawuran, hingga pembunuhan maupun kecelakaan.
Peraturan larangan penjualan minuman beralkohol dipandang dalam bingkai untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia agar bisa tumbuh dengan sehat. Dian Kuswanto (2014) menyebutkan ada beberapa dampak negatif minuman beralkohol antara lain GMO (Gangguan Mental Organik) yang mengakibatkan: Perubahan perilaku, seperti bertindak kasar, sehingga bermasalah dengan keluarga, masyarakat, dan kariernya; perubahan fisiologis, seperti mata juling, muka merah, dan jalan sempoyongan; dan perubahan psikologi, seperti susah konsentrasi, bicara melantur, mudah tersinggung, dan lainnya.
Sejatinya Permendag ini harus diperkuat dengan norma berupa peraturan daerah atau peraturan lain (peraturan gubernur, walikota, bupati) sebagai kebijakan larangan peredaran miras. Secara empiris telah banyak daerah melarang penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket. Misalnya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perda tentang Larangan Minuman Beralkohol di Kota Sukabumi. Kota Malang di Jawa Timur, Bogor, Tangerang, dan lain-lain.
Permendag dan peraturan lain diperlukan untuk mempersempit ruang gerak penjualan minuman beralkohol (minol) kurang dari 5 persen. Sekadar bandingan di Singapura saja barang sejenis tidak boleh lagi dijual, kecuali yang diizinkan restoran, tapi itu harus minum di tempat. Ini karena mengganggu masyarakat lingkungan. Banyak akibat terjadi. Diimbau agar pelaku usaha agar dapat taat kepada kebijakan pemerintah itu.
Saat bersamaan masyarakat harus melaporkan kepada pemerintah setempat, jika masih ditemukan miras dijual di minimarket. Legislatif dan kepolisian harus memiliki persepsi dan langkah yang sama untuk menegakkan aturan dimaksud. Pemerintah di daerah harus melakukan pengawasan intensif dan efektif untuk memastikan peraturan larangan menjual minol dimaksud berjalan dengan baik.
Namun demikian, peraturan larangan minol itu sebenarnya bukan solusi utama. Banyak masalah lain yang perlu diperhatikan. Misalnya, terbatasnya ruang publik dan sarana bagi remaja yang disediakan oleh pemerintah untuk sekadar melepas lelah dari belajar. Juga ruang interaksi positif bagi para remaja, berakhir pada pilihan yang dilematik, yaitu: kafe, baik kafe dengan konsep mandiri, maupun lokasi yang pada akhir-akhir ini semakin banyak disediakan oleh minimarket.
Jadi, maraknya fenomena minol di beberapa minimarket cukup membahayakan bagi kalangan pelajar dan remaja. Untuk itu, pelaku usaha perlu untuk menerapkan perspektif perlindungan konsumen, yaitu dengan bentuk pemberian informasi mengenai produk yang dibeli konsumen, termasuk resiko-resiko yang harus ditanggung konsumen ketika mengonsumsi produk tersebut.
Namun demikian, bukan berarti dengan adanya kesadaran pengusaha minuman beralkohol, kehadiran negara melindungi rakyat dari daya rusak minuman beralkohol terhadap kesehatan, dan kecerdasan rakyat menjadi tidak relevan dan atau tidak dibutuhkan lagi. Apalagi menjadikan industri minuman beralkohol sebagai sumber pendapatan karena pengaturan yang hanya ditinjau dari perspektif ekonomi pasti akan kontra-produktif dengan keinginan melindungi anak bangsa dari dampak negatifnya.***
=========
Sumber: http://harian.analisadaily.com