POST DATE | 21 Agustus 2017
Wacana pemadaman listrik oleh PT PLN senantiasa menarik untuk dikaji. Apalagi pemadaman listrik bukan hanya menjadi ‘menu utama’ pelanggan PLN di luar Jawa tetapi sudah ‘menular’ ke pelanggan PLN di Jawa.
Pelanggan listrik PLN di luar Jawa telah mengalami situasi ini sejak beberapa tahun lalu, sedangkan pelanggan di Jawa mulai mengalami kenaikan intensitas pemadaman listrik sejak 2-3 tahun terakhir.
Khusus di Sumatera Utara terjadi sejak tahun 2005. Sistem kelistrikan di wilayah PT PLN (Persero) Regional Sumatera Utara oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 479-12/43/600.2/2005, dinyatakan sebagai daerah krisis penyediaan energi listrik.
Meskipun begitu sempat muncul secercah harapan. Setidaknya, tatkala Direktur Utama PLN, pada akhir tahun 2008, saat bertemu Gubernur Sumatera Utara, berjanji penyakit listrik ‘byar pet’ telah sembuh. Logika yang disodorkan terdapat tambahan pasokan pembangkit.
Disebut ada 200 MW dari PLTG Paya Pasir di Glugur, 120 MW pasca-perbaikan turbin pembangkit, dari PLTD sebesar 65 MW, dan optimalisasi pasokan asal Inalum sebesar 90 MW. Begitulah hitungan matematis daya yang tersedia pembangkitan listrik untuk memasok kebutuhan konsumen.
Akan tetapi, baru saja pelanggan menginjak kaki tahun 2009, lagi PLN mengulah. Mestinya byar-pet (listrik mati), sudah sembuh, bukan malah kambuh. Lebih celaka lagi, janji petinggi PLN bakal tidak ada lagi pemadaman, tak lebih dari sekadar janji belaka. Tak lama memasuki awal tahun 2009, penyakit kronis PLN lagi-lagi ‘kumat berat’.
Secara teoretis pemadaman di sistem Sumbagut tidak perlu terjadi. Kapasitas daya terpasang cukup mampu melayani pelangan listrik yang ada. Kenyataannya tidak semua pembangkit listrik berada dalam kondisi siap pasok karena kerusakan, perawatan, derating, variasi musim dan ketiadaan bahan bakar.
Berbagai kendala ini menyebabkan daya mampu pembangkit untuk memasok beban sangat terbatas sehingga pemadaman listrik dengan mudah terjadi.
Hal-hal yang disebutkan di atas adalah faktor teknis yang akan dikemukakan oleh PLN dan pemerintah sebagai alasan pemadaman. Tetapi lebih daripada itu, terdapat sejumlah faktor fundamental yang menyebabkan terjadinya pemadaman listrik yang semakin sering kita nikmati akhir-akhir ini. Salah satu persoalan fundamental adalah salah kelola PLN.
Sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menyediakan tenaga listrik bagi rakyat Indonesia, PLN memiliki kuasa (power) yang sangat besar selain monopoli terhadap usaha penyediaan tenaga listrik.
Ironisnya, regulasi dan pengawasan pemerintah terhadap perusahaan ini cukup lemah sehingga perusahaan ini berkembang dengan tata kelola yang buruk. Sebagai contoh, pemerintah tidak mampu "memaksa" PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik kecil dari sumber energi terbarukan setempat berdasarkan formula yang telah ditetapkan oleh aturan pemerintah.
Akibatnya pembangkitan tersebar tidak berkembang, demikian juga investasi pembangkit kecil yang seharusnya dapat membantu mengatasi kekurangan listrik di banyak wilayah di luar Jawa.
Di sisi lain, posisi PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) perusahaan ini dieksploitasi untuk mencapai tujuan-tujuan sosial kepentingan rezim yang berkuasa. Sebagai contoh, seiring dengan meningkatnya biaya bahan bakar tiga tahun lalu pemerintah terus mempertahankan tarif listrik yang lama yang tidak mencerminkan cost recovery seiring dengan kenaikan tajam biaya produksi.
Kegagalan PLN untuk mengurangi konsumsi BBM akibat terlambatnya program diversifikasi bahan bakar pembangkit listrik dalam lima tahun terakhir semakin memperburuk situasi dengan kenaikan biaya produksi yang semakin tinggi. Sebagai catatan, ini juga merupakan contoh kegagalan supervisi pemerintah atas perencanaan pembangkitan listrik PLN.
Akibatnya situasi keuangan PLN berdarah-darah akibat pendapatan PLN terbatas. Sekitar separuh pendapatan perusahaan berasal dari subsidi BBM yang berasal dari APBN. Sebagai sebuah badan usaha berstatus perseroan kondisi ini membuat PLN berada pada bibir kebangkrutan.
Hambat Program Gubsu
Program “tidak lapar, tidak sakit, tidak bodoh” ala Gubsu, nampaknya bakal melambat atau mungkin malah gagal. Pasalnya tabiat PLN mematikan listrik (byar-pet) kambuh lagi. Bagaimana mungkin mewujudkan program Gubsu, kalau pemadaman listrik terus terjadi? Rentetan krisis listrik telah menimbulkan suasana ketidakpastian pasokan energi listrik.
Akibat terjadinya pemadaman bergilir sejumlah sektor vital tercatat mengalami kerugian, seperti sektor investasi dan industri kecil menengah terpukul dan kacau. Pasokan listrik tak menentu itu berarti PLN telah menghambat program Gubsu.
Ekses listrik padam, sektor ekonomi usaha kecil dan menengah lumpuh. sektor rumah tangga atau perkantoran banyak peralatan elektronika rusak dan aktivitas rutin atau pelayanan publik terhenti, sektor pariwisata terancam bangkrut.
Tentu hal itu, bakal berimbas ke pemutusan hubungan kerja (PHK). Sektor lalu lintas macet dan sektor lain yang menimbulkan semakin tinggi risiko menurunnya kualitas kehidupan masyarakat.
Sektor penyelenggaraan sistem pendidikan bagi anak-anak di setiap jenjangnya terancam ambruk. Listrik mati telah mematikan aktivitas proses belajar mengajar. Aktivitas belajar di rumah nyaris lumpuh.
Oleh karena, peralatan teknologi/laboratorium yang berhubungan dengan energi listrik tidak bisa beroperasi. Suasana rumah menjadi serba gelap, segenap aktivitas belajar dipastikan terganggu.
Karena, peralatan teknologi/laboratorium yang berhubungan dengan energi listrik tidak bisa beroperasi. Segenap aktivitas belajar dipastikan terganggu. Lalu, apakah ada korelasi pemadaman bergilir dengan program gubernur? Pasti, karena tidak mungkin memutar roda program tanda didukung insfrastruktur kelistrikan yang memadai dan dapat diandalkan.
Urgensi kapasitas energi listrik sangat vital dalam menggerakan roda industri, perkantoran, lalu lintas, keberlanjutan pendidikan dan aktivitas kerumah-tanggaan. Energi listrik itu merupakan penyangga utama guna mempercepat inovasi dan aplikasi teknologis pada berbagai kegiatan produktif masyarakat. Gubernur Sumut dan petinggi PT PLN, harus cekatan mengatasi pemadaman listrik di Sumut.
Barometer awal wibawa dan marwah gubernur adalah kemampuan meniadakan pemadaman listrik. Apalagi akhir tahun 2008, saat bertemu Gubernur Sumatera Utara, Direktur Utama PLN sempat memastikan listrik ‘byar pet’ telah sembuh.
Ketersediaan tenaga listrik merupakan penyangga utama sumber daya saing. Bagi investor, ketersediaan sumber energi listrik adalah prasyarat berinvestasi. Lebih luas lagi, ketersediaan energi listrik yang memadai tidak hanya memungkinkan orang dan mesin bekerja lebih lama. Tetapi juga akan mempercepat eskalasi ekonomi, industri, pendidikan dan inovasi sektor pelayanan publik.
Kini, sudah tiba saatnya kita menghentikan pemadaman bergilir. Apapun caranya. PLN tak boleh bereputasi sebagai penghambat program pemerintah. Ironis betul, masyarakat berjuang keras untuk mendukung Gubsu, tetapi PLN malah terus menghambatnya.
Tanpa tindakan yang tegas, terukur dan konsisten dalam menangani krisis listrik yang telah mengancam investasi dan tingkat kompetitif Indonesia, Sumut makin ketinggalan. Kawasan ini akan mengalami krisis listrik yang lebih dalam dan biaya sosial dan ekonomi yang lebih mahal di waktu dekat dan kredibilitas pemerintah saat ini akan lebih terjerembab dan kehilangan kepercayaan publik.
Ternyata ada atau tidak gubernur baru, kondisi listrik masih seperti yang dulu. Berharap listrik terus menyala, cuma yang ada tak lebih usapan dada. Mimpi listrik byarpet sembuh, eh.. malah kambuh. So, bagaimana Pak Gubnur, eh Pak Gubernur?
=========
Sumber: Analisa, 17 Juli 2009