Kebijakan pemadaman bergilir tersebut tentu menuai protes dari masyarakat dan pebisnis, namun pemerintah tampaknya "lempar handuk". Segenap keluhan dan protes keras masyarakat atas listrik yang byarpet juga gagal mengubah wajah pelayanan lembaga penyedia energi itu.
Pemadaman listrik bukan kasus yang tiba-tiba muncul. Bukan pula masalah yang berdiri sendiri. Bermula dari saat pemerintah menghadapi situasi sulit disebabkan kenaikan harga minyak dunia. Subsidi energi melebihi Rp200 triliun, subsidi listrik Rp50 triliun. Seterusnya, pada waktu itu kapasitas kemampuan daya PT PLN hanya 25.000 MW, sebanyak 6.000 MW di antaranya menggunakan diesel yang cukup mahal operasinya.
Kesulitan dimaksudkan itu, lebih khusus di Sumatera Utara sampai kini belum juga terpecahkan. Solusi yang ditawarkan banyak bersifat wacana. Sampai kini, mengatasi krisis lewat rapat ke rapat dan mengeluarkan surat keputusan. Itulah cara pemerintah mencari solusi, walau faktanya tanpa eksekusi. Seterusnya, coba dihitung secara teknis soal persediaan cadangan listrik. PT PLN di Sumatera bagian utara (Sumbagut) hanya memiliki pembangkit yang bisa menghasilkan listrik berkapasitas 1.400 megawatt (MW), sementara kebutuhannya sudah mencapai 1.700 MW.
Jadi, ada defisit lebih kurang 300 MW. Secara teknis seharusnya dengan kepasitas sebesar itu wilayah Sumbagut miliki cadangan 30% atau menjadi 1.900 MW. Idealnya pasokan listrik ada pada posisi angka minimal, seperti Jawa-Bali. Bagaimana cadangan listrik di Sumbagut, apakah dapat disediakan atau ditingkatkan. Semestinya jika konsumsi meningkat, PT PLN harus meningkatkan jumlah cadangan listrik.
Masalahnya untuk daerah-daerah lain di luar Jawa, cadangan listrik masih kurang. Kondisi ini yang menyebabkan terjadi pemadaman bergilir. Kalau melihat kapasitas listrik di Sumatera Utara secara teknis cadangan listriknya tidak ada alias pas-pasan, bahkan sebenarnya defisit. Bagaimana memenuhi pertumbuhan listrik tersebut, jika tidak diimbangi dengan pasokan listrik yang cukup/andal? Sumatera Utara tetap berpotensi mengalami krisis listrik.
Memang tidak ada jalan kecuali PT PLN mengejar proyek-proyek kelistrikan, yaitu mempercepat menyelesaikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu dan membebaskan lahan untuk jaringan transmisi kelistrikan dari Nagan Raya. Selama ini, terasa penyelesaian krisis listrik hanya secara parsial. Mengurai krisis listrik tidak dihubungkan dengan kebijakan energi secara menyeluruh, seolah krisis kelistrikan hanya dianggap urusan PLN. Krisis listrik diputuskan relevansinya dengan soal minyak, gas bumi, batubara, dan sumber-sumber energi lain. Susahnya, kalau pemadaman bergilir terjadi, PT PLN dijadikan tumbal tudingan dari pelbagai pihak.
Lalu, apakah krisis listrik terjadi karena pembangkit listrik minim? Faktanya PT PLN punya banyak, seperti PLTA Sigura-gura, PLTA Tangga, PLTA Lau Renun, PLTA Sipansihaporas, PLTA Asahan I, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Belawan Sicanang. Di luar itu bakal beroperasi mesin pembangkit Pangkalan Susu dan Nagan Raya. Secara teknis kondisi krisis listrik di Sumatera Utara diperparah karena PT PLN tidak sanggup mengejar pertumbuhan konsumsi listrik. Pertumbuhan konsumsi listrik di wilayah Sumbagut merupakan yang tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 10-15 persen per tahun.
Inalum Sebagai Solusi? Di Sumatera Utara sebenarnya ada PT Inalum. Secara resmi PT Inalum sepenuhnya telah berada di bawah penguasaan Pemerintah Indonesia, tepatnya sejak 31 Oktober 2013. PT Inalum memang sesuai desain awal berkapasitas produksi 225 ribu ton aluminium ingot per tahun dengan kapasitas sumber listrik PLTA Asahan II terpasang 640 megawatt. Proyek Asahan merupakan kerja sama Indonesia-Jepang untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kabupaten Toba Samosir dan pabrik peleburan aluminium (PPA) di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Namun demikian, meski PT Inalum berada di Provinsi Sumatera Utara, kontribusinya bagi solusi krisis listrik sangatlah minim. Ibarat makan, cuma dua atau tiga sendok. Tak pernah membuat kenyang. Itulah situasi yang berlaku sejak awal krisis dulu. Serba tambal sulam, seperti pameo gali lobang tutup lobang. Tetapi itu dimaklumi karena masih terikat perjanjian dengan pihak Pemerintah Jepang. Kini, PT Inalum sepenuhnya milik dan berada di bawah penguasaan Pemerintah Indonesia. Saat krisis listrik berada di puncak, ternyata sekali lagi kontribusi PT Inalum sekadar basa-basi.
Untuk keluar dari krisis listrik di Sumatera Utara, M Jusuf Kalla (mantan wapres) memberi solusi dengan mengonversi seluruh daya 640 MW proyek PT Inalum dipakai untuk PLN. Sistemnya adalah sewa mesin Inalum. Pilihan itu lebih bermanfaat dan logis dibandingkan dengan menyewa mesin genset dari luar negeri.
Solusi Inalum dikonversi, itu jauh lebih logis. Konstruksi berpikir bahwa pabrik Inalum untuk sementara dihentikan sambil menunggu peremajaan mesin. Sewa listrik 640 MW selama tiga tahun dapat digunakan pemerintah untuk membayar tunai harga Inalum. Biaya itu termasuk dengan biaya modernisasi mesinnya.
Bagi pihak yang menolak konversi Inalum dipakai untuk PT PLN dapat dimaklumi. Mereka menolak, karena tidak merasakan dampak buruk pemadaman bergilir. Selain itu, ini juga terkait masalah keadilan dalam pemerataan pembangunan. Krisis listrik ini adalah masalah pemerintah. Ini tanggung jawab pemerintah pusat. Lalu, kapan krisis bakal tuntas kalau semua tetap terus berwacana?
========
Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/03/29/87352/listrik-byarpet-sampai-kapan/
|