POST DATE | 24 September 2017
Umar bin Khattab kepada Musa Al-Asyari,
“Samaratakanlah manusia dalam majelismu, dalam pandanganmu, dalam putusanmu, sehingga orang berpangkat tidak mengharapkan penyelewenganmu, dan orang lemah tidak putus asa mendambakan keadilanmu”.
“Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya dan jangan merugikan seseorang (Unicuique Suum Tribuere, Neminem Laedere)”
Di Indonesia sudah ditetapkan setiap putusan pengadilan didahului kalimat irah-irah berjudul, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan demikian, berlaku untuk semua lingkungan peradilan.
Landasan yuridisnya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat tersebut adalah roh atau turunan Pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sejalan dengan itu, Pasal 197 ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan “kepala putusan yang dituliskan berbunyi ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Patut diperhatikan, Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan putusan Batal Demi Hukum. Jika itu terjadi, bermakna eksistensi dari putusan pengadilan itu tidak diakui keabsahannya.
Selain itu, menurut M. Yahya Harahap (2007) khusus hakim di lingkungan peradilan agama memiliki ciri ikatan batiniah dalam putusannya. Ciri tersebut diberi label jelas dan tegas berdasarkan ketauhidan Islam dengan cara mencantumkan, “Bismillahirrahmanirrahim” (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang). Kalimat basmalah mendahului irah-irah, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Urgensi dari ketentuan itu adalah semua putusan hakim bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Menurut Wahyudi Kurniawan (2017), kalimat itu adalah pedoman utama bagi hakim dalam mengambil setiap tindakan keputusan atau perbuatan menjatuhkan putusan senantiasa dilandasi niatan menegakkan keadilan (QS. Al-Ma’idah, 5: 5-8).
Dengan demikian, makna kalimat tersebut haruslah benar-benar menjadi pedoman dan dasar setiap hakim dalam mengambil keputusan sebuah perkara yang ditangani. Itulah yang disebut akuntabilitas. Membuat putusan tentu tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada pimpinan atau atasan saja, melainkan harus mampu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat umum, agama, dan tentu saja kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim sebagai aktor utama di lembaga peradilan harus mampu membuat keputusan pengadilan yang seadil-adilnya.
Wakil Tuhan dan Ladang Ibadah
Bagi ST. Zubaidah (2017) profesi sang pengadil (hakim) adalah profesi yang mulia (officium nobile). Kemuliaan posisi hakim dalam proses peradilan tentu sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, seorang hakim harus memiliki integritas tinggi, loyalitas, dan tingkat keimanan yang tinggi pula. Hakim juga harus memiliki kepribadian yang arif bijaksana dan tidak tercela, jujur, adil, profesional, memiliki atau ahli dalam bidang hukum, karena semua keputusan hakim pasti membawa pelbagai akibat atau konsekuensi yang tidak ringan.
Malahan, hakim dikategorikan pula sebagai profesi yang paling beruntung, karena memiliki kekuasaan yang menentukan nasib seseorang, sehingga tidak heran hakim disebut sebagai ‘wakil tuhan’ di muka bumi.
Disebut wakil tuhan kata Farid Wajdi (2017), karena hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan peran hakim sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang.
Titik kulminasi dari sikap hakim dalam penguasaan hukum itu adalah mahkota hakim. Mahkota itu memantul pada putusan hakim yang benar, jujur, adil, mumpuni dan sempurna, di bawah kalimat “Demi Keadilan...” Menurut pandangan ST. Zubaidah (2017) untuk menguji hal tersebut paling tidak ada 4 (empat) parameter dasar pertanyaan (the four way test), yaitu; sudah benarkah putusan tersebut?, sudah jujurkah dalam mengambil putusan tersebut?, sudah adilkah putusan tersebut?, dan bermanfaatkah putusan tersebut?
Bismar Siregar (2015) memandang eksistensi rumusan irah-irah itu sangat asasi dan berfungsi sebagai sumpah. Beliau berpandangan, “kalau demikian, apakah kalimat ‘Demi Keadilan’ itu juga kalimat sumpah? Menurut hemat saya, benar! Sumpah para hakim bahwa keadilan yang diucapkan mengatasnamakan Tuhan kecuali menjadikan ia wakil Tuhan, juga sekaligus ia bertindak dan berbuat dan bersumpah atas nama Tuhan.”
Sulistyowati Irianto, dkk (2017) mengatakan makna transendensi kalimat itu bukan sekadar slogan kosong. Tidak hanya sekadar pelengkap putusan hakim belaka. Hakim harus menghayati prinsip transendensi yang melekat atas profesinya. Nilai transendensi profesi hakim bertaut kelindan dengan memakna profesinya sebagai ladang ibadah. Disebut ladang ibadah karena telah menghayati prinsip transendensi itu sebagai filosofi dasar yang sejalan dengan keyakinan relijiusnya.
Dengan demikian, menurut Robertus Salu (2016) “demi” harus dimaknai sebagai kata sumpah bahwa semua yang diucapkan untuk dikerjakan itu mempunyai nilai tidak hanya bersifat lahiriah tetapi juga batiniah. Justru nilai batiniah lebih menentukan. Pencantuman kalimat tersebut tentu tidak hanya formalitas belaka namun menjadi dasar filosofis dalam setiap pengambilan keputusan.
Bismar Siregar mengungkapkan kalimat irah-irah itu selain sebagai sumpah juga bermakna sebagai doa bagi seorang hakim. “Ya Tuhan, atas nama-Mu-lah saya ucapkan putusan ini”. Jika benar demikian, hakim jauh dari berbuat kekeliruan dalam memberi putusan, sengaja atau tidak, apalagi yang sangat meresahkan masyarakat.
Irah-irah itu pula, tulis Bismar, yang membedakan peradilan di Indonesia dengan peradilan negara lain. Di Indonesia wajib hukumnya menyelenggarakan peradilan dengan membawa nama Tuhan. Di negara lain mungkin sebaliknya.
Dinamika Irah-irah Kepala Putusan Hakim
Dalam lintasan sejarah hukum dan peradilan di Indonesia, kalimat irah-irah itu mengalami dinamika sesuai situasi yang berkembang. Bismar Siregar (1983), mencatat pengadilan pernah menggunakan kepala putusan ‘Atas Nama Ratu/Raja’, ‘Atas Nama Negara’, ‘Atas Nama Keadilan’, dan terakhir ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Senada dengan itu, Sudikno Mertokusumo (1971) menjelaskan Indonesia pernah menggunakan irah-irah ‘Atas Nama Keadilan’ (In naam der Gerechtigheid). Semula, merujuk pada putusan peradilan Belanda yang dipakai adalah ‘In naam der Koningin’, atas nama Kerajaan.
Beliau melanjutkan bahwa kata ‘demi’ dalam irah-irah itu, berarti ‘untuk kepentingan’. Oleh karena itu, frasa ‘untuk kepentingan’ lebih tepat daripada ‘atas nama’, karena tujuan peradilan adalah untuk mencapai keadilan. Dengan kata lain, peradilan itu sendiri tidak dilaksanakan ‘atas nama keadilan’, seakan-akan keadilan mewakilkan atau menguasakan salah satu badan untuk melaksanakan peradilan.
Bagi Bismar Siregar, kalimat yang dipakai dalam irah-irah menunjukkan kepada siapa putusan hakim pertama-tama dipertanggungjawabkan. Jika ‘Atas Nama Keadilan’ mengandung arti kepada keadilanlah putusan dipertanggungjawabkan. Jika ‘Atas Nama Tuhan’, maka kepada Tuhan-lah pertanggungjawaban hakim pertama-tama ditujukan.
‘Atas nama’, menurut Bismar Siregar bermakna, membawa kewajiban dan tanggung jawab yang besar sekali. Apalagi kalau nama Tuhan yang dibawa, maka tanggung jawab moralnya sangat besar.
Berkenaan dengan ini Bismar Siregar dalam www.hukumonline.com berpesan sekaligus memanjatkan do’a kepada para hakim Indonesia. “Kepada para hakim yang kedudukannya sebagai wakil Tuhan, semoga semakin sadar tentang tanggung jawabnya kepada Tuhan. Berat tugasnya, namun luhur dan agung kedudukannya. Insya Allah, kita selalu mendapat berkah dan ridha-Nya”.
Konsekuensi logis kepala putusan yang berbunyi ‘Atas Nama Tuhan’ dalam catatan ST. Zubaidah (2017) yaitu seorang hakim dalam memutus perkara:
Konsepsi filosofi yang demikian membingkai perilaku bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara dalam hal ini mesti berpedoman dan berdasarkan pada hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1970 memberi makna ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggungjawaban yang lebih berat dan mendalam dalam menginsyafkan kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mesti dipahami, hakim dalam mengadili sesuatu perkara selalu berpedoman/ berdasarkan kepada hukum, namun pertanggungjawaban akhir dari putusannya itu diserahkan kepada “Sang Maha Gaib”.
Nilai Keadilan
Hukum harus difungsikan sebagai alat perlindungan bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, hukum harus dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan). Itulah berarti yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Hukum adalah untuk manusia. Pelaksanaan hukum atau penegakan hukum haruslah memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Harus dihindari ketika hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah timbul keresahan atau ketidakadilan di dalam masyarakat. Jadi, pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.
Jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan nilai keadilan, nilai keadilan harus didahulukan daripada kepastian hukum. Nilai keadilan adalah tujuan hukum paling utama, sementara kepastian hukum adalah sarana mewujudkan keadilan itu (Antonius Sudirman, 2007). Tugas utama hakim adalah menegakkan keadilan, bukan kepastian hukum. Apalagi pekerjaan hakim berintikan keadilan (K. Wantjik Saleh, 1977). Apalagi hukum tanpa keadilan akan sia-sia (M. Agus Santoso, 2012)
Penegakan hukum harus memastikan nilai keadilan terwujud. “...dan apabila menetapkan hukum supaya kamu menetapkan dengan adil”, dan “...jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan…”. (QS. An-Nisa, 4: 58 dan 135).
Makna transendensi itu melekat pada integritas dan perilaku penyandang profesi hukum. Eko Jalu Santoso (2017) mencatat dengan baik: “Pribadi yang memiliki integritas hanyalah menginginkan tepukan halus malaikat di pundak kanannya, bukan dari manusia lainnya. Karena ia menyadari bahwa para malaikat dan Tuhan selalu menjadi pengawasnya.”
Daftar Bacaan
Antonius Sudirman, 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung: Citra Aditya Bakti
Bismar Siregar, 1983. Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta
Eko Jalu Santoso, Integritas adalah Kekuatan, melalui http://www.indonesia careercenter.com/home/index.php/good-ethos-for-career-planning/123-integ-ritas-adalah-kekuatan, tanggal 17 Agustus 2017
Farid Wajdi, Independensi dan Akuntabilitas Peradilan, melalui http://www.farid-wajdi.com/detailpost/independensi-dan-akuntabilitas-peradilan
Wantjik Saleh, 1977. Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Ghalia Indonesia
Agus Santoso, 2012. Hukum, Moral & Keadilan, Jakarta: Kencana
Yahya Harahap, 2007. Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika
Robertus Salu, Refleksi Putusan Hakim yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, melalui http://www.ntt-news.com/2016/06/08/sebuah-janji-hakim-pada-sang-pencipta/
Zubaidah, Hakim (Antara Surga dan Neraka), melalui http://www.pa-muarateweh. go.id/images/stories/pdf/hakim_antara_surga_dan_ neraka.pdf
Sudikono Mertokusumo, 18 Des 1971. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya bagi Kita Bangsa Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Sulistyowati Irianto, dkk, 2017. Probelamatika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan dan Masyarakat Indonesia: Studi Sosio-Legal. Jakarta: Komisi Yudisioal
Wahyudi Kurniawan, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Sebuah Janji Hakim Pada Sang Pencipta” melalui http://www.umm.ac.id/en/opini/demi-keadilan-berdasarkan-ketuhanan-yang-maha-esa-sebuah-janji-hakim-pada-sang-pencipta.html
Mengenang Bismar: Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah, Jangan anggap remeh makna irah-irah putusan. Di mata Bismar Siregar, irah-irah adalah roh putusan, melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55a-26de809417/irah-irah--kepala-putusan-yang-bermakna-sumpah, Minggu, 12 Juli 2015
============
Sumber: Majalah Komisi Yudisial, Juli-September 2017