POST DATE | 03 April 2017
Judul Buku: Oegroseno: Pengabdian Polisi tak Kenal Lelah
Penulis: Yulhasni dan Arifin Saleh Siregar
Editor: Farid Wajdi dan Zulkifli Tanjung
Penerbit: CV Prenada Jakarta
Tebal: xxxiv + 157 halaman
Merekam keberhasilan tokoh dalam buku memang agak terasa lain. Pertama, sosok yang ditulis tentulah harus memiliki kenangan tersendiri bagi warga. Kedua, pejabat yang dimaksud tentu saja tidak mempunyai track record negatif dalam aktifitas kesehariannya. Dan ketiga, satu sisi yang paling penting, pejabat tersebut harus memiliki gagasan yang baru dan orisinil dalam memajukan pekerjaannya.
Tidak berlebihan rasanya jika kemudian sosok Irjen Pol Oegroseno diapresiasi lewat buku. Itulah yang terekam secara sederhana dari buku ini. Yulhasni dan Arifin Saleh Siregar menuangkan hasil rekaman mereka itu dalam buku Setebal 157 halaman ini. Kedua penulis yang kini berprofesi sebagai Dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini mencoba merangkai segala hal yang terkait dengan gagasan dan sepak terjang Oegroseno selama menjabat Kapolda Sumatera Utara. Sekarang Oegroseno telah dipindahtugaskan ke Mabes Polri sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polisi (Lemdikpol).
Semasa menjabat Kapolda Sumut sejak 14 Februari 2010 hingga dipindah ke Jakarta, sosok Oegroseno memang lain daripada yang lain. Hal itu pulalah yang memungkinkan buku ini pantas diapresiasi. Penulis berhasil merekam detil demi detil hal-hal baru yang muncul dari Oegroseno. Gagasan dan ide itu terangkum dalam bagian demi bagian dalam buku yang diterbitkan CV Prenada Jakarta ini.
Dalam buku ini, penulis memulai hasil rekaman mereka saat mencoba menceritakan citra negatif polisi Indonesia dari masa ke masa. Pada Bagian 1 buku dengan judul Polisi di Mata Masyarakat : Stigma Polisi yang Sulit Dihapus (halaman1 ). Penulis menggambarkan citra negatif tersebut tidak jauh-jauh. Medan sebagai pusat pemerintahan dengan segala bentuk tindak kejahatan dan kota yang tentunya menjadi perhatian penuh Oegroseno sebagai Kapolda Sumut. Pada bagian ini mencontohkan peristiwa yang terjadi di Medan. Pada halaman 12-13 seperti ditulis dalam buku ini telah terjadi di Medan, misalnya, kasus yang menimpa Zainal Abidin, juru parkir yang dituduh membunuh Kusuma Wijaya, warga Jalan Bandung Medan pada 25 Mei 2009. Zainal sempat mengalami kekerasan di Mapolsek Medan Kota. Kakinya ditembus dua butir peluru. Belakangan, karena merasa tidak bersalah, Zainal Abidin menempuh jalur hukum. Hakim menvonisnya tidak bersalah dan membebaskan Zainal Abidin dari dakwaan. Kasus itu kemudian berbuntut diperiksanya mantan Kapolsek Medan Kota AKP Darwin Ginting dan telah disidang oleh Tim Komisi Kode Etik Polda Sumut. Ada beberapa kutipan peristiwa yang dibuat penulis untuk mencontohkan stereotipe negatif polisi di mata masyarakat diantaranya skandal Gayus Tambunan, dukungan masyarakat kepada Majalah Tempo dalam kasus gugatan Polri dalam jejaring sosial Facebook bahkan mencapai 7.745 orang (halaman 3-8).
Mengutip survei LSI 2003, penulis menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Sejak disurvei mulai 2003 hingga sekarang, institusi Polri selalu berada di peringkat tiga terbawah. Hal itulah yang disebutkan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi saat merilis data mengejutkan tentang institusi Polri. Polri terus berkutat di klasemen bawah bersama institusi DPR dan partai politik yang memiliki tingkat kepercayaan terendah dibanding institusi negara lain. Data terakhir LSI Mei 2010 lalu, polisi tak pernah naik kelas dari 2003 sampai 2010. Hasil survei di atas, menunjukkan indikator bahwa persepsi publik terhadap Polri masih rendah. Padahal Polri telah meluncurkan program reformasi internal sejak beberapa tahun lalu. (halaman 3).
Penulis juga mencontohkan beberapa bentuk citra negatif polisi Indonesia yang terangkum pada bagian 1 buku ini. Sejumlah kasus yang melibatkan polisi Indonesia seperti kasus Susno Duadji, Gayus Tambunan, merupakan penggambaran awal citra negatif polisi Indonesia. Penulis juga membandingkan sepak terjang mantan Kapolri yang fenomenal Hoegeng. Di bagian ini ditulis stigma negatif itu sulit dihapuskan manakala kita bicara soal polisi, apalagi jika sudah terkait sogok-menyogok. George Junus Aditjondro seakan menyentil berkata ada tiga polisi yang tidak bisa disogok yakni patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Hoegeng adalah mantan Kapolri yang dikenal jujur dan tidak bisa disogok oleh siapapun. (Halaman 7).
Buku dengan editor Farid Wajdi dan Zulkifli Tanjung ini memang mencoba memaparkan berbagai ide dan gagasan dari seorang Oegroseno. Makanya, penggambaran awal citra negatif polisi tersebut setidaknya jadi bahan renungan bagi pembaca sebelum menyelami betul sepak terjang Oegroseno. Penulis seperti menyadari bahwa gambaran masyarakat tentang polisi tidak begitu apresiatif. Di dalam buku yang dicetak luks ini, kedua penulis melukiskan gambaran polisi ‘nakal’ itu dengan berbagai data yang cukup signifikan. Kedua penulis menyadari bahwa perubahan citra itu tidak hanya bisa dicapai dengan menunjukkan prestasi kerja saja, tetapi harus secara gradual. Citra polisi tidak dapat dicapai hanya dengan menunjukkan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat utama. (Halaman 12).
Buku ini dicetak dengan sisipan sejumlah foto-foto yang menggambarkan aktifitas kegiatan Oegroseno. Dari foto-foto itu terlihat jelas proses dan dan kinerja Oegroseno dalam bertugas di Polda Sumut. Foto-foto itu setidaknya memberikan kesan kedekatan Oegroseno dengan warga Sumut. Penulis memang mampu menghadirkan sosok Oegroseno dengan nuansa yang berbeda. Sebagai mantan wartawan yang bertugas cukup lama, kedua penulis mengetahui sisi lain yang tidak tertulis media. Keduanya kemudian merangkumnya ke dalam buku yang dicetak sebanyak 2000 eksemplar ini. Pada Bagian 2 dan 3 , misalnya lewat judul tulisan Membumikan Citra Polisi Humanis dan Oegroseno : Berbakti Tidak Harus Jadi (Ka) Polri, kedua penulis mendetailkan bagaimana Oegroseno bertugas di daerah ini. Secara khusus kedua bab ini memang mengulas habis sepak terjang Oegroseno selama jadi Kapolda di daerah ini. Ada berbagai teknik dan cara Oegroseno menghadapi problem di masyarakat dan itu semua dirangkum dengan baik oleh kedua penulis buku ini. Soal slogan, ‘’Jangan Ada Lagi Darah dan Air Mata di Kantor Polisi,’’ kemudian jadi satu bagian penting yang dikupas oleh penulis. Bahkan secara khusus, buku ini memberi apresiasi besar atas keberhasilan Oegroseno dalam mengungkap tabir perampokan Bank CIMB Niaga Jalan Aksara Medan. Pada Bagian 2 yang berjudul Membumikan Citra Polisi yang Humanis, penulis mencoba menceritakan bagaimana kesungguhan Oegroseno mengungkap kasus perampokan tersebut, termasuk penyerangan Mapolsek Hamparan Perak. Buku ini secara detail menggambarkan peristiwa yang menurut penulis telah menyita energi Oegroseno, seperti ditulis peristiwa perampokan Bank CIMB Niaga Cabang Aksara disusul penyerangan Mapolsek Hamparan Perak yaitu dua peristiwa uang bukan hanya menjadi fokus pekerjaan Oegroseno, tetapi juga menyita perhatian nasional. (Halaman 59). Kedua penulis buku menyebutnya sebagai hari-hari yang melelahkan. Kerja keras itu akhirnya memang membuahkan hasil. Energi dan waktu yang tersita selama dua bulan lebih itu akhirnya terobati dengan keberhasilan tersebut. (Halaman 63).
Kehadiran sejumlah ‘pendengkar’ HAM di Sumut dalam mengapresiasi Oegroseno dalam buku ini barangkali sebagai penguat dan garansi akademis bahwa mantan Kapolda Sumut ini memang dianggap lain. Di Bagian 4 buku ini dalam tajuk Mereka Bicara Oegroseno, apresiasi positif tentang Oegroseno ditulis oleh Majda El Muhtaj (Direktur Pusat Studi HAM Unimed) dengan tulisan berjudul Jenderal Oegroseno dan Cita Pemolisian Demokratis (halaman 96), dan Diah Soesilowati (Koordinator Kontras Sumut) mencoba menggambarkan sosok reformisnya Oegroseno dengan tulisan Oegroseno : Reformis yang Bervisi dan Berhati Nurani (halaman 113). Penulis juga kemudian meminta testimoni dari Antonius Sudjata (Ketua Ombudsman RI) secara khusus mencatat satu bagian penting dari Oegroseno, ketika itu menjabat Kapolda Sulteng, menolak mengeksekusi terpidana mati Tibo. Saya dengar kaerana beliau (Ogroseno) sudah melakukan pengecekan bahwa pelakuknya bukan ketiga orang itu, tulis Antonius. (Halaman 92).
Gaya penulisan buku ini memang berbeda dengan jenis buku akademik lainnya. Mungkin karena penulisnya berlatar belakang wartawan, sehingga fakta-fakta yang tidak terungkap di media kemudian ditulis dengan asyik dan mengalir. Alur cerita yang mengalir sederhana dengan teknik yang biasa digunakan wartawan, menjadi daya tarik sendiri buku ini. Penulis juga menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh sekaligus menyentil tajam. Simak misalnya tulisan berikut ini : hamparan luas ketidakpuasan rakyat tersebut berlangsung mulus bagai meteor yang dari langit. Menukik tajam ke sanubari rakyat yang tidak bisa berbuat kecuali hanya memasrahkan diri. Sebagian dari mereka membuat perlawanan, namun tembok yang dihantam terlalu besar dan kokoh. (Halaman 6).
Sebagai penguat data sekaligus gambaran betapa kritisnya Oegroseno, penulis juga merangkul seorang wartawan bernama Arnold Sianturi. Wartawan yang bertugas di Mapolda Sumut ini menuliskan kesaksiannya dalam dua tulisan yakni Oegroseno dan Sepenggal Kisah Seorang Ibu (Halaman 129) dan Oegroseno dan Sepeda Angin (Halaman 137).
Buku ini layak dikonsumsi oleh mereka yang menaruh harapan besar terhadap kepolisian kita. Bagi mereka yang menaruh rasa simpati kepada keadilan yang makin semu di negeri ini. Tampilan buku ini boleh jadi sangat menjual karena didesign sedemikian apik. (Ibrahim Nainggolan, SH. Dosen Fakultas Hukum UMSU)