post.png
KEBIJAKAN_PRODUK_HALAL.jpg

Memahami Pasang Surut Regulasi Halal di Indonesia

POST DATE | 15 April 2024

Oleh: Rizki Firmanda Dardin*

Judul Buku: Kebijakan Hukum Produk Halal di Indonesia

Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Penulis: Farid Wajdi dan Diana Susanti

Jumlah Halaman: 284 halaman

Tahun Terbit dan Cetakan: Cetakan Pertama, Juni 2021

Ukuran: 15 x 23 Cm

ISBN: 978-979-007-925-0

Halal lifestyle atau gaya hidup halal sedang melanda dunia, tidak hanya negara dengan penduduk mayoritas muslim, namun juga di negara dengan penduduk muslim minoritas sebut saja Thailand, Korea Selatan atau Jepang. Bagi John Naisbit (2007) pada era global masa kini segala sesuatunya sudah serba-teknologis, budaya yang mengalami perkembangan paling dahsyat adalah berkenaan dengan makanan, pakaian dan hiburan.

Ia menyebutnya dengan istilah 3F. 3F dimaksud adalah food (makanan, kuliner), fashion (pakaian) dan fun (hiburan). Era globalisasi, industri makanan di Indonesia mesti dapat meningkatkan daya saing melalui jaminan produk halal lagi baik. Produk yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa produknya bergizi, enak, menarik dan bentuknya bagus. Seterusnya bersih, bebas dari segala yang membahayakan fisik.

Jika merujuk ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kewajiban bersertifikat halal ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, diatur dengan penahapan dengan masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 Oktober 2024. Menolak kewajiban ini akan dihadapkan pada sanksi yang tegas mulai dari penarikan barang dari peredaran hingga denda yang dapat mencapai Rp2 miliar.

Induk regulasi jaminan produk halal adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun, undang-undang ini mengalami perubahan bersamaan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 jo. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 jo.  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Regulasi teknis yang perlu diperhatikan selain Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, Keputusan Menteri Agama Nomor 748 Tahun 2021 Tentang Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal, Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 Tentang Bahan yang Dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal, hingga Keputusan Kepala BPJPH Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Pedoman Sertifikasi Halal Makanan dan Minuman dengan Pengolahan.

Berdasarkan regulasi JPH, ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Kewajiban sertifikasi halal di Indonesia ialah bentuk kehadiran negara untuk menjamin integritas kehalalan produk yang beredar dan dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat. Indonesia ialah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Adapun produk obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang berasal dari bahan tidak halal atau bahan yang belum bersumber dari sumber halal masih dapat diedarkan dan diperdagangkan di Indonesia dengan mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Pencantuman keterangan tidak halal tersebut dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan G/TBT/ N/IND/157 Tentang Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Hayati, dan Alat Kesehatan. 

Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk obat dan alat kesehatan, lanjutnya, dilaksanakan dengan ketentuan masa penahapan berbeda-beda. Bagi produk obat tradisional dan suplemen kesehatan, saat ini masih diberlakukan penahapan hingga 17 Oktober 2026. Adapun bagi produk obat bebas dan obat keras diberlakukan masa penahapan hingga 17 Oktober 2029 dan 2034. Bagi produk alat kesehatan penahapannya dilaksanakan sesuai kelas risikonya, dari yang terdekat pada 2026 sampai dengan 2034.

Buku ini mengkaji dengan baik urgensi regulasi jaminan produk halal dan perlindungan konsumen sebagai upaya memberikan keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan ketersediaan produk halal bagi seluruh warga Negara khususnya warga muslim. Selain itu diuraikan juga adanya sertifikasi dan label halal dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing bagi perusahaan dalam menjual dan memproduksi produknya.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Perppu Nomor 2 Tahun 2022 jo.  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) ini diharapkan semua produk yang diimpor maupun yang beredar di Indonesia memiliki sertifikat halal dan label halal.

Masuknya Undang-Undang JPH dalam klaster penataan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja sejatinya diharapkan menjadi momentum untuk menyelesaikan daftar masalah yang ada. Terdapat 24 ketentuan diantaranya 2 penambahan pasal baru dan pengubahan substansi 22 pasal yang ada dalam Undang-Undang JPH.

Perubahan materi dan ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal tersebut lebih menunjukkan keinginan kuat pemerintah dalam menata regulasi, kemudahan berinvesatasi dan penciptan lapangan kerja yang seluas-luasnya akan tetapi tidak menyelesaikan masalah filosofis, sosiologis dan yuridisnya dari Undang-Undang JPH yang menjadi kendala sebelumnya. Masalahnya justru perubahan ketentuan-ketentuan tersebut terlihat cenderung menghilangkan originalitas nilai-nilai syariah yang menjadi ruh Undang-Undang JPH (Muh. Nadratuzzaman Hosen, dkk, 2022).

Buku bertajuk: “Kebijakan Hukum Produk Halal di Indonesia” mengajak pembaca untuk memahami  respons atau pasang surut peran negara dalam memenuhi kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan.  Sebab produk halal adalah hal yang niscaya bagi umat Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar setiap muslim dan sebagai implikasi kewajiban syariat.

Ketersediaan pangan yang cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan daya beli masyarakat serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

Hal ini juga merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat yakni Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kunci penting dari norma hukum yang ada adalah pemerintah harus melakukan berbagai upaya dan langkah untuk melindungi serta menjaga umat Islam dari mengonsumsi makanan, minuman, obat-obatan dan barang gunaan lain yang tidak halal termasuk produk yang berasal dari luar negeri.

Meskipun demikian, buku ini menggambarkan perkembangan legislasi jaminan produk halal ini masih menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun politis. Ide buku ini adalah melanjutkan substansi disertasi dan tesis para penulisnya yang belum selesai pada saat menyelesaikan pendidikan program doktor dan magister.

Buku ini juga menjelaskan urgensi jaminan produk halal, relevansi produk halal dan perlindungan konsumen, pasang surut perjalanan kebijakan hukum jaminan produk halal. Di bagian akhir kemudian diuraikan sertifikasi produk halal secara global-internasional dan mekanisme pertanggungjabawan hukum atas pelanggaran jaminan produk halal.

Aspek hukum pertanggungjawaban produk halal, dikaji baik dari aspek Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Buku ini penting dibaca bagi pelaku usaha yang langsung bersentuhan dengan kebijakan produk halal, akademisi, mahasiswa dan peminat hukum/sosial lainnya.  

*Peresensi adalah Dosen STIHMA Asahan, Kisaran dan Peserta S3/Doktoral Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana UMSU

=============

Sumber: Waspada, Sabtu, 20 April 2024, hlm. B3



Tag: , , , , , , ,

Post Terkait

Komentar