POST DATE | 06 September 2024
Setiap profesi tentu memiliki kode etiknya masing-masing untuk mengatur cara bekerjanya perilaku dan tindakan pelaku profesi. Urgensi kode etik bagi para profesional tertentu yaitu guna memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan; sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan; dan mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi tertentu.
Kode etik memberikan pedoman yang jelas tentang apa yang dianggap benar dan salah dalam situasi yang berkaitan dengan kode etik tersebut. Kode etik ini diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia bisnis, profesi, dan masyarakat. Fungsi lain dari kode etik adalah sebagai alat untuk mempromosikan integritas dan profesionalisme. Kode etik memberikan kerangka kerja yang jelas tentang perilaku yang diharapkan dalam suatu profesi atau organisasi (Kumparan.com, 24 Oktober 2023).
Banyak kasus pelanggaran etik dalam ranah profesional hukum yang terpublikasi secara luas diruang publik. Sebut saja kasus pelanggaran etik mantan petinggi kepolisian Ferdy Sambo. Sidang etik Polri memutuskan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo diberhentikan secara tidak hormat atau dipecat. Mantan Kepala Divisi Propam Polri itu dinyatakan terbukti melanggar kode etik korps Bhayangkara (7 Pelanggaran Etik yang Buat Ferdy Sambo Dipecat dari Polri", https://nasional.kompas.com/read/2022/08/26/02545251/7-pelanggaran-etik-yang-buat-ferdy-sambo-dipecat-dari-polri?page=all).
Begitu juga kasus pelanggaran etik Anwar Usman, karena dianggap melakukan pelanggaran berat, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mencopot yang bersangkutan dari kedudukannya sebagai Ketua MK (Langgar 5 Prinsip Kode Etik, Anwar Usman Dicopot dari Jabatan Ketua MK, https://www.hukumonline.com/berita/a/langgar-5-prinsip-kode-etik--anwar-usman-dicopot-dari-jabatan-ketua-mk-lt654a47cfc992c/). Tentu masih banyak kasus lain yang dapat dijadikan sebagai contoh adanya pelanggaran kode etik dikalangan para profesi tertentu.
Peradilan Hukum dan Etik
Sebenarnya bagaimana pembuktian adanya pelanggaran kode etik profesi? Apakah ada perbedaan antara pembuktian dalam sidang etik dan sidang hukum? Apa kekhasan dalam persidangan etik profesi? Dedy Muchti Nugroho (2015) menyatakan dalam bidang ilmu hukum pembuktian mengenal 3 (tiga) macam tingkatan pembuktian, yaitu: tingkat keterbuktian yang paling lemah, yaitu tingkat lebih besar kemungkinan keterbuktian (preponderance of evidence), biasanya diterapkan dalam kasus perdata.
Tingkat keterbuktian yang agak kuat, biasa disebut dengan keterbuktian yang jelas dan meyakinkan (clear and convincing evidence) diterapkan dalam kasus perdata dan pidana. Tingkat keterbuktian yang sangat kuat, yaitu keterbuktian tanpa suatu keragu-raguan (beyond reasonable doubt) diterapkan hanya dalam kasus pidana.
Luhut M.P Pangaribuan (2015) menegaskan peradilan kode etik jelas tidak sama dengan peradilan yang menyelesaikan sengketa-konflik hukum. Apalagi etika dan hukum itu adalah dua hal yang berbeda. Etika merupakan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral yang menuntut suatu profesi untuk tidak senantiasa benar saja tetapi juga harus bertanggung jawab. Sebaliknya, hukum disusun sebagai sistem yang dibuat berdasarkan norma guna menyelesaikan sengketa-konflik dan menegakkan ketertiban umum.
Johan Wahyudi (2012) mengatakan dalam peradilan hukum, mengenai penilaian keabsahan penggunaan alat bukti di dalam hukum acara pidana, terdapat prinsip yang sama dengan yang diatur dalam hukum acara perdata sebagaimana dimaksud Pasal 294 ayat (1) HIR. Penilaian keabsahan penggunaan alat bukti pada hukum acara perdata tidak terdapat ketentuan seperti ketentuan di KUHAP.
Tersebab dalam hukum acara perdata hanya mengenal prinsip pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 163 HIR/283 RBg jo. Pasal 1865 KUHPerdata: “Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain, maka orang itu harus membuktikannya.”
Efa Laela Fakhriah (2012) menegaskan dalam kasus hukum, yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Dalam hukum acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formal. Karena itu, hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak yang beperkara. Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg, melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.
Yusri (2023) menerangkan pembuktian dalam acara perdata, berarti perbuatan hakim dalam usahanya menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang diperkirakan itu terbukti, apakah benar-benar ada atau tidak. Untuk itu hakim harus melihat bahan-bahan bukti dari kedua pihak yang berperkara.
Pembuktian pelanggaran etik bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan antara laporan/aduan dan bukti pendukungnya dengan peristiwa yang dilaporkan dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian. Pembuktian diperlukan karena adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Terlapor/Teradu dan untuk menghindari adanya bukti dan bantahan dari pihak Terlapor/Teradu.
Fungsi barang bukti adalah Pertama, menguatkan kedudukan alat bukti yang sah. Kedua, mencari dan menemukan kebenaran materil atas laporan/aduan yang ditangani. Ketiga, setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah, barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan majelis sidang etik atas kesalahan yang dilakukan oleh terlapor/teradu.
Inkuisitorial Khas Profesi
Jika merujuk dalam persidangan kode etik kedokteran, persidangan etik bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu majelis siding (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut (Asep Sukohar dan Novita Carolia, 2016). Dalam sistem ini majelis sidang etik profesi mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Majelis sidang etik profesi bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam menilai bukti (Nurul Qamar, 2010).
Kelaziman pada persidangan etik, yakni dalam hal seorang profesional hukum diduga melakukan pelanggaran kode etika (tanpa melanggar norma hukum), ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan/Dewan Kehormatan untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan/atau disiplin profesi)-nya. Secara prinsip persidangan etika bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi (Farid Wajdi, 2020).
Menurut Abdul Goffar Husnan (2018) dalam rangkaian pemeriksaan etik, kesulitannya adalah dalam hal pembuktian. Hasilnya dilihat dalam banyak pemeriksaan, lembaga seperti Dewan Etik atau Majelis/Dewan Kehormatan hanya mengandalkan pada “kebaikan” para saksi yang mau hadir bersaksi. Jika saksi tidak mau hadir, tidak ada yang dapat dilakukan. Sebab tidak mudah bagi majelis sidang etik/Dewan Etik menghadirkan saksi yang dibutuhkan.
Ketika melakukan pemeriksaannya, Majelis sidang etik berwenang memperoleh informasi berupa: keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pelapor-terlapor, pengadu-teradu, saksi-pihak lain yang terkait, keterangan ahli) dan peer-group atau para ahli di bidangnya yang dibutuhkan; dan dokumen yang terkait, seperti surat (salinan putusan pengadilan), informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan petunjuk.
Kalau dalam pandangan Asep Sukohar dan Novita Carolia (2016), majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay (kabar orang/angin, desas-desus, sas-sus) dan bukti tentang perilaku terlapor/teradu di masa lampau.
Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing (sidang pemeriksaan informal), tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).
Bukti berupa dokumen umumnya disahkan dengan tanda tangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tanda tangan (affidavit). Dalam persidangan majelis etik atau disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat.
Kekhasan pembuktian etik adalah tidak harus memiliki standard of proof (pembuktian standar) seperti pada hukum acara pidana. Sebab dalam pembuktian acara pidana, nilai pembuktian harus setinggi beyond reasonable doubt (seorang hanya dapat katakan bersalah tanpa ada keraguan sedikit pun akan kebenaran dakwaan), namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence (Bukti-bukti yang lebih berbobot atau lebih meyakinkan atau lebih dapat dipercaya jika dibanding dengan bukti lainnya, atau bukti-bukti yang dianggap cukup untuk dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa).
Pada beyond reasonable doubt seperti dalam pembuktian acara pidana tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90 persen, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51 persen ke atas (Asep Sukohar dan Novita Carolia (2016)).
Banyak ahli menyatakan tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan. Putusan persidangan etik tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan. Oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli.
Jika pun harus hadir dipersidangan, salah seorang anggota persidangan etik dapat memberikan kesaksian sebagai ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan. Adapun fungsinya yakni menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan etik. Tetapi perlu dipahami, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan mengikuti putusan sidang etik.
============
Sumber: Waspada, Rabu 18 September 2024, hlm. B3