POST DATE | 12 Juli 2017
Prosesi Pilgubsu 2013 mendekati babak final. Hasil perhitungan versi quick count (hitungan cepat) telah disajikan lembaga survei. Kini, tinggal menunggu ketokan hasil resmi (real count) KPUD Sumatera Utara sebagai penyelenggara pilkada.
Kejutan terbesar dari prosesi Pilgubsu yaitu tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Lazim pemilih yang tidak memilih ini disebut golput (golongan putih). Betapa tidak mengejutkan, karena kelompok golput mencapai angka lebih kurang 52 persen!
Sebelumnya, kalau dirunut ke belakang, sejarah Golongan Putih mulai muncul pada 1971. Dipelopori sekelompok mahasiswa dan cendekiawan seperti Arief Budiman dan Imam Waluyo. Arief Budiman, dkk merasa tak menemukan wadah yang dapat mewakili aspirasi politik mereka ketika itu.
Kemudian, mereka mengajak masyarakat secara massif menusuk warna putih. Warna itu adalah bagian kosong pada surat suara yang mencantumkan sepuluh gambar partai peserta pemilihan umum pada waktu itu.
Tersebab Golput
Banyak hal tersebab golput berjaya dalam setiap ‘pesta demokrasi’. Mengutip Mahfud Hidayat dalam www.eramuslim.com ‘biang’ golput terdiri atas:
Pertama, golput karena teknis-maladministrasi. Kelompok ini adalah orang-orang yang sebenarnya memutuskan untuk menggunakan hak pilih mereka, tetapi tak dimungkinkan karena masalah teknis-administratif. Golongan ini adalah mereka yang tidak terdaftar dalam DPS (Daftar Pemilih Sementara) ataupun DPT (Daftar Pemilih Tetap). Penyebabnya bisa dikarenakan kesalahan KPU dalam pendataan, pemerintah setempat ataupun orang yang bersangkutan. Atau bisa saja mereka sudah terdaftar, tetapi pada saat pencoblosan ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga mereka tidak bisa hadir di TPS (Tempat Pemungutan Suara).
DPS atau DPT yang bermasalah pada pilgubsu 2013 adalah salah satu penyumbang tingginya angka golput dari kelompok ini. Diperkiran ratusan ribu orang tak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak mendapat panggilan atau tidak terdaftar (C-6). Ironisnya, banyak pula orang yang tak berhak memilih justru terdaftar. Banyak kasus yang menunjukkan pemilih yang sama terdaftar secara duplikatif di dua kabupaten/kota. Bahkan orang mati pun masih terdaftar.
Kedua, apatisme publik-idealisme. Golput yang menolak memilih karena merasa proses seleksi kepemimpinan tak memberikan perubahan apapun. Atau tidak menemukan calon pemimpin ideal yang sesuai dengan harapan mereka. Golongan ini didominasi oleh mereka yang sudah tidak percaya lagi terhadap sistem dan penguasanya. Masalahnya golongan ini juga tidak melakukan perbuatan apapun untuk mengubahnya. Sebab itu, keberadaannya seperti ada dan tiada. Golongan ini merasa apatisme, bahkan mungkin frustasi dengan apa yang terjadi. Posisi kelompok ini agak membingungkan. Tidak menyalurkan hak suara, tapi tidak juga berbuat apapun. Masa bodoh dengan keadaan yang terjadi di masyarakat. Senantiasa menyalahkan keadaan dan menyerah dengan keadaan yang ada. Anti-kemapanan, dan cenderung bersikap nihilis.
Ketiga, golput karena alasan ekonomis. Orang-orang yang melakukan golput karena alasan ini, biasanya mereka yang karena mata pencaharian. Mereka tidak bisa meninggalkan aktivitasnya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Golongan ini didominasi oleh para pedagang kecil, tukang becak, sopir, karyawan dengan upah harian dan pekerja serabutan lainnya.
Keempat, golput karena alasan ideologis. Suara ini dikumandangkan oleh sebagian kelompok Islam dengan alasan yang hampir sama dengan alasan orang-orang apatis-idealis. Golongan ini sudah tidak mempercayai sistem dan penguasa yang ada. Karena meyakini ada sistem yang lebih baik lagi daripada sistem sekarang yang berlaku, yakni demokrasi prosedural. Bagi golongan ini tidak memilih ada bentuk penghukuman terhadap sistem demokrasi (plus parpol dan calon pemburu jabatan) yang ada.
Begitupun, jangan pernah ‘menghakimi’ kelompok ini sebagai orang yang berlepas diri dengan keadaan masyarakat. Justru mereka melakukan hal itu karena mereka sangat pro-masyarakat, yang kini terus dibodohi oleh sistem yang berlaku. Golput adalah simbol perlawanan tatkala lembaga formal, seperti putus tali mandatnya (nir-trust). Golput merupakan bentuk ‘penghukuman’ dan vonis moral agar pemimpin pada setiap tingkatannya dapat mempertanggungjawabkan semua mandat yang diamanahkan kepadanya.
Pola seleksi dan rekrutmen kepemimpinan ala demokrasi prosedural sulit digerakkan kepada perubahan. Apalagi tumpukan pengalaman empirikal mencatat, seleksi tidak pernah membawa perubahan secara keseluruhan. Kalaupun ada, itu hanya parsial saja. Lalu, apa kemaslahatan yang didapat masyarakat, dari prosesi Pilgubsu yang menghabiskan dana Rp646 Miliar itu?
Sinyal Bahaya
Setali tiga uang dari Pilgubsu, prosesi pilgub Jawa Barat, presentase golput-nya justru melebihi raihan suara pemenang sebesar 36,34 persen atau 11.823. 201 suara. Begitu pula, Pilkada Kabupaten Bekasi tingkat partisipasinya cuma 49,1 persen.
Terus bagaimana memaknai fenomena golput ini? Apakah ada rasa khawatir yang mendalam pada diri partai politik akan fenomena golput ini? Karena terlihat adanya fenomena golput (golongan putih) yang kian merajai pelbagai pilkada di banyak daerah.
Bagaimana sesungguhnya model pendidikan politik selama ini? Adakah pendidikan politik yang mencerahkan itu?. Sulit untuk menjawabnya! Yang jelas terlihat secara telanjang adalah politisi yang terjebak kepada politik transaksional, kultur politik uang, politik hedonisme dan konsumtif.
Jalan menuju panggung kekuasaan memerlukan ‘ongkos besar’. Jangan pula mimpi punya ‘kursi kekuasaan’ kalau duit cuma ‘sejumput’. Praktik demokrasi prosedural lebih membuka ruang bagi calon yang punya ‘modal besar’. Yang boleh jadi penguasa adalah mereka dari ‘kasta kuat modal’.
Lalu, apa akibatnya bagi sistem demokrasi. Ternyata yang muncul adalah demokrasi semu atau pura-pura. Parpol dan politisinya cuma dikuasai segelintir orang belaka. Wujudnya demokrasi tapi pantulannya adalah oligarki.
Fenomena yang muncul yaitu demokrasi semu dan praktik oligarki politik makin menguat. Politisi yang baik sulit lahir dari praktik demokrasi semu. Politisi yang berjuang untuk mengartikulasikan kepentingan publik makin langka. Politik kebajikan publik terabaikan. Tokoh bermental instan makin menyebar. Banyak elit politik korup. Praktek politik kebajikan tinggal menyisakan sekadar wacana dalam ilmu politik.
Terakhir, fenomena golput dalam bingkai demokrasi substansial menunjukan sinyal bahaya. Parpol dan tokohnya harus segera berbenah. Perlu mempercepat proses edukasi politik yang mencerahkan hati. Begitu juga, proses pencerdasan otak, agar retorika politik berhenti memangsa akal sehat publik. Parpol harus menanam investasi yang membahagiakan publik. Menggerakkan arah politik yang kian beradab. Kalau tidak, ke depan golput makin berjaya…!!
========
Sumber: Waspada, 16 Maret 2013