POST DATE | 27 April 2017
Pilihan menggunakan jasa jalan tol didasari, karena konsumen dijanjikan dapat setumpuk fasilitas atau benefitas. Oleh karena itu, tatkala menjatuhkan pilihan menggunakan jalan tol, -manakala dibandingkan misalnya dengan lintas alternatif yang ada,- harusnya ada nilai plus bagi konsumen. Bisa dalam bentuk operasi kenderaan yang lebih murah dan nilai waktu yang lebih cepat. Dengan begitu, besar kecilnya tarif tol berbanding lurus dengan besaran benefitas yang diperoleh pengguna jalan tol. Norma yang ada, jalan tol adalah sebuah jalan yang bebas hambatan (nir-halangan). Tetapi dalam banyak hal, apalagi di kawasan Jakarta, jalan tol identik sekali dengan rutinitas kemacetan.
Sekilas ke belakang, September 2007 lalu, pemerintah telah menaikkan tarif tol, termasuk yang dikelola PT Jasa Marga Jalan Tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjungmorawa). Besaran tarif itu pada beberapa ruas jalan tol di Indonesia sebesar antara 18-24 persen dari tarif lama (SK Menteri Pekerjaan Umum No. 370/KPTS/M/2007). Terakhir kali sebelumnya, pemerintah menaikkan tarif tol pada ruas-ruas tersebut pada 22 Agustus 2005. Dasar hukum keputusan itu adalah Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Substansi ketentuan itu berisi; evaluasi dan penyesuaian tarif dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh atau laju inflasi. Di Indonesia tidak ada kebijakan harga komoditas publik yang hanya mendasarkan pada laju inflasi, kecuali jalan tol.
Lalu, pasca naiknya tarif tol Belmera, bagaimana tingkat mutu pelayanan? Apakah ada kontra-prestasi bagi konsumen atas prestasi finansial yang dibayar? Apakah ada hak pengguna jasa, dibalik hak operator jalan tol menuntut kenaikan tarif melekat kewajiban untuk memenuhi standar pelayanan minimum? Formula kenaikan tarif tol otomatis, tidak memiliki edukasi memadai guna menggiring operator meningkatkan mutu pelayanan.
Bahkan untuk sekadar memenuhi standar pelayanan minimum. Atau, jangan-jangan memang operator jalan tol tidak memiliki standar pelayanan itu. Atau, kalaupun ada, apakah hal itu pernah atau telah disosialisasikan dengan baik kepada para pengguna? Wallahu ’alam bis sawab. Fakta yang muncul ke permukaan masih banyak persoalan yang belum terselesaikan dengan baik. Memang terdapat sebuah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 392/Prt/M/2000 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol, yang intinya mengatur tentang: kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata aksesibilitas, mobilitas keselamatan serta unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan.
Pertanyaan, apakah standar yang ada itu telah terlaksana dengan baik? Karena ternyata, peraturan dimaksud, apabila dipatuhi bagus, tak dipatuhi juga tak ada masalah. Jadi tidak ada sanksi. Dengan kata lain, sangat bergantung pada kemauan operator jalan tol semata?
Sederhana saja, kalau masyarakat melewati jalan tol, konsumen berhak mendapat pelayanan yang baik. Apakah telah tersedia, berupa layanan informasi, layanan transaksi tol yang cepat dan sederhana, layanan konstruksi jalan tol lebih handal dibanding jalan bukan tol, sampai layanan mendapat emergency respone ketika terjadi kecelakaan di jalan tol.
Di luar hal ringan dan fundamental itu, ternyata ruas tol kawasan Medan sekitarnya, masih terdapat beberapa area rawan rampok. Sepanjang ruas jalan minim lampu penerangan jalan alias gelap dan seram, pejalan kaki atau hewan leluasa melenggang. Betul-betul bebas hambatan, sebab tak ada yang berusaha untuk menghalangi. Lebih ironis lagi, karena ruas jalan tol mendekati pintu keluar Tanjungmorawa tanpa median jalan. Kondisi itu memiliki potensi kecelakaan lalu lintas sangat tinggi. Memang secara empiris hal itu kurang logis, sebab jalan raya saja pakai median jalan. Akan tetapi, pengelola jalan tol Belmera masih membiarkan jalur itu terus mengintai maut. Tidak jelas alasan pengelola jalan tol tidak membenahi hal itu.
Jalan tol, harusnya relatif bebas hambatan dan memperhatikan aspek kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Tetapi fakta yang ada justru menimbulkan persoalan baru. Termasuk keberadaan petugas patroli jalan tol atau mobil derek, terasa sangat langka. Kalau begitu, konsumen dapat apa sih..?? Menaikkan tarif tol memang tidak terlalu sulit, yang sulit itu adalah memuaskan pemakai jalan tol. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus jalan tol, kurang sesuai disebut jalan jika tingkat khususnya faktor keamanan dan keselamatan, tidak terjaga dengan baik.
Karena itu ada kesan kuat, di tengah ongkos penggunaan jalan tol yang cenderung menurun, justru beban pengguna jalan tol naik. Dengan kata lain, tarif tol naik, tetapi pelayanan tak baik. Ke depan, apakah dengan pelayanan alakadarnya itu, operator masih berhak mengajukan usulan tarif tol per dua tahun sesuai pengaruh angka inflasi itu? Pengguna jalan tol berhak menagih pelayanan pengelola jalan tol. Apakah misalnya pengelola jalan tol peduli dengan kepentingan publik?
Kemudian, apakah telah pernah dilakukan sebuah survei yang menunjukkan tingkat kepuasan konsumen selama menggunakan jasa jalan tol. Survei ini sangat penting guna mengetahui ada tidaknya tingkat kepuasan konsumen, sekaligus untuk mengetahui tingkat kemampuan membayar konsumen. Tanpa itu, sulit membayangkan bakal ada perubahan radikal dalam peningkatan pelayanan, sekalipun tarif terus digeret setinggi langit.
Mungkin bakal terjadi, tarif terus naik tetapi pelayanan tetap jalan di tempat. Titik ekstrim paling minimalis pelayanan jalan tol adalah terkait faktor keamanan dan keselamatan. Lebih konkrit yakni ruas jalan tol harusnya bebas hambatan termasuk dari pengguna jalan kaki dan binatang. Lainnya, terkait dengan lampu penerangan jalan. Bebas rampok dan penggunaan median jalan di semua ruas jalan tol Belmera. Pengelola jalan tol harus merombak paradigma pelayanan, karena tarif naik itu jualah yang jadi ukuran kepuasan itu. Paling ideal, tarif mahal, harus berbanding lurus dengan pelayanan yang baik. Sungguh merupakan tragedi, jika di satu pihak tarif terus dinaikkan, tetapi pelayanan tak ikut naik?
===================================
Sumber : Analisa, 11 Juli 2008