POST DATE | 06 Juli 2017
Rumah sakit merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan bagi semua lapisan. Adapun di dalam perkembangan teknologi yang pesat dan persaingan yang semakin ketat, maka rumah sakit dituntut untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanannya. Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan, rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya di dalam memenuhi kebutuhan pasien. Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dapat diukur dari tingkat kepuasan pasien.
Cerita mengenai buruknya pelayanan di Rumah Sakit (RS)-pun masih sering terdengar. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat beralih ke RS-RS di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Australia, dan negara lainnya. Tercatat, saat ini terdapat kurang lebih 200 ribu pasien Indonesia berobat ke Singapura dan Malaysia, dengan total dana yang dihabiskan mencapai US$600 juta per tahun (sekitar Rp5,4 triliun).
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat oleh puskesmas dan rumah sakit, merupakan salah satu bentuk pelayanan publik dasar yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah. Hal ini menjadikan penilaian terhadap kinerja layanan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa (user). Untuk itu keberlanjutan dan kesinambungan program pelayanan kesehatan masyarakat di Kota Medan, perlu dirumuskan dalam suatu strategi atau kebijakan yang memperhatikan peluang dan ancaman yang dihadapi.
Harusnya pelayanan yang cepat dan tepat, biaya pengobatan yang murah, serta sikap tenaga medis yang ramah dan komunikatif adalah sebagian dari tuntutan pasien terhadap pelayanan rumah sakit (RS) dewasa ini. Sayangnya, tidak semua RS di dalam negeri memenuhi tuntutan tersebut. Namun demikian, belum semua RS memenuhi keseluruhan standar mutu layanan yang telah ditetapkan. Hal itu bisa terjadi karena berbagai alasan. Misal karena keterbatasan tempat tidur serta sumber daya manusia yang dimiliki RS.
Sebaliknya, pasien juga seringkali tidak memahami kondisi dan kendala RS dalam memberikan pelayanan. Pasien tahunya ingin dilayani secara cepat, tepat, ramah, dan murah. Karena kondisi yang tidak klop itu, muncullah keluhan-keluhan pasien, Bila sakit berlanjut, hubungi dokter” begitulah kira-kira anjuran setiap obat sakit yang diiklankan baik di televisi, dikoran bahkan spanduk.
Berobat ke luar Negeri
Masalah orang Indonesia yang (senang) berobat ke luar negeri sering menjadi bahan kritikan. Tidak kurang petinggi yang mengurusi bidang kesehatan Menteri Kesehatan sendiri mengkritik kebiasaan tersebut dan kemudian memutuskan untuk membangun sayap khusus di beberapa rumah sakit guna menampung orang Indonesia yang senang berobat ke luar negeri dan juga diharapkan mengundang orang asing untuk berobat ke Indonesia.
Pemerintah barangkali beranggapan bahwa orang Indonesia pergi berobat ke luar negeri, karena fasilitas dan peralatan di rumah sakit Indonesia kurang memadai, sehingga penyelesaiannya adalah dengan menyediakan sayap khusus yang dilengkapi dengan sarana perawatan dan peralatan mutakhir.
Tetapi, benarkah kebiasaan orang Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri hanya karena menganggap peralatan di rumah sakit kita tidak mutakhir? Ataukah karena dokter kita kurang mampu, karena mereka tidak meng-update pengetahuan dan keterampilannya? Ataukah karena biaya berobat di luar negeri lebih murah? Apa pun alasannya, gejala orang Indonesia yang senang berobat ke luar negeri menunjukkan adanya kekurangpercayaan mereka kepada pelayanan di dalam negeri. Faktor lain yang mendorong orang Indonesia memilih berobat ke luar negeri adalah biaya.
Pengalaman beberapa orang menunjukkan bahwa dalam hal biaya, berobat ke luar negeri tidak selalu lebih mahal, bahkan harga obat ada kalanya lebih murah di luar negeri, daripada di Indonesia. Di media masaa diberitakan ada pasien yang membeli obat Xalatan untuk glaukoma seharga Rp450.000 di Indonesia, sedangkan di Singapura seharga 45 dolar Singapura atau sekitar Rp300.000. Selain itu, berobat ke Singapura atau Malaysia juga menjadi lebih murah bagi penduduk Sumatera, daripada kalau mereka berobat di Jakarta, sementara Medan belum siap untuk melayani mereka.
Faktor lain dan yang sering dilupakan oleh para penyedia pelayanan, adalah hospitality, perhatian dan kemampuan para dokter dan penyedia pelayanan kesehatan Indonesia untuk berkomunikasi dengan pasien secara manusiawi. Sudah bukan rahasia bahwa banyak dokter spesialis yang melakukan visite pada jam-jam yang seharusnya pasien beristirahat, dan itu pun hanya semacam absensi tanpa melihat, apalagi berkomunikasi dengan pasien. Juga belum menjadi kebiasaan bagi dokter Indonesia untuk bekerja sebagai tim, kalau untuk pasien diperlukan pemeriksaan oleh berbagai spesialis. Tidak ada komunikasi di antara mereka dan
masing-masing memberikan terapi yang berbeda tanpa melihat terapi yang diberikan oleh teman sejawatnya. Akibatnya, terjadi pengobatan polifarmasi tanpa mempertimbangkan interaksi dan efek samping yang dapat terjadi.
Kelemahan Dasar
Dalam hal komunikasi dan hospitality harus diakui dokter-dokter di Indonesia masih lemah. Mungkin dilatarbelakangi oleh arogansi, oleh kelemahan menggunakan bahasa atau karena ingin menutupi kelemahan sendiri. Memang kosakata bahasa pergaulan kita sangat kurang memadai. Misalnya, tidak ada kata yang tepat untuk menggantikan please. Dokter di negara lain tidak akan merasa hina untuk mengatakan will you hold your head down for me, please?. Kalimat itu sulit untuk diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Apalagi, kalau sudah ditutupi oleh arogansi, karena merasa kelasnya lebih tinggi dibanding pasien.
Dari segi perilaku dokter dan penyedia pelayanan perawatan inilah yang dilupakan ketika kita mau mengundang agar orang Indonesia tidak berobat ke luar negeri, atau bahkan menarik orang luar negeri agar berobat ke Indonesia.
Mutu pelayanan.
National Geographic Channel mengungkapkan alasan mengapa penerbangan Indonesia dilarang masuk Eropa. Yaitu begitu mudah Pemerintah Indonesia mengizinkan berdirinya maskapai penerbangan, tetapi lemah dalam pengawasan keamanan. Demikian pula, sebenarnya dalam hal perumahsakitan. Banyak rumah sakit diizinkan berdiri, tetapi dalam hal mutu dan keamanan pelayanan tak pernah ada yang mengawasi.
Pemerintah negara lain tentu tak bisa melarang warganya berobat di rumah sakit Indonesia, seperti yang mereka lakukan terhadap perusahaan penerbangan. Yang dilakukan adalah perusahaan asuransi yang menjamin warga asing di Indonesia lebih menganjurkan mereka berobat ke Singapura atau Australia daripada ke rumah sakit di Indonesia. Dalam hal mutu layanan medik, ada tiga unsur yang berperanan: pemerintah yang lemah dalam pengawasan, perilaku dokter, dan perilaku pengusaha rumah sakit.
Departemen Kesehatan memang memberlakukan akreditasi rumah sakit sebagai bagian pengawasan mutu, tetapi lebih banyak tentang rumah sakit dan belum banyak menyentuh pelayanan medik. Negara lain umumnya menyerahkan pengawasan mutu pelayanan medik kepada lembaga independen, meski dibentuk oleh negara.
Sikap dokter di Indonesia.
Sikap dokter di Indonesia yang belum menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas utama. Kemampuan berkomunikasi serta kesediaan memberi penjelasan kepada pasien atau keluarganya masih amat lemah. Juga keengganan untuk dikontrol pihak lain, termasuk teman sendiri. Bagi mereka yang pernah berobat di negara lain akan merasakan perbedaannya dengan dokter di luar negeri. Di luar itu, masih ada faktor kepercayaan, selain belum terjaganya sikap profesional medik sebahagian dokter kita. Ini sudah harus menjadi pertanyaan besar manakala globalisasi layanan medik sudah di depan mata dan pasar bebas industri medik kian besar membocorkan devisa kita. Kalau betul itu bukan semata persepsi keliru publik, tetapi layanan medik kita yang kurang memuaskan memang sebuah realita, saatnya dokter dan rumah sakit untuk berbenah.
Membenahi Profesi Dokter.
Profesi dokter sejatinya menyandang tiga muatan. Kompetensi, sikap profesionalisme, dan hati nurani. Namun, ketiganya tidak selalu terpenuhi jika muncul halhal yang merongrong. Rongrongan profesi medik bisa datang dari ketiadaan dukungan sarana medik, beban kerja dokter berlebihan (overloading), selain masih rendahnya pranata kesehatan masyarakat yang dilayani. Rata-rata layanan medik kita masih dirongrong ketiga-tiganya. Belum lagi akibat sistem kesehatan yang kita anut,pasien harus bayar dulu baru dilayani (paid for services) dan rendahnya penghargaan pemerintah buat profesi dokter. Profesi dokter menuntut belajar sepanjang hayat. Obat yang dulu aman, sekarang kedapatan berbahaya.
Kalau dokter tidak mengikuti perkembangan medik mutakhir, pasien menanggung getahnya. Kalau sebuah tindakan medik konvensional masih buruk buntutnya dan dokter tak membaca ada temuan yang lebih baru, kenapa pasien tak meragu. Kondisi begini juga menjadi alasan lain pasien berduit kapok dilayani dokter lokal. Jadi, bukan lantaran dokter kita dianggap lebih dungu. Tak cukup menegakkan ikrar dan tekad dokter bisa dan mau profesional belaka.
Dokter Indonesia juga memerlukan reformasi struktur kerja profesi, sekaligus struktur gaji tenaga medik yang selayaknya juga dibuat lebih profesional. Tujuannya, supaya dokter kita tidak harus menjadi kutu loncat atau terpaksa melupakan etika profesinya dalam berpraktik.Sebab,kalau saja kondisi para profesional medik kita diciptakan seperti yang diterima para sejawat di negara yang sudah elok layanan mediknya, dokter kita bukannya tidak sama berpotensinya.
===========
Sumber: Analisa, 01 Maret 2010