post.png
pemimpin_berkarakter.jpg

Mencari Gubsu Berkarakter

POST DATE | 31 Juli 2017

Prosesi Pilgubsu 2013 telah memasuki babak final. Masa kampanye telah dilewati. Kini, tinggal masa coblosan dan itu  tinggal menghitung jam. Tetapi kalau kembali kebelakang, sesungguhnya masih banyak masalah tersisa dari proses awal pilgubsu. Misalnya saja mengenai masa pendaftaran bakal calon Gubsu 2013-2018.

Waktu itu para calon parpol mendaftar ke penyelenggara pemilihan adalah jelang detik terakhir masa pendaftaran ditutup. Pola parpol yang menyandera suara para konstituennya itu mirip dengan gaya politik Orde Baru ketika memperkuat posisi tawar transaksi dan bagi-bagi kekuasaan belaka.

Waktu itu, begitu sibuknya parpol menyelesaikan tarik menarik antar-faksi diinternal pengurus. Terkesan parpol betul-betul galau dalam pesta demokrasi Pilgubsu 2013. Fenomena itu menunjukkan parpol telah menghela pilgubsu ke arah transaksi dagang kekuasaan. Tak salah kalau muncul persepsi masalah bangsa ini semakin sempurna rusaknya tatkala bagian dari masalah itu adalah perilaku politisi di parpol.

Parpol telah melupakan rakyat sebagai majikan sekaligus konstituen mereka. Konstituen hanya dimanfaatkan untuk bargaining politik, untuk menentukan posisi tawar dalam perebutan kekuasaan. Konstituen harus kritis menghukum parpol dengan tidak lagi memilih mereka dalam pemilu nanti.

Parpol belum maksimal melaksanakan fungsinya. Tidak sedikit parpol yang terjebak masalah internal atau disibukkan oleh permasalahan yang dihadapi para pengurusnya. Pendidikan politik makin diabaikan. Tidak mungkin parpol mampu melakukan pencerahan dan pencerdasan kalau masalah kepemimpinan tak dapat diselesaikan.

Komitmen parpol guna melakukan edukasi politik agar demokrasi bergerak ke arah yang sehat justru makin jauh. Kepercayaan publik terhadap parpol terkait kemampuan menjalankan fungsi parpol dipastikan makin rendah dan cenderung memburuk.

Kondisi ini diperparah lagi sebab parpol tidak mampu menjawab masalah krisis kepemimpinan. Karena itu jangan salahkan kalau parpol galau dihukum langsung oleh konstituen dengan cara tidak memilih bakal calon pemimpin yang ditawarkan parpol.

Konstituen harus menolak gaya transaksi seleksi kepemimpinan oleh parpol di Pilgubsu. Bagaimana konstituen tidak ikutan galau, kalau parpol terlebih dahulu galau dalam menetapkan calon gubernurnya.

Galau itu makin sempurna, sebab konstituen sama sekali tidak diberikan kesempatan atau ruang yang cukup untuk menyeleksi calon pemimpin 5 (lima) tahun ke depan. Konstituen telah digiring agar memilih ‘kucing garong’ dalam kamar gelap.

Suara konstituen didagangkan dengan harga murah. Ironisnya hak-hak politik rakyat makin terpinggirkan. Memilih kucing garong apalagi dalam ruang gelap pastilah memunculkan kegalauan yang baru?

Betapa tidak, ada bakal calon gubernur yang berniat maju jadi gubernur, eh…akhirnya justru cuma dapat posisi calon wakil gubernur. Tapi itupun jadilah. Uniknya lagi, ada calon gubernur yang muncul tiba-tiba, sehingga cukup menghebohkan. Masalahnya ternyata si calon tak pernah mendaftar di parpol yang mengusungnya, tapi justru dicagubkan?

Sensitif dan Selektif

Lalu, bagaimana memilih calon pemimpin pada Pilgubsu 7 Maret 2013? Idealnya Pilgubsu merupakan entry point  (pintu masuk) untuk membentuk pemerintahan berwatak baik (good governance). Pilgubsu sekaligus memperkuat tali mandat rakyat kepada para pemimpin yang dikehendaki dan diidamkannya.

Terlaksananya proses Pilgubsu 2013 dengan baik dan memuaskan apabila konstituen dapat memengaruhi secara penuh penetapan para calon pemimpin rakyat. Tali mandat itu juga berlanjut sampai pada tahap akhir proses Pilgubsu 2013 dengan penuh kesungguhan. Karena itu setiap tahapan Pilgubsu 2013 harus dirancang sebagai proses yang mencerminkan kesungguhan berdemokrasi di level daerah (lokal).

Letak penting agenda politik Pilgubsu berfungsi sebagai arena seleksi pemimpin lokal adalah guna menciptakan pemerintahan bersih. Seluruh parpol didesak dan didorong agar memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan rekrutmen kepemimpinan lokal yang kuat dan bersih. Momentum Pilgubsu 2013 harus diletakkan dalam konteks hak politik rakyat untuk menentukan pemimpin yang bersih dari KKN dan membawa daerahnya menuju fase baru ke arah lebih berkemajuan.

Prosesi Pilgubsu adalah penguatan elit lokal yang berkarakter kuat, bermoral tinggi, tegas dalam mengambil keputusan dan bersikap, memiliki visi yang luas. Kemudian, mempunyai kemampuan kepemimpinan yang berkualitas, dan benar-benar mencintai rakyat sebagaimana watak negarawan. Bukan para elit pemulung atau aji mumpung, bermental lembek, dan kepemimpinan di bawah standar.  Pemimpin yang secara terus menerus menebarkan kemaslahatan umum dan berbuat yang terbaik demi orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang inspiratif. Bukan tipe pemimpin yang semata mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Apalagi kalau cuma melakukan tebar pesona belaka.

Pemimpin lokal pasca-pilgubsu setidaknya harus mampu memenuhi tuntutan reformasi birokrasi. Reformasi yang menginginkan perubahan berjalan secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, adil dan tanpa diskriminasi. Lebih dari itu, reformasi birokrasi juga harus memperhatikan prinsip tersebut, sehingga good governance benar-benar dapat diwujudkan. Infrastruktur terus dibenahi. Memperbaiki pelayanan publik yang terukur tidak sekadar basi-basi kampanye.

Syarat pemimpin, elit dan kekuatan­-kekuatan masyarakat tersebut tidak tergoda untuk menjadikan Pilgubsu 2013 sebagai bisnis eceran politik ke wilayah publik. Pemimpin lokal harus mampu mengemban mandat good governance.  Atas dasar itu, konstituen sebagai pemegang kuasa harus jeli dan cerdas dalam melindungi diri sendiri. Konstituen harus lebih sensitif dan selektif dalam menyikapi setiap perilaku birokrasi dan politisi.

Pengalaman menunjukkan, kolaborasi dan konspirasi birokrasi dan politisi bakal lebih banyak mengorbankan kepentingan konstituen. Karena itu warga harus lebih kritis untuk mengawal moral pemimpinnya. Jangan terjebak pada janji manis belaka. Tetapi miskin program yang signifikan dan konkrit.

Teropong kembali jejak janji, tatkala mereka pernah memberi harapan yang lebih baik. Konstituen tidak boleh terlena dengan janji dan mulut manis cagub.

Apakah masih ada para pemimpin mau melayani, peduli dan berpihak? Kalau tidak, sekali lagi, maka rakyat cuma memilih pemimpi, dan bukan pemimpin. Tak salah terdapat ungkapan: kalau gegabah dalam memilih, pilgubsu cenderung bakal berbuah pilu?

Apalagi kalau tak hati-hati menilai, jarak pemimpi dan pemimpin cuma setipis kulit bawang. Kemudian, adakah pemimpin sesungguhnya lahir, kalau proses seleksinya juga dilakukan dalam suasana demokrasi prosedural..?

Terakhir, apakah para konstituen bakal memiliki imunitas dan tidak tergoda memilih pemimpin karena pengaruh uang recehan? Menepis godaan recehan dan berpikir jernih, cerdas dan mengikuti suara hati, sejatinya bersifat niscaya. Pendeknya, waktu 5 menit yang begitu menentukan Sumatera Utara 5 tahun ke depan, harus disikapi dengan cerdas oleh para konstituen. Cuma itu, kalau tidak maka siap-siaplah terperosok kemelut tak berujung untuk 5 tahun lagi.

 

========

Sumber: Koran Sindo, 7 Maret 2013



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar