POST DATE | 09 Agustus 2017
Setiap kenaikan tarif dasar listrik (TDL) diputuskan Pemerintah, selalu dibarengi dengan sikap protes (penolakan) dari sebagian konsumen. Sikap penolakan minimal bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, menyangkut daya mampu (ability to pay) konsumen, terutama untuk konsumen menengah bawah; Kedua, menyangkut daya mau (willingness to pay).
lni terkait dengan (masih) belum optimalnya layanan PLN kepada konsumen. Selain itu, penolakan sebagian masyarakat itu juga dipicu oleh tidak seriusnya Pemerintah (dan juga PLN) dalam menjelaskan permasalahan konkrit yang dihadapi PLN.
Terkait dengan mutu layanan PLN, hingga kini memang sering membuat konsumen kesal bahkan geram. Kekesalan konsumen makin mengkristal, karena di satu sisi, kenaikan TDL secara periodik terus dilakukan dilakukan (entah sampai kapan), tetapi di sisi lain, konsumen tidak (belum) mendapatkan kontra-prestasi memadai berupa peningkatan mutu layanan, dari PLN. Konsumen, tidak dapat akses, apakah TDL yang ada sekarang itu sudah cukup menguntungkan atau belum, atau hanya cukup untuk memberikan layanan yang “pas-pasan” saja.
Di tingkat lembaga konsumen, pengaduan masalah pelayanan ketenegalistrikan terlihat masih cukup tinggi, bersamaan dengan pengaduan PDAM dan produk kadaluarsa. Ini telihat dengan jelas, minimal dalam database LAPK dalam 5 tahun terakhir, pengaduan konsumen listrik selalu menduduki ruang 3 (tiga) besar.
Juga dalam surat pembaca surat kabar, pengaduan masalah listrik ‘masih sering melakukan ‘penampakan’. Ini pertanda bahwa, ketika disatu sisi kenaikan TDL terus dilakukan dan konsumen memenuhi kewajiban tersebut; tetapi di sisi yang lain; prestasi yang didapatkan konsumen dari PLN belum optimal.
lroniknya, karakter kasus yang menimpa konsumen atas “minimalisnya” mutu layanan PLN, dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan. Sebut saja masalah kinerja cater (pencatat meter), yang acap main tembak, suatu kasus yang paling dominan menimpa konsumen listrik secara nasional. Juga frekuensi pemadaman aliran listrik, yang seringnya juga tidak diinformasikan melalui cakupan media publikasi yang lebih luas.
Kasus-kasus klasik itu, diakui atau tidak, menimbulkan pencitraan (corporate image) negatif, bahwa yang terbayang dibenak konsumen tentang profil PLN: input pemakaian kWh yang tidak benar (sehingga menimbulkan selisih tagihan), tegangan listrik yang naik turun, atau bahkan arus listrik yang byer pet.
Kebijakan Pemerintah, dalam hal ini Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM, yang mencoba membuat “standarisasi” layanan PLN dengan indikator bernama Tingkat Mutu Layanan PLN (TMP), layak diberikan apresiasi. Ditjen LPE memberikan mandat, agar PLN secara deklaratif menyampaikan “13 indikator” sebagai implementasi TMP, dengan 3 indikator (kesalahan baca meter, lamanya gangguan dan jumlah gangguan) dikenakan penalti, jika PLN melanggar batas maksimum yang ditentukannya sendiri.
Menurut norma Keppres RI Nomor 104 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM Nomor: 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) berbunyi; “apabila standar mutu pelayanan pada suatu sistem kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khususnya yang berkaitan dengan lama gangguan, jumlah gangguan, dan atau kesalahan pembacaan meter tidak dapat dipenuhi, maka Perusahaan Perseroan (Persero) PT PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan, yang diperhitungkan dalam tagihan listrik pada bulan berikutnya”. Penetapan hukum seperti itu telah tergolong sebagai upaya mengikat PLN agar terdorong terus menerus melakukan perbaikan dan bagi konsumen ada pijakan norma untuk menuntut hak akibat adanya pelanggaran kontrak.
Dalam kasus-kasus yang merugikan konsumen listrik, PT. PLN mestinya sudah dapat merealisasikan Keppres RI Nomor 104 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM Nomor: 1616 K/36/Men/ 2003, Pasal 6 ayat (3) jo SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi No. 114 Tahun 2002 yang menetapkan konsumen berhak mendapatkan kompensasi (ganti rugi) sebesar 10% dari biaya beban apabila terjadi pemadaman dan/atau salah catat meteran (terlepas dari nominal penalti).
Sayangnya, informasi tentang keberadaan tingkat mutu pelayanan (TMP) itu tidak disampaikan melalui media yang mudah dikenal publik. Sebagai contoh, informasi TMP yang tertera di sebuah Unit Listrik Pedesaan di Kalteng, disampaikan melalui media pigura (layaknya photo/piagam penghargaan), dipajang di dinding yang cukup tinggi letaknya. Data ke-13 indikator yang disampaikan pun merupakan data terburuk yang pernah dimiliki PLN.
Pantas saja, selain masyarakat konsumen tidak mengerti soal informasi tersebut, PLN pun nyaris tidak bisa dikenakan sanksi, karena angka yang dipasang kelewat tinggi. Sangat terasa nuansa relasi konsumen-PLN ada diskriminasi atau ketidak-adilan hukum, hingga segala jenis kesalahan PLN nyaris tak bisa dijerat oleh hukum yang ada. Banyak kalangan pesimistis keadilan hukum konsumen-PLN dapat ditegakkan dengan baik, sebab PLN memiliki segudang amunisi untuk memproteksi dirinya dari tuntutan hokum, meski sudah jelas-jelas konsumen dirugikan
Mencari Keadilan
Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara normatif sekurang-kurangnya tiga pilihan aksi hukum yang dapat dilakukan (vide Pasal 46 UUPK).
Pertama, untuk kepentingan anggota masyarakat secara individual, dapat ditempuh prosedur dan mekanisme gugatan perdata biasa (konvensional).
Kedua, untuk kepentingan advokasi masyarakat, mengingat korbannya bersifat massif, mempunyai kesamaan permasalahan dan fakta hukum, dapat ditempuh dengan menggunakan prosedur gugatan perwakilan (class actions). Selain itu untuk kepentingan wibawa pemerintah, mengingat korbannya adalah warga Negara yang memiliki banyak keterbatasan, pemerintah dan/atau instansi terkait dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha, khususnya apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit (vide Pasal 46 huruf a, b dan d UUPK).
Ketiga, untuk kepentingan advokasi konsumen secara luas, dapat ditempuh dengan menggunakan instrumen hukum hak gugat lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang bergerak di bidang perlindungan konsumen (NGO’s legal standing).
Dalam gugatan perdata biasa (konvensional) dan gugatan perwakilan (class actions) substansi utamanya adalah tuntutan ganti rugi. Masyarakat konsumen listrik yang menderita kerugian akibat pemadaman itu dapat menuntut ganti rugi pada PT. PLN (Persero), meliputi antara lain berupa kerugian materiil maupun immaterial.
Kerugian materiil baik dalam bentuk biaya riil seperti barang elektronik yang rusak seperti kulkas, TV, tape, komputer dan lain sebagainya.
Langkah dan tahapan yang dapat dijalankan dalam melakukan gugatan perwakilan (class actions) itu adalah mengorganisir korban untuk selanjutnya memilih koordinator yang akan bertindak sebagai wakil kelas (class representative). Kelompok wakil kelas ini yang secara formal, melalui kuasa hukumnya, yang akan mengajukan gugatan itu ke pengadilan. Keuntungan gugatan perwakilan (class actions) itu, yakni apabila tuntutan ganti rugi itu dikabulkan oleh pengadilan, keputusan tersebut secara hukum mengikat terhadap semua korban (class members).
Tentu saja, klaim sebagai korban itu dapat diajukan dan dapat ikut menuntut ganti rugi sepanjang yang bersangkutan tidak pernah menyatakan keluar (opt out) dari gugatan perwakilan (class actions) itu. Sekaitan dengan penggunaan prosedur gugatan perwakilan (class action) ini menurut Mas Achmad Santosa, memiliki paling sedikit tiga manfaat, yaitu;
Pada bagian lain Riduan Syahrani, mengemukakan bahwa manfaat digunakannya class action, yaitu; (1) Penghematan waktu, biaya dan tenaga, justru karena gugatan tidak diajukan setiap anggota masyarakat (kelompok), tetapi dikumulasikan dalam satu gugatan. (2) Adanya pemberdayaan warga masyarakat untuk mengagapai keadilan karena tidak memperjuangkan sendirian melainkan bersama-sama dengan yang lain. (3) Pelaku pelanggaran hukum akan mengubah perilakunya, tidak terlalu mudah mengabaikan kepentingan pihak lain di masa depan.
Pada sisi untuk memperjuangkan hak-hak sipil, aksi hukum itu perlu dilakukan. Perjuangan itu dilakukan, selain untuk menunjukkan bahwa masyarakat dapat melakukan perlawanan, sekaligus juga mengirim peringatan pada perbaikan perilaku etis pelaku usaha. Setiap perilaku tidak etis, tidak hanya soal pemadaman listrik, tetapi juga untuk perilaku etis lainnya oleh setiap pelaku usaha mana pun, melekat tanggung jawab pada konsumennya. Pertanggung jawaban itu pada suatu ketika dapat dimintai oleh konsumen, manakala pelaku usaha lalai dalam menjalankan tanggungjawab etisnya.
Memperjuangkan dan membela kepentingan hak-hak konsumen melalui jalur class action, walau lebih banyak kandas (kalah) di tangan hakim, -hingga banyak kalangan yang pesimis mengajukan gugatan perwakilan,- tetapi ada satu hal yang perlu diingat, bahwa jika terkoordinir dengan baik merupakan cara paling ‘ampuh’ dalam menarik perhatian publik, dan sangat efektif untuk ‘mempermalukan’ pelaku usaha nakal dan tidak bertanggungjawab di depan publik.
Karena itu pada proses pemberdayaan kepentingan perlindungan hak-hak konsumen yang ‘dikejar’ bukan hanya soal kalah menang, tapi lebih jauh dari itu adalah untuk mengangkat harkat dan martabat serta ‘marwah’ konsumen di mata pelaku usaha. Dalam kaitan advokasi konsumen listrik dalam rangka mendorong PLN lebih cepat melakaukan perbaikan mutu dan kualitas pelayanan, lembaga konsumen setempat tentu siap melakukan advokasi pada setiap konsumen listrik yang merasa diperlakukan tidak adil.
Pijakan minimal melakukan tuntutan terhadap pelayanan PLN yang tidak memuaskan itu adalah; Keppres RI Nomor 104 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM Nomor: 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) berbunyi; “apabila standar mutu pelayanan pada suatu sistem kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khususnya yang berkaitan dengan lama gangguan, jumlah gangguan, dan atau kesalahan pembacaan meter tidak dapat dipenuhi, maka Perusahaan Perseroan (Persero) PT PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan, yang diperhitungkan dalam tagihan listrik pada bulan berikutnya”.
Menurut ketentuan yang ada itu, tindakan yang merugikan konsumen, menurut SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi No. 114 Tahun 2002 konsumen berhak mendapatkan kompensasi (ganti rugi) sebesar 10% dari biaya beban. Namun, informasi tersebut belum disampaikan secara baik (disembunyikan?), sehingga konsumen tidak mengerti adanya hak tersebut.
Di sisi lain konsumen tidak boleh berdiam diri. ibarat ‘duri dalam daging’, listrik byar pet dan petugas cater ‘sim salabim, abrakadabra’ itu harus dicabut dan dibuang jauh karena berpotensi merusak struktur pelayanan PLN. Tegakkan norma Keppres RI Nomor 104 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2) jo Kepmen ESDM Nomor: 1616 K/36/Men/2003, Pasal 6 ayat (3) jo SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi No. 114 Tahun 2002 dan buat formula kompensasi memuaskan konsumen-perusahaan (win-win solution) sambil kita menyusun agenda kegiatan bersama (action plan), agar PLN berani ‘terus terang, terang terus’.
Tuntutan hukum agar PLN tetap berorientasi kepada pelayanan konmsumen dapat dilakukan bukan saja melalaui Pengadilan Negeri melalui gugatan perdata biasa, atau pun class action, tetapi juga melalui BPSK.
Ramai-ramai Class Action PLN
Secara historis, class action lahir di Inggris pada awal abad ke 18, yang waktu itu hanya diperbolehkan pada Court of Chancery. Kemudian, setelah diundangkan Supreme Court Judicature Act, class action mulai digunakan pada tingkat Supreme Court. Selanjutnya, class action berkembang di Amerika Serikat, Kanada dan Asutralia. Bahkan, sistem ini sekarang banyak dianut dan diterapkan di berbagai negara berkembang, seperti India dan Philipina.
Soal definisi, sesungguhnya belum ada definisi yang final. Namun, pada intinya class action, menurut Mas Ahmad Santosa (ICEL), adalah gugatan perdata umumnya berupa permintaan ganti rugi, yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas (class representatives), selain mewakili kepentingannya, juga mewakili kepentingan ratusan bahkan ribuan orang (class members).
Jadi, class action merupakan konstruksi hukum baru, setelah bentuk konstruksi lama, yakni gugatan individual (konvensional). Mulanya, sistem gugatan class action hanya dianut oleh negara yang menganut sistem hukum anglo saxon, seperti Amerika, Inggris, Kanada, dan negara Eropa Barat lainnya (kecuali Belanda). Nah, sistem hukum di Indonesia menganut Eropa Kontinental, yang merupakan peninggalan (warisan) Belanda itu.
Karena merupakan konstruksi hukum baru, sudah tentu penerapan class action harus meliputi beberapa syarat pokok, yaitu:
Pertama, Numerosity, artinya jumlah orang yang mengajukan harus sedemikian banyaknya. Kelas yang diwakili (class members) harus sedemikian besar sehingga apabila terjadi gugatan individual, menjadi sangat tidak praktis dan efisien. Soal jumlah kurang ada batasan yang baku. Di Australia, misalnya, untuk melakukan class action minimal harus ada 7 (tujuh) orang korban;
Kedua, Commonality (kesamaan). Maksudnya, harus ada kesamaan fakta maupun question of law antara pihak yang mewakili dan diwakili, yakni antara class representatives dengan class members; ketiga Typicality. Yakni tuntutan dan pembelaan dari seluruh anggota yang diwakili haruslah sejenis; keempat Adequacy of Representation (kelayakan perwakilan). Persyaratan ini mewajibkan perwakilan kelas (class representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentungan mereka yang diwakilkan.
Oleh karenanya, gugatan class action justru akan memetik beberapa keuntungan, yaitu; Pertama, proses perkara yang bersifat ekonomis (judicial economy). Dengan class action, berarti mencegah adanya gugatan individual. Jika ini terjadi, selain memakan biaya yang lebih banyak, waktunya pun lebih lama. PLN pun akan kewalahan, berapa ratus pengacara yang harus disediakan.
Kedua, akses pada keadilan (access to justice). Betapa dunia peradilan masih menjadi dunia ‘angkuh’, yang sulit disentuh oleh masyarakat kebanyakan. Bahkan lebih sering masyarakat elergi bersentuhan dengan pengadilan. Ketiga, perubahan sikap para pelaku pelanggaran (behavior modulation). Diharapkan, dengan gugatan class action ini, dalam jangka panjang, akan memberikan efek penjera (different effect) bagi parta pelaku pelanggaran.
Dalam perkembangannya, selain class action, ada juga sistem hukum yang melibatkan orang banyak, yaitu legal standing. Sepintas, kedua model gugatan ini tidak ada perbedaannya. Padahal, secara prinsip, kedua model gugatan ini berbeda. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
Pertama, jika class action baik masyarakat yang mewakili (class representatives) maupun masyarakat yang dirugikan (class members) merupakan korban dari perbuatan melawan hukum pihak lain dan merupakan pihak-pihak yang mengalami kerugian nyata (concrete injured parties). Sedangkan legal standing LSM yang melakukan gugatan sebagai korban perbuatan melawan hukum pihak lain dan bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata melainkan sebagai wakil dan lingkungan yang telah dirusak oleh pihak lain. LSM berperan sebagai wali (guardian) dari lingkungan hidup.
Kedua, jika class action antara class representatives dengan class members terdapat persamaan permasalahan, fakta, tuntutan hukum maupun pembelaan. Sedangkan untuk legal standing syarat-syarat tersebut tidak menjadi syarat bagi LSM untuk menjadi wali dan lingkungan hidup.
Ketiga, jika class action LSM yang bertindak sebagai class representatives dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian, sebab LSM tersebut turut menjadi korban yang mengalami kerugian nyata. Sedangkan untuk legal standing LSM yang bersangkutan tidak dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian, karena LSM tersebut bukan sebagai korban yang mengalami kerugian nyata.
Kedua model gugatan tersebut, saat ini sudah mempunyai sandaran hukum kuat di Indonesia. Untuk legal standing (hak gugat LSM/khususnya lingkungan) diatur di dalam UU No. 23 Tahun 1997 Pasal 37 ayat 1 dan 2 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan untuk class action diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), khususnya Pasal 46. Contoh gugatan legal standing yang paling terkenal adalah gugatan Walhi Sumut terhadap PT. Inti Indorayon Utama, di Medan. Sedangkan contoh doss action, antara lain gugatan class action LAPK Vs PLN, atau YLKI Vs PLN.
Sebenarnya dalam kasus class action, bukan lembaga konsumen yang pertama kali melakukan gugatan class action ke pengadilan. Setidaknya, sebelum lembaga konsumen, sudah ada beberapa person yang mencoba untuk melakukan class action, misalnya pengacara RO. Tambunan yang menggugat perusahaan rokok PT. Bentoel karena memproduksi rokok Bentoel Remaja, dan gugatan demam berdarah terhadap Pemda DKI, oleh Muchtar Pakpahan. Mungkin karena dilakukan oleh personal (bukan lembaga) sehingga gugatan tersebut kurang bergaung ketika itu).
Saat ini setelah class action diatur langsung oleh UUPK, banyak lembaga atau LPKSM Konsumen yang mencoba mengaplikasikan pasal UUPK tersebut. Untuk menyebut beberapa contoh misalnya gugatan class action ke PLN oleh Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan.
Sayang, kendati gugatan ini sudah mengacu pada UUPK, tetapi masih tetap kalah di pengadilan. Salah satu sebabnya karena pihak Penggugat salah dalam menentukan posisi class representatives. Kemudian Yayasan Lembaga Konsumen Mataram (di bawah Fakultas Hukum Universitas Mataram, NTB) demikian juga gugatan class action ke PLN Cabang NTB.
Kendati sejak awal diprediksi kalah, namun banyak pihak khususnya aktivis LSM, pengamat hukum, pengamat sosial, maupun akademisi banyak memberikan ulasan dan komentar positif di media massa. Mereka memberikan respek atas gugatan tersebut, yang selain akan memberikan wacana baru dan pencerahan hukum, class action juga merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan semua kasus-kasus publik, apakah kasus lingkungan hidup, kasus konsumen, maupun kasus perburuhan.
Tetapi, babak akhir gugatan class action, dominan berjalan antiklimaks. Dewi fortuna dan keadilan hukum dalam kasus YLKI vs PLN misalnya, demikian juga LAPK vs PLN, belum berpihak pada gugatan class action YLKI dan konsumen. Alasan utama hakim menolak gugatan class action YLKI sama persis dengan argumen pihak PLN, yaitu:
Pertama, gugatan class action tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental, sedangkan class action merupakan sistem hukum di anglo saxon.
kedua, dalam UU No. 15 Tahun 1985, dan peraturan-peraturan lainnya tentang ketenagalistrikan, tidak ada pasal yang mengatur hak masyarakat konsumen listrik mengajukan gugatan perwakilan/class action.
Ketiga, di Indonesia belum ada peraturan UU yang mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen, yang menyatakan suatu organisasi atau kelompok organisasi dapat mengatasnamakan kepentingan umum/orang banyak, mengajukan gugatan class action, di pengadilan mewakili masyarakat konsumen;
Keempat; gugatan penggugat yang mengatas namakan dan mewakii masyarakat konsumen listrik adalah bertentangan dengan Pasal 123 HIR/SEMA No. 2 Tahun 1959 tanggal 29 Januari 1959. Pasal 123 HIR menentukan bahwa gugatan haruslah diajukan oleh orang yang bersangkutan, atau yang berkepentingan, dan bukan oleh orang lain.
Seandainya gugatan diajukan oleh orang lain maka harus ada surat kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri.
Putusan hakim, bagaimanapun sangat formalistik, dan positivistik. Hakim hanya mendasarkan pada pertimbangan hukum formal yang sangat kaku, tanpa mau mengadopsii sistem hukum yang berkembang, dengan sangat dinamis. Misalnya menyangkut apakah YLKI berhak mewakili konsumen atau tidak. Eksistensi YLKI, secara empirik selalu mengedepankan kepentingan konsumen .
Kasusnya sendiri, tidak begitu sulit dibuktikan, yaitu listrik PLN padam dan dalam waktu yang lama. “Jelas, ini merupakan kasus yang secara sistem bisa dipersoalkan. Oleh karenanya, ketika proses gugatan disusun perdebatannya bukan soal kalah atau menang. Sebab, kalau dikalkulasi dari aspek substansi hukum, para tim kuasa hukum berpendapat “yakin kuat” (bukan yakin menang), walaupun class action secara hukum prosedural di Indonesia masih muda usianya”.
Mencari manfaat Class Action PLN
Betapapun, kendati class action lembaga konsumen kandas di meja pengadilan, secara moral-psikologis, advokasi litigasi lembaga konsumen tetap memetik beberapa kemenangan, yang skalanya jangka panjang. Boleh jadi kemenangan tersebut lebih berarti ketimbang hanya ‘sekadar’ menang di pengadilan.
Toh, suatu sistem (hukum) baru, tidak mungkin terwujud secara instant (serta merta). Class action, bagi sistem hukum di Indonesia, bukanlah ‘makhluk’ yang jatuh dari langit, secara tiba-tiba. Class action harus diperjuangkan secara terus menerus, bertahap dan sistematis. Beberapa ‘kemenangan’ itu, antara lain:
Branding Issue.
Jika aspek ini yang dijadikan parameter, paling tidak pasca gugatan, wacana class action makin luas dan berkembang, baik bagi praktisi hukum, akivis LSM maupun kalangan akademisi. Diakui atau tidak, wacana tentang (hukum) class action sudah menjadi milik publik. Penggunaan istilah class action menjadi lebih familiar. Bahkan kadang agak jor-joran. Jika ada kasus publik, solusi yang ditawarkan selalu class action.
Jarang ada kasus advokasi yang mendapatkan perhatian media massa secara intens. Frekuensinya.
Diakomodasi UUPK.
Jika tujuan ini yang ingin dicapai, secara yuridis lembaga konsumen berhasil. Sebab, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur secara tegas tentang class action. Terhadap segala kerugian yang diderita konsumen akibat pemadaman listrik konsumen dapat mengajukan gugatan berupa meminta ganti kerugian. Dasarnya adalah Pasal 46 UUPK
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
Dengan demikian masyarakat konsumen baik secara individual (pribadi) maupun komunal (kelompok masyarakat) dapat saja mengajukan gugatan ganti kerugian pada manajemen PT. PLN (Persero). Prosedur gugatan dapat dilakukan melalui model gugatan konvensional (perdata biasa) maupun menggunakan class actions (gugatan perwakilan).
Tanggung jawab dan kewajiban PLN untuk memberikan ganti kerugian pada konsumen Pasal 19 UUPK menegaskan, yaitu
Pemberdayaan Konsumen
Jika yang dimaksud memberdayakan konsumen adalah agar konsumen mendapatkan ganti rugi, maka tujuan ini agak sulit tercapai. Sebab semua tuntutan gugatan Lembaga Konsumen ditolak 100% oleh majelis hakim. Tetapi, jika yang dimaksud adalah penyadaran konsumen bahwa class action lebih efektif ketimbang gugatan konvensional dan bisa digunakan untuk semua kasus, ada hasilnya juga. Hal ini, terkait dengan aspek terbukanya wacana class action ke wiayah publik secara luas.
PLN dan Lembaga Publik Jera
Jika parameter ini yang dijadikan acuan, menurut lembaga konsumen, gugatan class action membawa efek positif, khususnya bagi PLN. Setelah ada class action, sekarang PLN menjadi ‘sangat piawai’ dan hati-hati menangani pengaduan konsumen.
Kendati begitu, dalam banyak kasus, managemen PLN masih belum transpanan. Menurut pengamatan Lembaga Konsumen Listrik Indonesia (LKLI), di dalam PLN banyak peraturan yang masih mengebiri konsumen. Misalnya perjanjian yang dibuat PLN, banyak klausula yang berat sebelah. Menguntungkan PLN, dan merugikan konsumen. Atau lazim disebut klausula baku. Dengan klausula baku, secara sistematis konsumen dilemahkan oleh produsen/pelaku usaha.
Selain persoalan klausula baku, berdasarkan pengalamn melakukan advokasi, public relation PLN juga amburadul. Public relation PLN itu jelek sekali. Bahkan, ada satu kebijakan PLN yang sangat memberatkan konsumen kecil, yaitu kebijakan pemasangan sambungan baru dengan daya pasang minimal 1300 VA. Bagi konsumen bawah, kebijakan ini sangat berat.
Selain tidak mampu secara ekonomi, konsumen juga tidak memerlukan daya pasang sebesar itu, untuk aktivitas sehari-hari. “Paket minimum 1300 VA sangat memberatkan rakyat kecil/orang miskin seperti saya, kata seorang calon konsumen listrik. Kayak saya, saya hanya butuh 450 VA saja.
Itu sudah sangat cukup. Tetapi saya dipaksa memasang 1300 VA. Ini memberatkan, sebab per bulan saya harus membayar minim Rp 60.000. Biasanya hanya Rp 14.000-Rp 15.000/ bulan”, kata beberapa calon konsumen listrik ketika berhubungan dengan PLN.
Class Action di Masa Mendatang
Selain faktor eksternal (minimnya pengetahuan hakim), dan rapuhnya koalisi, yang lebih urgent dipersoalkan adalah bagaimana keterlibatan konsumen korban, saat gugatan dass action digulirkan?
Jika ini yang dijadikan basis pertanyaan, gugatan class action saat itu memang nyaris tidak melibatkan konsumen korban. Keterlibatan konsumen dalam bentuknya yang konkrit, sangat minim. Ratusan konsumen hanya sebatas mengadu, kemudian ‘ngompori’ lembaga advokasi untuk melakukan legal action ke PLN.
Sayangnya, ketika konsumen diminta untuk terlibat lebih serius misalnya menjadi saksi di pengadilan, mayoritas menolak. Alasannya, ada yang tidak berani (takut), atau dilarang oleh suaminya. Sebagian besar konsumen, dalam banyak kasus, maunya hanya “terima jadi”. Artinya, konsumen bersikap tidak konsekwen. Padahal, konsumen merupakan bagian pokok (subyek) dan advokasi itu sendiri.
Boleh jadi minimnya keterlibatan konsumen korban secara riil, saat itu menjadi permakluman. Mengingat, kondisi sosial politik waktu itu sangat tidak kondusif. Oleh karenanya, menjadi sangat strategis jika tujuan besar gugatan class action waktu itu adalah untuk mendidik masyarakat, agar masyarakat berani melakukan perlawanan terhadap lembaga publik sekalipun milik negara, melalui jalur pengadilan.
Tetapi, jika hal tersebut masih terjadi pada class action jilid II atau jilid selanjutnya, permakluman tersebut menjadi gugur. Saat ini, LAPK sudah mendeklarasikan siap melakukan advokasi untuk seluruh konsumen listrik di Sumatera Utara dalam rangka menuntut hak konsumen melalui gugatan class action atau gugatan dalam bentuk lain terhadap perlaku tidak adil dari PLN.
Bagaimanapun, gugatan class action terhadap PLN, situasinya lebih menguntungkan. Baik dari perspektif hukum, maupun konteks sosial politik yang ada. Dasar hukumnya (tool) sudah ada. Dan konteks sosial politik juga sangat menguntungkan.
Namun, yang harus menjadi catatan khusus, bahwa gugatan class action tidak hanya menjadi tanggungjawab lembaga konsumen saja. Masyarakat pun punya hak dan berkewajiban untuk melakukan class action LAPK atau lembaga konsumen, dan atau LSM lainnya hanya sebagai fasilitator untuk menegakkan hak konsumen listrik di Indonesia.
=========
Sumber: Sumut Pos, 18, 20, 21 dan 22 Desember 2004