post.png
IMG_3812.JPG

Menegakkan Kode Etik

POST DATE | 03 Juli 2017

Seorang hakim pernah diberhentikan dengan tidak hormat karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Kasus pelanggaran kode etik terjadi disebabkan si hakim menangani kasus yang terikat hubungan darah. Sejatinya hakim tidak boleh memihak, apalagi terhadap anggota keluarganya.
Kasus lain misalnya, ada hakim juga diberhentikan karena menerima suap atau menjanjikan sesuatu ketika menangani suatu perkara. Padahal seorang hakim dilarang keras menerima janji, hadiah, hibah, warisan, penghargaan, atau pinjaman dan fasilitas dari orang yang berkepentingan dalam perkara yang ditangani. Terlebih hal tersebut merupakan upaya untuk memengaruhi hakim dalam memutuskan perkara. Kasus itu terjdi, tersebab kode etik profesi yang ada tak dipatuhi.
Secara harfiah etika berasal dari kata ethos (Yunani), ethics (Inggris). Etika (budi pekerti) bermakna sebagai perbuatan adat istiadat/kebiasaan, kesusilaan atau sopan santun yang baik (akhlakul karimah). Etika merupakan gambaran bentuk lahir manusia.
Dari segi ilmu etika adalah mempelajari suatu yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Dengan kata lain, kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan atau suatu pekerjaan sebagai pedoman berperilaku
Etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk batiniah. Etika merupakan aspek penting bagi profesional hukum, terkhusus lagi bagi profesi hakim. Moralitas atau etika adalah alat dorong terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya.
Etika lahir sebagai perwujudan suatu bentuk aturan yang tertulis. Dibuat secara sistematik secara terencana. Etika didasarkan pada prinsip moral yang ada. Ketika dibutuhkan etika dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi pelbagai macam tindakan yang dinilai menyimpang dari etika.
Secara filosofis sikap patuh profesional hukum terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah, bersatu dengan pikiran, jiwa serta langkah perilaku para profesional.
Kepatuhan terbentuk dari masing-masing orang, bukan karena suatu paksaan. Pantulan sikap etis profesional muncul, yakni ketika para profesional merasa jika dia melanggar kode etiknya. Dia merasa profesinya akan rusak dan yang rugi adalah diri sendiri.
Eksistensi kode etik profesi sangatlah penting. Kode etik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Etika menurut Magnis Suseno (1991) berguna untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.


Etika dan Norma Hukum 
Etika merupakan landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesional termasuk hakim dalam menjalankan profesinya. Saat hakim memberi keputusan (judgement), hakim bukan sedang menghadiahkan keadilan. Karena itu, setiap keputusan yang diberikan hakim harus berdasarkan hukum.
Profesi hakim bertaut dengan persyaratan mutlak dalam sebuah negara hukum.
Persyaratan itu adalah pengadilan yang mandiri, dan netral (tidak berpihak). Selain itu, pengadilan harus kompeten dan berwibawa, mampu menegakkan martabat hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia (HAM).
Perwujudan penegakan hukum yang ideal itu dapat terlaksana, jika ditegakkan dengan landasan etika dan sesuai norma hukum. Hubungan etika dan norma hukum seperti dua sisi mata uang. Saling bertaut kelindan. Rofiq Nasihudin mengutip Muhammad Muslehuddin (1997): “hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya. Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas”. Hukum yang dipisahkan dari keadilan dan etika moralitas, bukanlah hukum.
Secara konstitusional tugas pengawasan perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim ada dipundak Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA).
KY berwenang untuk: menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; menetapkan KEPPH bersama-sama dengan MA; dan menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH (Pasal 13 UU Nomor 18/2011)
Sejalan dengan wewenang itu, KY bertugas: melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran KEPPH; melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH secara tertutup; memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH, dan mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (Pasal 20 UU Nomor 18/2011).
Eksistensi KY adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY mesti mampu memastikan bahwa KEPPH telah dipedomani para hakim dalam menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi hakim. Sekaligus juga untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat terhadap profesi hakim.
Kode etik dibutuhkan guna menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kode etik merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Kode etik menuntun hakim untuk berintegritas dan profesional.
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vluegel vrij), tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegellam), tidak maju. Bahkan tidak tegak.
Profesi hakim sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Hakim adalah profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan kemanusiaan.
Bagus Takwin (2015) mencatat untuk menegakkan kode etik hukum diperlukan empat prinsip dasar etika, yakni; menghormati harkat dan martabat manusia, menghormati privasi dan kerahasiaan, keadilan dan inklusivitas, dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan.
Mematuhi etika bermakna menegakkan kode etik. Kode etik tegak jika hakim sebagai wakil tuhan bersikap professional dan berintegritas. Disebut wakil tuhan, tersebab produknya senantiasa berlabel irah-irah “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Syarat utama ‘wakil tuhan’ bertahta marwah yang terhormat dan bermartabat luhur dapat ditegakkan, jika kode etiknya telah berdiri tegak. Kode etik adalah bingkai utama bagi hakim ketika menegakkan hukum dan keadilan. Menegakkan kode etik bermakna independensi hakim terjaga dari segala intervensi. Independensi itu tentu harus diimbangi dengan akuntabilitas hakim. Internalisasi kode etik dapat menghindari terjadinya ketidakmandirian hakim, sekaligus menyelaraskan pertanggungjawaban (liability) hakim kepada rakyat dan Tuhan.

 

==========

Sumber: Waspada, 6 Februari 2016



Tag: Kode etik, Profesi

Post Terkait

Komentar