POST DATE | 02 Agustus 2017
Nukman Luthfie (2009) telah mengisahkan contoh perusahaan yang sukses disebabkan mau mendengarkan suara konsumen. Alkisah, beberapa tahun lalu perusahaan computer Dell Inc. meluncurkan sebuah program unik di situs web Ideastorm.com.
Idenya yakni mengajak pelanggan Dell di seluruh dunia untuk berbagi di situs ini tentang produk apa yang mereka inginkan di masa mendatang. Sebagai satu-satunya perusahaan computer yang membuat computer sesuai keinginan pelanggan (customized), Dell memang perlu paham keinginan pelanggan.
Namun demikian dalam proses lanjutan, Dell tidak hanya mengajak pelanggannya menyampaikan keinginannya. Pelanggan, lebih dari itu, diajak untuk berbagi ide tentang produk, kemudian memilih ide yang paling bagus dengan cara voting oleh pelanggan lain. Lalu, ide yang banyak dipilih pelanggan kemudian dieksekusi oleh Dell.
Hasilnya? Luar biasa. Terbentuklah sebuah komunitas pelanggan Dell dari seluruh dunia yang berusaha melemparkan ide-ide perbaikan produk yang sangat menguntungkan Dell dan pelanggannya. Salah satunya adalah Linux Box, yang jelas-jelas mencederai hubungan jangka panjang Dell dengan Microsoft mengingat selama ini menjadi mitra penting di sisi operating system. Namun demikian, demi memenuhi kebutuhan pelanggan di masa depan, Dell segera banting setir dan menyediakan komputer berbasis Linux.
Hanya dalam dua tahun, situs komunitas berbagi ide Dell ini berhasil menjaring lebih dari 11 ribu gagasan dari pelanggan dan memicu lahirnya 85 ribu komentar dari para pelanggan yang saling berkomunikasi satu sama lain untuk mengkritisi dan memperbaiki gagasan-gagasan yang dilempar oleh pelanggan lain.
Kesuksesan Dell berkomunikasi secara intensif, dua arah, bahkan segala arah secara horizontal antar-pelanggan, bisa jadi memicu inspirasi Starbucks untuk melakukan hal yang sama. Kedai kopi kelas atas itu meluncurkan program My Starbucks Ideas, yang memungkinkan membernya untuk bisa berbagi ide, vote dan diskusi.
Konsumen Starbucks diajak menjadi member disitus Mystarbucksideas.com, dipersilahkan memberikan usulan apapun untuk meningkatkan layanan dan produk Starbuck. Gagasan yang paling banyak dipilih pelanggan akan dieksekusi oleh Starbucks.
Starbucks tentu saja mengambil banyak manfaat dari usulan-usulan ini karena ada beberapa usulan yang sangat menarik di antara sekian banyak usulan ngawur untuk meningkatkan produk dan layanannya. Salah satunya adalah teh tubruk. Menghidangkan teh tubruk barangkali ide gila bagi Starbuck. Namun demikian, ternyata konsumen membutuhkannya.
Pada saat yang sama beberapa usulan layanan pun mendapat perhatian manajemen. Misalnya saja soal sofa dan kursi. Salah satu keistimewaan Starbucks di mata pelanggannya adalah sofanya yang nyaman untuk bekerja dan nongkrong di kedai itu.
Namun, kini semakin banyak kedai Starbucks yang mengefisienkan diri, menggganti sofa itu dengan kursi kayu kecil. Seorang konsumen mengusulkan agar Starbucks jangan menghilangkan faktor kenyamanan demi efisiensi. Itu menjadi salah satu usulan yang populer. Usulan lain masih banyak dan terus bermunculan. Dalam usia setahun, situs sosial media berbasis merek ini mencatat hampir sepuluh ribu usulan dari membernya.
Dari dua contoh di atas tadi menggambarkan betapa hebatnya usaha perusahaan untuk bukan hanya mendengarkan suara pelanggan, tetapi juga melibatkan mereka dalam peningkatan layanan perusahaan, bahkan untuk pembuatan produk atau layanan baru.
Chris Denove dan James D. Power IV (2007: xi-xiii) mengisahkan, tatkala Peugeot mengembangkan teknologi yang menggunakan injeksi bahan bakar dan sistem pengapian yang berbeda dari mesin konvensional dimobil lain.
Guna mengatasi masalah itu JD. Power and Associates melakukan penelitian. Terbukti kemudian, di Amerika Serikat model pengapian ala Peugeot itu tidak lazim. Konsumen Amerika Serikat telah terbiasa dengan karburator konvensional. Sebelum menyalakan mesin mobil mereka secara naluriah akan memompa pedal gas beberapa kali.
Temuan bahwa masalah ada pada ‘cara menyalakan mobil’ itu disampaikan JD. Power and Associates kepada pihak Peugeot. Tetapi respon yang muncul justru negatif. Ahli Perancis menanggapi temuan itu sambil menggebrak meja dan mengatakan, “Kami memiliki mobil dengan sistem penyalaan terbaik di Eropa. Yang harus kami lakukan adalah mengajari orang Amerika bagaimana menyalakan mesin mobil.”
Power and Associates memberi advis bahwa Peugeot dapat saja membelanjakan setiap sen yang yang ia meiliki untuk belanja iklan dan promosi guna mendidik konsumen tentang bagaimana menyalakan mesin mobil, namun hal itu tak akan mengubah apapun. Terbukti, pada tahun 1991, konsumen Amerika sama sekali berhenti membeli mobil Peugeot dan perusahaan tersebut tak memiliki pilihan lain kecuali ‘angkat kaki’ dari pasar Amerika.
Pelajaran terpenting adalah Peugeot memiliki para ahli yang sangat terampil dan hebat. Masalahnya, mereka hanya memiliki sebuah masalah penting yang sebenarnya sederhana, mereka tidak mau mendengarkan suara konsumennya.
Kasus serupa terjadi pada General Motors tentang kabar buruk hasil survei yang menemukan ketidakpuasan yang mendalam di antara para konsumen. Manajer umum penjualan Pontiac melompat dan berteriak bahwa temuan ketidakpuasan itu cuma omong kosong dan mengatakan, “Kami tidak perlu mendengarkan ceramah ini.”
Seperti kata pepatah, angka tidak pernah akan berbohong. Prediksi ketidakpuasan konsumen menunjukkan pangsa pasar General Motors turun menjadi 33 persen di tahun 2000-an. Hal yang paling membuat kaget, perusahaan terbesar di dunia itu tidak memahaminya meskipun kenyataan pahit soal pangsa pasar yang turun terbentang di hadapan mereka. Fakta ini seolah melawan mitos, “Apapun yang kita buat, para konsumen akan datang.”
Perusahaan dapat menjadi sukses dengan mendengarkan suara para konsumennya. Tawaran akan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan konsumen mengenai suatu produk akan membuat perusahaan bersedia merogoh dalam-dalam kantong mereka untuk mendapatkannya.
Membangun Komunikasi
Apa yang dilakukan oleh Dell dan Starbucks adalah mencoba keluar dan kekacaubalauan atas umpan balik. Mereka membangun komunitas konsumen secara massal, membiarkan mereka berkomunikasi satu sama lain. Saat bersamaan, juga membuka komunikasi antara perusahaan dengan konsumen secara langsung. Inilah cikal bakal komunikasi massal yang melibatkan juga komunikasi dua arah antara perusahaan dengan konsumennya.
Komunikasi massal akan menjadi era komunikasi perusahaan-konsumen masa depan. Memang tantangan ke sana tidak mudah. Komitmen perusahaan tidak cukup hanya dengan mendengar suara pelanggan. Namun harus bersedia secara serius menindaklanjuti usulan pelanggan seperti yang dilakukan oleh Dell dan Starbucks.
Perusahaan yang ada di Indonesia lebih banyak merasa paling tahu tentang apa kebutuhan konsumen. Respon atas suara konsumen justru lebih banyak meniru Peugeot, General Motors atau kasus teraktual seperti kriminalisasi atas suara Prita Mulyasari. Banyak perusahaan seakan tidak percaya kalau konsumen akan datang, bila perusahaan dibangun atas fondasi yang benar. Suara konsumen dijawab dengan kriminilisasi ‘pencemaran nama baik atau penghinaan’.
Sekadar mengulang, selain kasus Prita Mulyasari, masih terdapat perkara pencemaran nama baik dengan terdakwa Khoe Seng Seng dan Winny kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (04/6). Agendanya adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Di dalam tuntutannya, Jaksa menuntut Seng Seng dan Winny dengan pidana penjara 1 tahun dan percobaan 2 tahun. Jaksa menilai keduanya terbukti melanggar Pasal 311 KUHP (penghinaan) lantaran telah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi Tbk.
Kriminalisasi suara konsumen juga dilakukan Tesco -jaringan supermarket global milik Inggris- menggugat tiga orang warga Thailand. Mereka semata-mata karena ‘berkomentar’ mengenai ekspansi perusahaan itu. Jit Siratranont menghadapi tuntutan pidana, dengan ancaman 2 tahun. Kamol Kamoltrakul dan Nongnat Hanwilai digugat secara perdata dengan nilai masing-masing USD 2.86 juta.
Tanpa komitmen tindak lanjut, komunikasi massal tidak akan terjadi. Yang terjadi malah bisa sebaliknya: pukulan balik ke perusahaan karena mengabaikan suara pelanggan. Masalahnya saat ini, banyak perusahaan Indonesia yang belum menerapkan komunikasi massal. Membangun perusahaan di atas fondasi persepsi konsumen bukanlah hal yang mudah. Banyak orang berdebat soal term kepuasan konsumen.
Walaupun sesungguhnya terminologi kepuasan itu tidak terlalu sulit, tetapi masih banyak perusahaan mengalami “rabun konsumen”. Informasi ketidakpuasan konsumen harusnya menjadi keuntungan dengan memberikan apa yang menjadi kebutuhan konsumen, ketika mereka mengingatkannya.
Perusahaan tidak boleh gagap untuk berkomunikasi dan mendapatkan kritik dari konsumen. Perusahaan harus mampu mendengarkan apa yang konsumen bicarakan sekaligus mau memberikan respon yang memuaskan. Semoga..!?
========
Sumber: Analisa, 18 Juni 2009